Share

Hari Keberangkatan

Nia masih menangis di kamar, wajahnya ia benamkan di bantal. Ini pertama kali dia akan berjauhan dari Aisyah. 

"Ternyata Nia bisa nangis juga," ledek Aisyah saat ia memasukkan beberapa potong pakaiannya ke dalam tas ransel semasa ia sekolah dulu.

"Kak ...." Nia kembali merengek.

"Ini demi kamu, demi ibu, demi Andra juga. Kamu mau lihat kakak dipaksa nikah sama Tuan Ramdan atau izinkan kakak pergi?" ujar Aisyah lembut sambil mengelus rambut lurus Nia.

Nia bangun dan langsung memeluk Aisyah erat. Aisyah meneteskan air mata tetapi segera dihapusnya, jangan sampai Nia melihatnya menangis. Walau berat, ini semua harus ia jalani. 

Aisyah melepaskan pelukkan Nia, lalu merogoh saku celananya. Ia memberikan beberapa lembar uang kepada Nia. 

"Simpan, jangan sampai tau bapak!" bisik Aisyah.

Tadi pagi-pagi Aisyah berangkat ke rumah juragan Yanto untuk mengerjakan pekerjaan seperti biasa. Setelah menyelesikan semua pekerjaannya, ia izin berhenti bekerja dan berpamitan kepada istri juragan Yanto.

Istri juragan Yanto yang terkenal sangat dermawan itu memberikan Aisyah gaji satu bulan penuh dan menambahnya dengan uang untuk pegangan Aisyah di perjalanan.

Beliau sangat mendukung keputusan Aisyah, karena kalau Aisyah masih bertahan di kampung ini, nasib Aisyah pasti berakhir menjadi istri ke tiga Tuan Ramdan.

Suara ketukkan pintu membuat Aisyah dan Nia bangkit, ternyata Ibu Hanum ingin gabung di antara ke dua anak gadisnya.

"Ais, kenapa kamu tidak bertanya apa Ibu setuju atau tidak?" gumam Ibu Hanum.

"Maafin Ais, Bu. Tapi, apa ada gunanya? Ibu pasti melarang."

"Kasihan bapakmu ...."

"Ibu kasihan sama Bapak, tapi dengan kami tidak? Ais, sudah tidak mengenal Ibu lagi. Ibu mementingkan lelaki itu dari pada kami. Kenapa Ais harus kasihan sama laki-laki pengangguran dan penjudi itu ...."

Plak!

Belum selesai ia berkata, satu tamparan mendarat di pipi Aisyah. Pipi putih Aisyah meninggalkan jejak memerah.

"Ibu!" teriak Nia.

Aisyah meraba pipinya yang terasa panas. "Terima kasih, Bu. Aisyah sekarang lebih paham. Besok Aisyah berangkat, Bu. Doakan Aisyah baik-baik di rantau."

Ibu Hanum memandangi tangan kanannya. Dulu saat ayah Aisyah masih hidup hingga menjanda. Ibu Hanum tidak pernah memukul atau mencubit anak-anaknya. Namun, semua berubah setelah Ibu Hanum menikah lagi. Ibu Hanum menjadi tempramental. Memukul Aisyah dan Nia kecil sudah tidak bisa dihitung lagi. Mengupat menjadi kebiasaan baru Ibu Hanum. Aisyah dan Nia benar-benar kehilangan sosok ibunya yang dulu.

Ibu Hanum langsung menangis segugukkan.

***

Aisyah mencium tangan Ibu Hanum dan Bapak Burhan dengan takzim. Ia berpamitan, hari ini, hari keberangkatannya ke kota bersama Ayu.

"Kak Ais," panggil Andra.

Aisyah lalu berlutut di hadapan Andra. "Kakak pergi sebentar, ya. Doain Kakak punya banyak uang, kita berobat, ya! Biar Andra bisa jalan seperti teman-teman. Andra mau, kan?"

