Festival semakin lama semakin ramai di padati pengunjung. Bukan hanya di bagian penjual makanan dan aksesoris, tapi juga di sekitaran panggung. Jane baru tahu kalau Yohan amat sangat terkenal di kalangan gadis. Mengingat wataknya yang seperti itu mungkin saja gadis-gadis itu enggan untuk mendekatinya. Tapi ternyata sebaliknya. Banyak wanita yang berkerumun di depan panggung. Membawa banner dan foto Yohan dalam ukuran besar. Jane hanya mengangguk paham, tidak menyangka dia pernah memiliki hubungan asmara dengannya. Dengan pria terkenal."Mereka penggemar Kak Yohan. Kau terkejut, kan?" "Hem. Tidak aku duga sama sekali Yohan seterkenal itu.""Dia cukup mempunyai nama. Apa baru kali ini kau melihat Kak Yohan konser?""Yah, dulu pernah hampir pergi, tapi tidak jadi. Dan kau, apa mereka tahu kau adik Yohan?""Tentu saja."Jane menyipitkan matanya menatap Juan,"Apa kau juga memiliki penggemar?""Tidak ada." Juan tertawa."Aku tidak seperti Kak Yohan. Dimata teman-temanku, aku ini kutu buk
Di sepanjang perjalanan pulang, Jane terlihat diam saja. Yohan dan Juan saling berpandangan singkat. Mereka bahkan sama-sama melirik ke kursi penumpang tempat Jane duduk. Mendapati kalau Jane sedang melamun sambil menatap ke arah luar mobil. Sesekali bahkan mereka melihat Jane menghela napas panjang. Yohan tidak berani bertanya, apalagi Juan. Keduanya memilih untuk bungkam sampai mereka semua turun dari mobil saat sudah sampai di rumah. "Kenapa kau diam saja? Seharusnya kau ajak dia bicara," ucap Yohan saat masih berada di dalam mobil, sedangkan Jane sudah keluar lebih dulu dan sudah masuk ke dalam rumah. "Kau sendiri tahu wajahnya seperti apa. Mana berani aku mengajaknya bicara kalau moodnya kelihatan jelek seperti itu. Bukankah ini gara-gara kau, Kak Yohan? Kenapa kau harus memberitahu dia soal kedatangan wanita itu ke rumah kita? Awalnya dia bahagia setelah ku ajak ke festival, kau malah mengacaukannya." "Apa? Hei, berani kau bicara begitu padaku?" "Tapi ini semua meman
"Ajak aku bersamamu. Kita pergi bersama ke Moonlite."Jane tidak percaya dengan apa yang barusan dia dengar."Apa? Tapi tidak, terima kasih. Aku bisa pergi kesana sendirian. Kau jangan ikut campur urusanku. Tolong jangan melewatu batas." "Aku bisa melindungimu. Kau tahu ini sudah jam berapa?! Jane, tolong jangan lagi menolak kebaikanku. Aku tulus membantumu." "Mereka tidak akan berani melukaiku kalau hal itu yang kau takutkan. Aku bisa menjaga diriku sendiri." Jane berbalik arah, berniat untuk pergi mencari taksi. Tapi selarut itu, entah dia bisa menemukannya atau tidak. "Apa aku perlu menghubungi Regan?" Langkah Jane berhenti. Tubuhnya berbalik dan mendapati Yohan memegang ponselnya."Dia dan aku tidak akur. Tapi kalau bersangkutan denganmu, Aku rela bekerja sama dengannya untukmu," ucap Yohan. Jane berdecak. Dia kembali berjalan mendekati Yohan."Apa yang harus aku lakukan padamu? Kau tidak berhenti saat ku suruh. Kau tetap berlari saat kedua kakimu lelah. Sebenarnya apa yan
