Share

Terapi

"Temani aku di sini!" ucap Ziyan kepada Aisyah ketika Aisyah membantunya masuk ke kamar.

"Ha?" ucap Aisyah terkejut. "Mana boleh." Aisyah terlihat panik.

Ziyan tidak kalah terkejut mendengar suara Aisyah yang naik satu oktaf.

"Helo, jangan mikir macam-macam! Kamu pikir nemani apa?" bentak Ziyan.

Aisyah senyum-senyum menahan malu.

Ziyan mendorong kepala Aisyah. "Jangan ke PD-an! Siapa juga yang mau tidur sama kamu, nggak level."

Aisyah membalikkan badannya, ia sangat malu. Merasa terlalu bodoh. Otaknya kenapa menjadi mesum gini.

"Udah buruan bantu aku ke tempat tidur!" pekik Ziyan, ia telah mengangkat sedikit pantatnya.

Setelah Ziyan berada di tempat tidur, Aisyah merapikan selimut Ziyan. Lalu ia memilih duduk di sofa yang letaknya di tengah ruangan menghadap ke TV LED yang tertempel di dinding kamar.

"Aku lapar," ucap Ziyan. 

Aisyah menoleh lalu ia berdiri walaupun ia merasa sudah sangat mengantuk. Akan tetapi, ia tetap melakukannya, mengambil makanan di dapur. Menu sehat selalu disiapkan oleh tukang masak yang ditunjuk oleh Nyonya Siska.

Seperti biasa, Ziyan akan membuang makanan itu jika ia tidak menyukainya.

Saat Ziyan akan melemparkan makanan ke lantai dengan cepat Aisyah menarik piring tersebut.

"Kalau tidak suka jangan dibuang!" gumam Aisyah. "Mau makan atau tidak terserah Tuan." Aisyah meletakkan semua makanan yang ia bawa ke baki.

"Mau kamu bawa ke mana makanan itu?" teriak Ziyan.

"Lebih baik diletakkan di dapur dari pada harus dibuang setiap hari," sahut Aisyah.

"Berani kamu melawan?" Terdengar suara Ziyan mengancam.

"Saya tidak melawan, Tuan. Saya hanya tidak suka melihat makanan dibuang-buang," jawab Aisyah sambil berlalu.

Ziyan sangat kesal melihat sikap pembantunya kali ini. Hanya Aisyah yang sudah berani menentang dia. 

Pukul empat sore, Aisyah masuk ke kamar Ziyan. Ternyata Ziyan sudah tertidur. Aisyah segera membangunkannya karena sore ini jadwal terapi Ziyan.

Aisyah mengguncang tubuh Ziyan agar ia bangun. Usahanya berhasil. Ziyan menggeliat dan mencoba membuka matanya.

"Apa lagi, sih, cewek udik?" geram Ziyan.

"Jadwal terapi," ucap Aisyah singkat.

"Apa terapis-nya sudah datang?" tanya Ziyan dengan suara yang sedikit parau.

Aisyah menggeleng. Dia sudah mengatur jadwal terapi kali ini, mereka langsung datang ke rumah sakit. Bukan seperti biasa, para terapis yang mendatangi Ziyan.

Mendengar pemaparan Aisyah bahwa ia sudah merubah jadwal, Ziyan sangat marah.

"Apa hak kamu mengatur-atur aku?"

"Maaf, Tuan. Apa Tuan tidak jenuh di rumah terus. Ada baiknya Tuan keluar rumah." Aisyah berusaha mencari alasan agar Ziyan mau keluar rumah.

"Manusia cacat seperti aku?" suara Ziyan terdengar seperti putus asa.

"Banyak yang lebih parah dari pada Tuan, tapi mereka bisa menikmati hidup."

"Aku tidak mau. Aku malu."

"Ayuk lah Tuan!" Aisyah medorong Ziyan ke kamar mandi untuk bertukar pakaian.

"Hei, apa-apaan ini. Aku tidak mau." protes Ziyan.

"Buruan Tuan! Kalau Tuan tidak mau, saya tidak akan bukakan pintu kamar mandinya," ancam Aisyah sambil menahan tawa.

Pipi putih ini merona menahan tawa, ia tertawa melihat ekspresi panik Ziyan. 

Ziyan menggedor pintu kamar mandi dari dalam, ia memaki-maki Aisyah karena mengurungnya.

"Kita mau pergi terapi atau tidak, Tuan?"

Ziyan mendengkus. "Ok, Ok. Kita pergi."

"Yes!" sorak Aisyah.

Aisyah membuka pintu sambil tersenyum. Sesaat Ziyan bergeming melihat Aisyah yang muncul dari balik pintu. Wajah polos Aisyah membuatnya tertarik. Namun, dengan cepat ia menepis pikiran itu.

Ziyan muncul dengan penampilan yang cukup sederhana, baju kaos lengan panjang dipadukan dengan celana panjang dengan warna setingkat di atas bajunya.

"Mari, Tuan!" Aisyah mendeorong kursi roda itu keluar dari kamar mandi dan berhenti depan sebuah lemari yang berisi sepatu-sepatu milik Ziyan--tentu tidak ada yang murah.

"Tuan mau pakai yang mana?" ucap Aisyah sambil membuka semua pintu lemari agar Ziyan bisa memilih.

"Terserah kamu!" ucap Ziyan malas.

"Entar salah lagi. Tuan marah-marah lagi," gumam Aisyah sambil menaikkan alisnya.

"Kamu bilang saya pemarah?" Nada suara Ziyan mulai meninggi.

"Maaf, Tuan. Maaf. Becanda, kok." Aisyah mengambil sepatu fantofel tanpa tali. 

Aisyah memasangkan ke kaki Ziyan. 

"Di kampung kamu ngapain?"

"Kerja jadi pembantu juga, Tuan," jawab Aisyah.

Tanpa sadar, tangan Ziyan mengusap kepala Aisyah yang menunduk saat memakaikan sepatunya.

"Ada apa, Tuan?" tanya Aisyah sedikit heran.

"Hmmm, ada kutu," jawab Ziyan asal.

Aisyah telonjak. Ia berdiri dan meraba rambutnya dengan ekspresi sangat lucu. Ia berhasil membuat Ziyan kembali tersenyum.

Mobil yang mereka gunakan untuk mengantar Ziyan sudah tiba di parkiran rumah sakit. Dengan bantuan Dani, Ziyan turun dan kembali didudukkan di kursi rodanya.

Aisyah mendorong Ziyan menuju ruangan terapi. Setelah menanyakan ke bagian informasi di mana letak ruangan tersebut. Mereka menuju ruangan yang ternyata terletak di lantai empat.

Aisyah kebingungan bagaimana cara menggunakan lift. Sesampai di depan pintu lift ia hanya berdiri. 

"Dekatkan aku dengan tombol-tombol itu!" perintah Ziyan, seolah ia mengerti apa yang membuat Aisyah terdiam. "Pakai lagaknya ngajak terapi di rumah sakit. Buka lift saja nggak tahu," sindir Ziyan saat menunggu lift terbuka.

Di dalam lift mereka hanya berdua. Wajah Aisyah dibasahi keringat, padahal udara di dalamnya sangat dingin.

"Kamu kenapa?" tanya Ziyan heran.

"Takut," sahut Aisyah dengan suara bergetar.

Ziyan mengerutkan kening, mencoba mengartikan apa yang membuat gadis berambut hitam lurus ini takut.

"Takut kenapa?" Kembali Ziyan bertanya.

"Takut kalau liftnya mati dan kita terkurung." Aisyah tremor.

Ziyan terkekeh mendengar jawaban polos Aisyah. "Aku akan menekan tombol darurat ini." Sambil menunjukkan tombol bewarna merah. "bantuan akan segera darang, dan aku hanya meminta orang menolongku saja dan membiarkan kamu mati kekurangan oksigen di dalam lift." Ucapan Ziyan terdengar serius. Ziyan mengucap tanpa ekspresi.

Mendengar itu Aisyah tertegun. Tiba-tiba lehernya seolah tercekik.

Ziyan malah tertawa. "Walaupun aku suka marah-marah tapi aku bukan se-psikopat itu," ucap Ziyan.

Aisyah menarik nafas legah. Sampai lift terbuka karena sudah sampai di lantai yang dituju, Ziyan tidak berhenti tertawa sehingga mereka menjadi pusat perhatian orang yang masuk ke dalam lift.

"Kenapa mereka melihat kita seperti itu?" tanya Aisyah polos.

"Karena kamu jelek," sahut Ziyan sesukanya. "lihat saja penampilan kamu, tidak ada bagus-bagusnya."

Mendengar ucapan Ziyan, Aisyah hanya tersenyum kecut.

Tibalah mereka di ruangan terapi yang dimaksud. Di ruangan ini terdapat cermin besar sehingga Aisyah bisa memperhatikan penampilannya. Benar sekali yang dikatakan Ziyan. Baju kaos dan rok panjang yang sudah ketinggalan zaman serta rambut hanya dikuncir kuda.

Aisyah tersenyum saat melihat Ziyan memulai terapinya. Hari ini ia belajar berdiri. Sebenarnya ini cukup lambat, enam bulan terapi baru sebatas belajar berdiri. Tetapi biarlah asal dia mau terus terapi.

Aisyah terkejut dan berlari mendekati Ziyan saat melihat Ziyan terjatuh. Kakinya belum kuat untuk sekedar berdiri.

"Tuan nggak apa-apa?" Aisyah membantu Ziyan berdiri, tetapi tangan itu terus ditepis.

"Aku nggak berguna jadi manusia, untuk berdiri saja aku nggak bisa." Ziyan memukul-mukul kakinya.

"Jangan begitu, Tuan! Tuan pasti bisa! Bisa seperti dulu lagi. Bayangkan! Tuan berdiri di pelaminan sebagai sepasang raja dan ratu. Apa Tuan tidak mau seperti itu?" Aisyah menahan tangan Ziyan agar berhenti memukul.

"Bodoh! Mana mungkin bisa aku berdiri dalam waktu satu minggu," upat Ziyan putus asa.

"Tidak ada yang tidak mungkin jika Allah sudah berkehendak," sahut Aisyah. "Ayuk, Tuan. Kita coba lagi!" Aisyah kembali membantu Ziyan berdiri tetapi kali ini tangan Aisyah tidak ditepis.

"Baca Bismillah ..., Tuan!"

Ziyan mencoba berdiri, seperti anak kecil mau melakukan apa yang diperintah Aisyah.

Aisyah sedang membayangkan jika yang sedang diterapi itu adalah Andra. lalu,

is bersorak girang, saat melihat tuan muda-nya berhasil berdiri selama sepuluh menit dan akhirnya terjatuh. 

"Nah, bisa, kan, Tuan. Saya bilang yang penting yakin ...."

"Orang kampung tau apa tentang yakin," kritik Ziyan memotong ucapan Aisyah.

aisyah tidak menjawab. Ia membiarkan Tuan muda mengatakan apa pun yang ia suka.

di koridor rumah sakit, Ziyan bertemu Alfa-sahabatnya. Alfa mengajak mereka ke sebuah cafe yang berada tidak jauh dari rumah sakit. alasannya untuk melepas kangen karena sudah lama ia tidak nongkrong bareng Ziyan.

Awalnya Ziyan menolak. Namun, Alfa memohon akhirnya Ziyan mau menyetujui ajakkan Alfa. Aisyah turut dalam undangan minum kopi tersebut. walaupun di sana dia  hanya menjadi pendengar yang baik atas obrolan mereka.

Alfa merupakan sahabat Ziyan dari kecil. setelah dewasa mereka jarang bertemu karen kesibukkan masing-masing. Alfa sibuk mengurus agen model dan para model yang bernaung di bawah perusahaan yang Alfa pimpin.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Nunyelis
next thor....seruuu nih....semangat sampe ending.........
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status