"Iya, Kak. Andra mau." Anak laki-laki itu memeluk Aisyah erat seolah tidak sudi ditinggal air matanya mengalir deras membasahi pipi.

Nia mengantar Aisyah dan Ayu sampai ke terminal bus. Lampaian tangan Nia mengantar kepergian Aisyah. Suara deru bus dan asap sisa pembakaran bahan bakar menyisahkan asap pekat, tinggal bersama Nia yang masih saja terpaku menatapi kepergian kakaknya. Orang yang dianggapnya bisa menjadi sosok ibu.

Bus mulai meninggalkan terminal, menyusuru jalan lintas. Akhirnya meninggalkan kabupaten tempat Aisyah dan Ayu di besarkan. Menuju ibu kota yang katanya sangat kejam.

Di dalam pikiran gadis berkulit putih bersih ini hanya uang. Ia sudah membayangkan menerima gaji lima juta perbulan seperti yang dikatakan Ayu di awal.

"Yu, siapa yang akan aku urus?" tanya Aisyah.

"Orang lumpuh."

"Iya, maksudnya, laki-laki atau perempuan?"

"Oh, itu. Laki-laki. Anak dari teman majikan saya.  enam bulan yang lalu, dia mengalami kecelakaan. Sudah sepuluh orang yang bekerja, tapi tidak ada yang betah," jelas Ayu.

Aisyah terkejut mendengar penuturan Ayu. Segalak apa majikannya itu hingga berganti-ganti orang yang bekerja dalam waktu enam bulan. 

"Bayangkan saja gajinya. Kamu ingin mengobati Andra dan menguliahkan Nia, 'kan?" Ayu membuyarkan lamunan Aisyah. Seolah ia paham apa yang sedang Aisyah pikirkan.

Perjalanan beberapa jam telah mereka lalui, akhirnya mereka tiba diterminal tujuan. Sebuah mobil hitam mengkilap sudah menjemput mereka. Mobil yang akan membawa Aisyah ke rumah majikannya. 

"Kita pisah di sini, ya, Ais. Itu kamu sudah dijemput," ujar Ayu, ia menunjuk ke arah mobil yang terparkir dan seorang pria sedang berdiri di sisi kanan mobil.

"Aku takut, Yu. Aku tidak mengenal siapa-siapa di sini. Apa kamu tidak mau mengantarkanku dulu?" Aisyah sedikit memohon.

Ayu menghelah nafas. "Baiklah. Yuk aku antar!"

Dulu ia pernah bermimpi suatu saat duduk di dalam mobil mewah dengan jok empuk dan pendingin yang memanjakan diri. Memandang gedung-gedung menjulang. Kini mimpi itu menjadi nyata, walaupun hanya sebagai pembantu. 

"Mobil untuk menjemput pembantu saja seperti ini, bagaimana mobil majikannya," gumam Aisyah dalam hati.

Mobil yang mereka kendarai memasuki rumah yang sangat mewah, kalah rumah Tuan Ramdan jika dibandingkan rumah ini. 

"Waw, ini istana, Yu?" tanya Aisyah takjub.

Ayu dan supir tertawa melihat kepolosan Aisyah. Bagaimana ia berdecak kagum ketika melihat bangunan-bangunan megah.

"Semoga ini perawat terakhir untuk Tuan Ziyan," gumam Dani--supir pribadi Ziyan Alfero. 

"Kamu bisa, kamu pasti bisa, Ais." Ayu memberi semangat dan menepuk pelan bahu Aisyah. Aisyah pun mengangguk.

"Bismillah ...," ucap Aisyah saraya turun dari mobil.

Pintu rumah dibuka oleh dua orang wanita paruh baya. Bak seorang putri masuk istana.

Di sebuah kursi jati berpahat mewah, seorang wanita cantik sedang duduk dengan gusar. Keningnya berkerut seolah sedang ada yang dipikirnya.

Aisyah terkejut saat mendengar suara piring terbanting di lantai. Nyonya rumah yang diketahui bernama Siska mendengkus. Tampak kekesalan di wajahnya.

"Saya lelah menghadapi tingkah dia. Sudah banyak yang bekerja mengurus dia tetapi tidak ada yang betah," cicit Nyonya Siska. "dia bukan lagi anak kecil tapi tingkahnya melebihi anak kecil," 

Setelah mendengarkan segala keluh kesah Nyonya Siska mengenai anaknya--Ziyan Alfero, Ayu pamit. Ia harus segera kembali ke rumah majikannya yang merupakan sahabat Nyonya Siska.

Ketua pelayan mengantar Aisyah menuju kamarnya. Kamar pembatu di rumah ini lebih bagus dari pada kamar Aisyah di kampung. Single bad terletak di sudut ruangan berukuran tiga kali empat. Sebuah lemari kecil dua pintu terletak di depannya. Jemuran handuk berada di samping lemari. Kipas angin terpasang di langit-langit kamar. Kamar yang cukup nyaman bagi Aisyah.

Setelah merapikan pakaian, Aisyah dibawa kepala pembantu menuju dapur untuk mengisi perutnya. Di rumah ini ada empat orang pembantu, seorang tukang kebun, tiga orang supir dan empat satpam yang bekerja bergantian.

Meja makan yang terletak di dapur penuh dengan makanan. Di sini tempat para pekerja di rumah ini makan. Aisyah tertegun melihat lauk yang tersaji di atas meja.

"Apa ini boleh kita makan?" tanya Aisyah kepada Buk Yati--ketua pembantu di rumah ini.

"Tentu boleh," sahut Buk Yati ramah.

"Di kampung, setahun sekali saya dan adik belum tentu bisa makan makanan seenak ini," ujar Aisyah, matanya mulai berkaca.

"Awalnya saya juga seperti kamu, heran dengan fasilitas yang kita terima di rumah ini." balas Buk Yati.

"Bos kita itu orangnya baik. Yang tidak baik itu Tuan muda Ziyan. Dia arogan, suka marah-marah nggak jelas." Tiba-tiba seorang pelayan menyelutuk. "nanti kamu yang bertugas mengurus Tuan Ziyan. Semoga kamu betah!" 

Buk Yati menyodorkan piring berisi nasi kepada Aisyah. Di saat seperti ini, Aisyah teringat akan Nia dan Andra. Betapa senangnya mereka jika dapat makan seenak ini.

"Hei, jangan melamun depan makanan!" tegur Buk Yati. Iya mencawil pinggang Aisyah.

Aisyah mengelinjang. "Nggak, Buk. Cuma lagi keingat sama adek-adek di kampung."

"Sebentar lagi mereka bisa makan enak juga, gaji kamu cukup untuk mereka makan enak setiap hari." Buk Yati berusaha menenangkan Aisyah.

Tidak lama setelah itu terdengar teriakkan dari arah kamar Ziyan.

"Tugas pertamamu sudah menanti," celetuk Buk Yati.

Aisyah mempercepat suapannya dan gegas meneguk segelas air. Setelah makanannya benar-benar habis ia  berlari ke kamar Ziyan.

"A-a-ada yang bisa saya bantu, Tuan?" tanya Aisyah terbatah-batah.

Ziyan menatapnya tajam. "Siapa kamu?"

"Aisyah, Tuan."

"Bodoh. Apa peduli aku dengan namamu." bentak Ziyan.

Lelaki yang duduk di atas kursi roda tersebut menatap Aisyah seperti musuh. Ia memandangi Aisyah dari ujung kaki hingga ujung rambut.

"Kampungan," hina Ziyan setelah melihat penampilan Aisyah.

"Saya di sini melamar jadi pembantu, Tuan. Bukan jadi model." Aisyah menjawab ucapan Ziyan.

Ziyan terkejut karena ada yang berani membantah ucapannya.

"Aku pastikan kamu tidak akan betah kerja di sini." Ziyan menyilangkan ke dua tangannya di dada.

"Kita coba saja, Tuan!" ucap Aisyah pelan, tetapi berhasil membuat Ziyan kesal.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status