Suasana saat itu terasa tidak enak. Madam diam, Jane pun diam. Mereka bersitatap sinis seolah dengan saling beradu pandang saja keduanya mengerti dengan apa yang akan di bicarakan. Yohan menunggu di depan ruangan, bersama dengan satu penjaga pintu yang di awal sudah Jane bicarakan. Memang sengaja agar Yohan tidak terlalu tahu dengan apa yang akan mereka bahas. Masalah kontrak dan segala hal tentang perjanjian tidak ada yang boleh tahu kecuali Madam, Jane dan Regan. "Aku tidak percaya kau akan ke sini pukul empat pagi. Kenapa tidak menunggu besok saja?" ucap Madam memecah kesunyian. "Jam berapapun akan aku terjang kalau aku sedang banyak pikiran. Kau tahu sendiri kebiasaan ku. Aku tidak akan pernah tenang dan tidak akan bisa tidur kalau ada sesuatu yang mengganjal di pikiranku," jawab Jane sinis. Dia duduk di sofa, sedangkan Madam duduk di kursinya sendiri. "Yah, Aku tahu benar kebiasaan jelekmu itu. Kau sudah seperti anakku sendiri," ucap Madam dengan tersenyum miring. Ja
St. Louis Cemetery Matahari sudah mulai menampakkan sinarnya. Menghangatkan kulit putih tanpa noda yang kini tengah berdiri tepat di depan tugu peringatan bertuliskan Fumiko Sora. Yohan menunggu Jane di dalam mobil yang terparkir jauh di dekat jalanan. Jane meletakkan sebuket bunga yang dia beli di jalan. Tersenyum dan sedikit mengusap tugu itu dengan pelan. "Ibu, Aku datang. Maafkan aku karena lama tidak ke sini. Akhir-akhir ini aku sibuk sekali. Ibu, sebentar lagi aku akan menikah. Iya, kau tidak salah dengar. Putrimu yang tidak pernah kau lihat pertumbuhannya ini sebentar lagi akan menikah. Bagaimana? Kau tentu bahagia jika mendengar ini secara langsung, kan? Aku sendiri tidak menyangka akan berumah tangga. Mempunyai suami, lalu memiliki anak. Padahal sebelumnya aku tidak memiliki pikiran akan menginjak ke jenjang pernikahan dan memiliki sebuah keluarga. Kau tentu bangga padaku, kan? Tapi sayangnya, calon suamiku belum pernah aku ajak ke sini. Aku janji, suatu saat aku akan m
Jane mendiamkannya. Sepanjang jalan dari kedai wanita itu tidak bicara sama sekali. Untuk apa bicara dengan Yohan? Mood Jane hilang entah sejak kapan. Mengetahui Yohan bisa bersikap biasa saja dengan seorang wanita yang pernah menyukainya, semakin membuat Jane kehilangan respect padanya. Padahal perasaan Jane sudah membaik untuknya, bisa menerima kebaikan serta bantuannya sebagai teman. Tapi lagi-lagi dia membuat Jane kecewa. Apa Jane cemburu? Tentu saja tidak. Kenapa cemburu pada pria ini? Jane sudah mempunyai Regan. Tidak perlu yang lain lagi untuk melengkapi kehidupannya yang kosong. Hanya saja, Jane tidak tahu kalau ternyata Yohan masih bisa berhubungan baik dengan wanita yang pernah menaruh hati padanya. "Kenapa diam saja?" Tanya Yohan tiba-tiba. Jane menatap keluar jendela malas. Lebih baik melihat lalu-lalang mobil daripada bicara dengan Yohan. Batin Jane. "Tidak apa-apa. Hanya malas bicara saja." Yohan diam sejenak, lalu kembali bicara."Perjalanan kita masih jauh. Alan
Setelah menangis keras seperti anak kecil di depan Regan, Jane pulang ke rumah Foster. Tidak dengan Yohan seperti saat di awal dia ke MH, tapi dia memang sengaja memilih pulang menggunakan taksi. Jane terus saja menenangkan dirinya. Tapi perasaannya masih tetap mengganjal. Dia percaya dengan semua ucapan Regan, tapi dalam hati yang terdalam dia masih sangat takut kalau ketahuan. Pun karena rasa cemas yang ia rasakan sangat berlebihan, Jane akhirnya jatuh sakit. Padahal tinggal beberapa hari lagi dia akan menikah, namun drama ini belum usai. Jane di diagnosa terkena stres berlebih dan harus beristirahat beberapa hari di rumah sakit untuk menenangkan diri.Mendapati calon menantunya sakit, Tuan Abraham segera menjenguknya di rumah sakit. Saat sampai di sana, ada Juan yang sedang bersama Jane. Tidak perlu bertanya kemana perginya Regan. Dia berangkat ke perusahaan setelah mendapatkan telfon penting. "Astaga, Caty. