Share

Kontrak Nikah Seratus Hari
Kontrak Nikah Seratus Hari
Author: Yati Suryatu

Hutang Bapak

Aisyah berjalan tergesah-gesah setelah ia dijemput oleh Nia--adiknya dari tempat ia bekerja, rumah juragan Yanto. Aisyah setiap hari bekerja memasak dan membersihkan rumah di rumah juragan tersebut.

"Ayuk, Kak! Buruan!" Nia menarik tangan Aisyah agar Aisyah mempercepat langkahnya.

"Emang Bapak bikin ulah apa lagi?" tanya Aisya kesal.

"Bikin hutang lagi, lah, Kak," ucap Nia tidak kalah kesal.

Aisyah hanya bisa menghembus nafas berat. Baru saja dua bulan lalu, ia melunasi hutang yang dibikin ayah tirinya kepada Juragan Yanto. Sekarang sudah berhutang lagi kepada Tuan Ramdan.

"Kenapa Ibu tidak pisah saja dari laki-laki parasit itu," upat Nia sepanjang perjalanan.

"Husttt! kamu nggak boleh bicara begitu, Ni! Entar ada yang dengar dan mengadu lagi ke Ibu. Kita juga yang bakalan disalahkan lagi."

"Aku heran, Kak. Kenapa Ibu sebucin itu. Cakep juga nggak."

Aisyah hanya tertawa mendengar omelan Nia. Sifat Nia bertolak belakang dengan Aisyah yang penurut dan penyabar. Nia lebih ceplas-ceplos dalam berbicara.

Tidak terasa mereka sudah berjalan kaki sejauh satu kilo meter dari rumah juragan Yanto ke rumah mereka.

Tampak di depan rumah, dua orang lelaki berbadan besar, tubuhnya dipenuhi tato. Mereka preman kampung yang bekerja dengan Tuan Ramdan, mungkin ditugaskan untuk menakut-nakuti para peminjam yang sulit membayar.

Terlihat dari kejauhan dua orang preman itu berdiri berkacak pinggang, sedangkan Tuan Ramdan duduk sambil mengipas-ngipas sebuah buku, mungkin itu buku catatan para penghutang.

"Buruan bayar!" Terdengar bentakkan Tuan Ramdan.

"Maaf, Pak. Saya belum ada uang sebanyak itu," Burhan, ayah tiri Aisyah berucap tepatnya memohon.

"Belum ada uang apa tidak punyak uang sebanyak itu?" ucap Tuan Ramdan berbisik tetapi penuh tekanan.

Mata Tuan Ramdan tertuju kepada Aisyah dan Nia yang baru saja tiba. Ibu mereka hanya terduduk di depan pintu sambil memeluk Andra, adiknya Aisyah dari pernikahan ibu dan ayah tirinya.

"Kenapa lihat-lihat?" sergah Nia.

"Berani juga kamu," gumam Tuan Ramdan. "Bikin aku tertarik." Sambungnya. tangan kanannya memainkan dagunya yang di tumbuhi jenggot halus.

"Jangan, Tuan. Dia masih sekolah. Jangan ganggu anak-anak saya!" Ibu memohon sambil memegang kaki Tuan Ramdan.

"Apa-apan, sih, Bu?" Aisyah tidak sudi melihat ibunya merendahkan diri seperti itu. Ia langsung mendekat dan melepaskan tangan Ibu Hanum dari kaki Tuan Ramdan.

Kalau sudah begini, Ibu Hanum hanya bisa menangis sambil menatapi Andra yang masih berusia enam tahun.

"Emang berapa hutang Bapak?" tanya Aisyah kepada Tuan Ramdan.

"50 juta."

Bukan angka yang sedikit bagi Aisyah. Kerja di rumah juragan Yanto, ia hanya mendapatkan gaji delapan ratus ribu setiap bulannya. 

"Hutang apa lagi ini, Pak?" Suara Aisyah melemah.

"Hmmm, wa-waktu Andra sakit, untuk biaya Andra berobat," jawab Pak Burhan gugup.

"Emang berapa banyak biaya berobat Andra? Baru kemarin saya selesai mengansur hutang dengan Juragan Yanto, waktu minjam Bapak juga alasannya untuk berobat Andra. Sekarang ada lagi," gumam Aisyah kesal.

Tuan Ramdan terkekeh mendengar ucapan Aisyah. "Kalian dibodihi lelaki ini saja."

"Maksud Tuan apa?" Kali ini Bu Hanum angkat bicara.

