Selama lima hari Khair berkutat dengan laptop dan lembaran skripsi yang perlu dia revisi. Catatan dari dosen pembimbing 1 dan pembimbing 2 benar-benar dia perhatikan.
Sebagian besar kesalahannya terletak pada format penulisan. Sedangkan masalah yang dibahasnya dalam skripsi tersebut sudah aman. Khair bahkan sudah paham dan menguasai materi yang dia paparkan dalam penelitiannya.
Penelitian Khair tidak jauh dari gerakan literasi yang saat ini sedang gencar di kampanyekan dalam kurikulum pendidikan tanah air. Khair mengupas tuntas gerakan literasi tersebut dari perspektif Pendidikan Islam.
Ada satu hal yang menjadi kegundahan Khair di awal penelitianya, yakni persoalan tentang tujuan dari gerakan literasi yang saat ini digalakan.
Dalam Desain Induk Gerakan Literasi Nasional (GLN)*, disebutkan bahwa gerakan tersebut ditujukan untuk menumbuhkembangkan budaya literasi pada ekosistem pendidikan mulai dari keluarga, sekolah, dan masyarakat dalam rangka pembel
Ya, walau tidak kentara, Khair juga turut membantu mengembangkan bisnis kakaknya. Dia mengambil peran sebagai marketer khusus wilayah kampus. Semua pesanan kopi all varian dari mahasiswa dan dosen ke kedai Khaira bisa dilakukan secara online ke nomor Whatsaap Khair. Begitu juga pengirimannya. Khair yang memegang tugas delivery order untuk wilayah internal kampus.Pada suatu momen, Khair menerima pesanan kopi dari sebuah nomor tak dikenal atas nama Riang, mahasiswa Ekonomi Syariah semester 1. Dia pun mengantarkan pesanannya ke kelas tersebut."Saya sudah di depan." Demikian pesan WhatsApp yang Khair kirim ke sebuah nomor sang pemesan kopi hari itu.Nampak tanda ceklis dua berwarna biru, tanpa ada balasan sepatah kata pun. Namun, tak lama kemudian seorang gadis berperawakan mungil berlesung pipit muncul dari dalam kelas yang Khair datangi."Hai," sapanya sambil tersenyum manis."Kamu yang tadi pesen matchalatte?" Tembak Khair tanpa basa basi. Pun tan
Khaira akhirnya meminta Riang datang ke kedai esok hari untuk berbicara dari hati ke hati terkait 'mahar' yang disebutkannya. Khaira tidak tahu pasti permasalah apa yang terjadi diantara dua muda mudi itu. Namun, dengan ketegasannya, Khaira berhasil menahan Khair agar tak bertindak berdasarkan emosi."Semuanya sudah terlanjur. Uang kuliah kamu sudah lunas, dan bukti pembayarannya juga sudah ada di tangan. Ini dia berikan ke Teteh sebelum kamu pulang tadi sore."Khair diam sejak Riang pamitan. Pun sampai Khaira menyuguhinya makan malam. Khair tetap tidak bercerita perihal gadis yang mengaku sebagai calon adik ipar Khaira itu."Kamu butuh ini untuk daftar sidang skripsi, besok kan?" Khaira menyodorkan kertas bukti pembayaran kuliah Khair.Pemuda itu sama sekali tak meliriknya. Pikirannya dipenuhi bayangan tentang Riang, gadis dengan tingkah paling aneh diantara semua orang aneh yang pernah Khair temui. Menurut dia, Riang bahkan lebih aneh dan tak kala
Khaira berdiri saat itu juga. Dia sudah tidak tahan dengan apa yang didengarnya. Itu bukan cerita baru, tapi cerita yang selalu diulang-ulang. Khaira sangat muak mendengarnya. Namun, dia juga tidak bisa menolak fakta bahwa memang seumur hidup, keluarga neneknya lah yang membesarkannya.Tangan Khaira terkepal seperti meremas kertas. Seolah di dalamnya ada naskah cerita yang ingin dia buang. Tapi dia tidak punya cukup nyali untuk melayangkannya ke tong sampah.Dia lantas melangkah tergesa ke meja kasir. Diambilnya beberapa lembar uang dari laci. Lalu dia kembali ke tempat wanita tadi."Ini! Ambilah, Tante!" ujarnya sambil menyodorkan lembaran uang pecahan warna biru kepada wanita itu. “Maaf, Khaira tidak punya amplop.”Wanita berpakaian mencolok dengan dress panjang berhias swarowski imitasi itu melirik lembaran uang yang kini tergeletak di mejanya."Hm ….” Tangan wanita itu menggapai uang tersebut. “Sebenarnya ini engg
Kehadiran Riang di kedai kopi Khaira hampir merubah segalanya, terutama suasana hati Khair. Kedai Khaira yang biasa adem ayem kini lebih semarak dengan alunan musik dan lagu-lagu kesukaan Riang.‘Sejak kapan ada musik di kedai kopi Teh Khaira?’ pikir Khair begitu telinganya menangkap alunan musik dari lagu yang sedang popular di kalangan remaja. Pemuda itu pun mempercepat langkah kakinya menuju pintu kedai.Suara nyanyian dari sebuah speaker bluthooth menguar. Lirik lagu barat yang dinyanyikan penyanyi Katty Perry memenuhi seisi kedai yang saat itu ramai pengunjung.“Teh, apa-apaan sih ini?” cecar Khair kepada Khaira yang sedang menggiling kopi menggunakan grinder.“Memangnya kenapa?” Khaira bergeming dari pekerjaannya. “Khair, datang tuh salam dulu, baru wawancara!” sindirnya tanpa sedikit pun mengalihkan konsentrasi dari mesin grinder.“Iya, Assalamualaikum, Teteh,” ucap Khair.