"Iya, kalian bodoh. Mau saja dibodohi lelaki penjudi ini," jawab Tuan Ramdan di sela tawanya yang terdengar menyebalkan itu.

"Jadi Bapak main judi? Ya Allah, Pak. Sudah hidup kita susah, dan anak kita seperti ini, masih juga buat dosa. Ya Allah ...." Bu Hanum meraung sambil memeluk Andra.

"Berisik kalian!?" bentak Tuan Ramdan. "Mana uang untuk bayar hutangnya? Cepat!? Kalau tidak kau akan aku bunuh." Kembali Tuan Ramdan membentak sambil mengancam dengan mendorongkan senjata api yang dia punya ke perut bapak.

Pak Burhan bersujud dan mencium kaki Tuan Ramdan. Ia memohon agar Tuan Ramdan tidak serius dengan ucapannya. Aisyah membuang mukanya, tidak sampai hati ia melihat orang tuanya harus kehilangan harga diri seperti itu walaupun itu terjadi memang karena kesalahan ayah tirinya.

"Saya kasih waktu satu bulan. Jika tidak. Rumah kalian saya sita," ancam Tuan Ramdan- sambil berlalu pergi.

"Enak aja, main sita-sita," teriak Nia.

Bug!

Sendal yang Nia lemparkan mengenai kepala salah satu preman.

"Berani kau, ya?" gertak mereka dan berjalan kearah Aisyah dan Nia.

"Maaf, Bang. Maafkan adik saya!" Aisyah menyatukan kedua telapak tangannya di dada.

Pria itu ingin memukul Nia tetapi tangannya langsung ditangkap oleh Aisyah. Melindungi Nia merupakan tugasnya saat ini karena tidak ada lagi yang bisa mereka andalkan. Ibu hanya bisa menangis. Tidak berani melawan ayah tiri yang sudah semena-mena.

Menikah lagi hanya menambah beban bagi keluarga mereka. Dulu setelah ayah kandung Aisyah meninggal, ibulah yang bekerja keras untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Waktu itu Aisyah masih berusia delapan tahun dan Nia berusia dua tahun. Tidak jarang Aisyah membatu ibu bekerja mencetak batu bata milik Juragan Yanto.

Kalau sudah begitu, Nia ikut ke pabrik dan sibuk bermain tanah adonan untuk membuat batu bata. Mereka terpaksa membiarkan Nia berkubang di lumpur asal Nia diam.

Walaupun saat itu mereka sulit dalam ekonomi tetapi hati mereka bahagia. Jauh berbeda semenjak ibu memutuskan menikah lagi tujuh tahun yang lalu. Ibu terlihat semakin uzur, ternyata ia dinikahi oleh orang yang salah. Lelaki itu hanya bermodal cinta dan gombalan. Untuk hidup sehari-hari tetap ibu yang memenuhi.

Sepulang sekolah, Aisyah membantu tetanganya memetik sayuran dengan upah seratus rupiah dalam satu ikat. Upah itu yang Aisyah kumpulkan untuk membiayai sekolah dia dan Nia.

Jika meminta kepada ibu, ayah tiri mereka akan marah besar. Entah takut atau apa lah, Ibu Hanum lebih mementingkan uang untuk membeli rokok Pak Burhan dari pada untuk anak-anaknya.

Ditambah lagi Andra lahir dengan membawa sakit bawaan, tambah tidak ada lagi perhatian untuk Aisyah dan Nia.

Untung saja rumah yang mereka tempati adalah rumah peninggalan ayah kandung mereka. Jika tidak, mungkin mereka telah diusir dari rumah itu.

Seperti biasa, kegaduhan dan suara tangisan Ibu Hanum mengisi rumah berukuran 6 kali 6. Setiap kali ada orang yang datang untuk menagih hutang.

Aisyah menggendong Andra, dan menyuapinya makan siang dengan lauk telur dadar dan kecap manis. Andra memiliki kelaian pada tulang kakinya sehingga membuat ia belum bisa berjalan sampai saat ini. Rangkaian pengobatan dan terapi panjang harus Andra jalani tetapi, Andra tidak mendapatkan itu karena mereka tidak memiliki uang yang banyak.

Sementara karti jaminan kesehatan yang mereka bikin tidak bisa digunakan karena mereka terlalu lama menunggak.

"Nia kesal, Kak," gumam Nia sambil menghepaskan pantatnya di bangku panjang yang berada di belakang rumah, di bawah pohon rambutan.

"Kakak kemarin nanya kerjaan sama Ayu, Ni," gumam Aisyah.

"Mbak Ayu yang kerja di kota itu?"

Aisyah mengangguk.

"Jadi kakak mau kerja di kota? Lalu Nia bagaimana, Kak?" Suara Nia bergetar.

"Baru juga nanya, belum juga pasti ada. Udah mewek aja." Aisyah menoyor kepala Nia. "Kakak kasihan lihat Andra, kalau kerja di kota, dapat gaji lumayan, kan, bisa untuk berobat Andra." Lanjut Aisyah.

Tanpa mereka sadari, ibu menguping pembicaraan. Aisyah memang tidak menyukai ayah tirinya tetapi dia begitu menyayangi ibu dan Andra.

Tiba-tiba bapak menyusul ke halaman belakang. Ia berjalan mendekati Aisyah yang sedang asik menyuapi Andra.

"Aisyah." panggil bapak.

"Iya, Pak ada apa?"

"Berapa umur kamu sekarang?"

"22 tahun. Ada apa, Pak?" tanya Aisyah heran kenapa Pak Hasan tiba-tiba menanyakan hal itu.

"Sudah pantas untuk menikah. Apa kamu tidak mau menikah?"

Aisyah mengerenyitkan keningnya. "Nikah sama siapa, Pak? Pacar aja nggak punya."

"Ada yang mau sama kamu, Bapak yakin hidup kamu akan senang ...."

"Hidup Kak Aisyah atau hidup Bapak?" potong Nia. "Biar hutang Bapak juga lunas, kan?"

Ibu muncul dari balik pintu, ia tidak setuju atas niat Pak Burhan. Pak Burhan ingin menjadikan Aisyah alat melunasi hutang-hutangnya. Sejak Aisyah sekolah Tuan Ramdan telah mengincar Aisyah untuk dijadikan istri ke tiga. Oleh karena itu, ia begitu mudah memberikan Pak Burjan pinjaman. Ada Aisyah yang akan dijadukan jaminan.

Aisyah tidak berkata lagi, ia menyerahkan Andra kepada Bu Hanum lalu pergi. Ia masuk kamar dengan perut yang masih kosong, tanpa sadar ia tertidur hingga adzan Ashar berkumandang.

Suasana rumah begitu sepi, Aisyah keluar dari kamar dan mencari keberadaan penghuni rumah yang lain. Ternyata Nia sedang membersihkan halaman depan. Dari Nia, Aisyah mengetahui ibu, Andra, dan bapak pergi. Begitulah ibu, marah kepada bapak hanya sesaat.

"Assalamualaikum, Aisyah," sapa Ayu.

"Waalaikum Salam, Ayu. Mari masuk!" sahut Aisyah lalu mengajak Ayu duduk di kursi bambu yang terdapat di teras.

Ayu mengatakan, bahwa majikannya menelepon. Beliau meminta tolong kepada Ayu untuk dicarikan orang yang mau bekerja merawat orang lumpuh. Ayu teringat akan Aisyah yang kemarin menanyakan pekerjaan kepadanya.

"Gajinya besar, Ais. Lima juta," ucap Ayu bersemangat.

Mendengar kata lima juta, membuat Aisyah sangat tergoda. Berbanding sangat jauh dengan gajinya di rumah juragan Yanto.

"Saya mau, tapi ... saya tanya Ibu dulu, ya?"

"Kabari segera, ya, Ais. Kalau kamu setuju, lusa kita berangkat." Ayu memegang pundak Aisyah. "lusa aku balik ke kota. Cuti aku sudah habis."

Setelah Ayu pamit pulang, Nia duduk di samping Aisyah dengan wajah sendu ia menantap kakaknya.

"Nia gimana, Kak?"

"Kamu sabar, ya! Nanti setelah tamat sekolah, kamu susul kakak ke kota! Kakak juga tidak mau dinikahkan sama Tuan Ramdan. Kamu tau, kan, Ni. Ibu tidak akan membela kita." Air mata Aisya jatuh. Sebenarnya ia tidak tega meninggalkan Nia sendiri.

Satu semester lagi sekolah Nia selesai. Ia bisa membawa Nia ke kota jika gajinya sebesar itu, tentu ia bisa mengontrakkan rumah dan membiayai kuliah Nia.

Dia sudah berjanji pada dirinya, dia yang akan memberikan pendidikan terbaik untuk Nia.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status