“Tumben sepi, Bi?” tanya Khair kepada Bi Ocih di suatu pagi.Kedai belum buka. Hanya Bi Ocih yang tampak seorang diri di belakang meja barista, sedang menyiapkan peralatan.“Kemana Teh Khaira?” tanya Khair lagi. Dia celingukan mencari sosok wanita berambut kepang dengan scraft kecil di kepalanya.“Neng Khaira di mushola sama Neng Riang.”Mata Khair membulat. Penasaran dia, sedang apa mereka berdua di mushola. Tidak mungkin sedang main catur, kan?Lamat-lamat Khair mendengar lantunan ayat suci Alquran kala langkahnya mendekat ke lorong menuju mushola kedai Khaira.“ar-raḥmān. 'allamal-qur`ān. khalaqal-insān. 'allamahul-bayān. asy-syamsu wal-qamaru biḥusbān. wan-najmu wasy-syajaru yasjudān. was-samā`a rafa'ahā wa waḍa'al-mīzān. allā taṭgau fil-mīzān. wa aqīmul-wazna bil-qisṭi wa lā tukhsirul-mīzān. wal-arḍa waḍa'ahā lil-anām. fīhā fākihatuw wan-nakhlu żātul-akmām. wal-ḥabbu żul-'aṣfi war-raiḥān. fa
Khair tak lagi ribut dengan Riang, apalagi jadwal sidang skripsinya sudah sangat dekat. Dia sibuk menyiapkan dokumen dan memantapkan diri secara fisik dan mental untuk menghadapi hari penentuan kelulusannya itu.“Doain Khair ya, Teh,” pagi itu Khair pamitan kepada Khaira. Disandangnya tas ransel berisi draft skripsi dan beberapa buku referensi yang mungkin perlu dia tunjukan kepada penguji. Laptop tak lupa dia bawa, pun demikian dengan bekal kopi dari kakaknya.“Semoga lancar, ya, Khair. Semoga kamu lulus,” ucap Khaira.Seperti biasa, Khair mencium tangannya lalu pamitan. Khaira pun bersia-siap pergi ke kedainya.Hingga sore, Khair tak memberinya kabar. Di kedai, Khaira berdebar-debar menantikan hasil sidang adiknya.“Riang, hari ini sudah ke kampus?” tanya dia bermaksud mencari tahu soal Khair kepada Riang.“Hari ini Riang free, makanya bisa di sini sampai sore. Sekalian nunggu Khair.”
Esok harinya, sepulang kuliah, Riang seperti biasa melakukan tugasnya di kedai kopi Khaira. Namun, ketika tiba disana, dia dikejutkan dengan sound yang berbeda. Bukan musik dari lagu-lagu barat dan Korea kesukaannya, melainkan lagu mendayu yang baru kali ini didengarnya.Khair tampak menempati salah satu meja yang menghadap ke jendela. Sebuah laptop terbuka sedang ditatapnya.Riang penasaran dengan apa yang dilakukan Khair di sana.“Assalamualaikum, Akhi.” Sapa Riang dibalas salam Khair tanpa ekspresi. “Akhi, lagi apa?” Riang menelengkan kepalanya mencari tahu apa yang sedang dilakukan Khair lewat layar laptopnya.“Stop sebut Akhi!” Khair mendelik. “Dan, enggak usah dekat-dekat kayak gini! Kita bukan muhrim.”Bersamaan dengan itu lagu yang sedang diputar di kedai berganti. Dari irama mendayu sendu grup nasyid inteam ke ritme yang menghentak-hentak dari Justice Voice.Hey! Kamu
“Ada beberapa rekomendasi kampus yang memberikan beasiswa penuh untuk mahasiswa baru,” papar Ahsan. Dia memang sudah janji kepada Khair untuk memberikan rekomendasi kampus yang memiliki beasiswa penuh untuk program pasca-sarjana.Beberapa kampus yang dipilihkan Ahsan adalah kampus negeri di sekitar Bandung, seperti UPI dan UIN. Beberapa kampus lain di luar kota juga Ahsan rekomendasikan untuk Khair. Dia bahkan, merekomendasikan juga kampus luar negeri yang mungkin cocok dengan minat Khair.“Almamater saya dulu, bisa kamu lirik juga, loh. Di sana cukup nyaman. Lingkungannya pun cukup kondusif untuk belajar Islam. Tetapi, jika kamu ingin lebih dalam mempelajari tentang Islam, mungkin sebaiknya ke Timur Tengah saja, atau ke Mesir.”Khair menarik kedua sudut bibirnya. Dia bahkan tidak pernah membayangkan bisa kuliah di luar negeri, sebab untuk kuliah di negeri sendiri saja tantangannya tak semudah membalikkan telapak tangan.“Kul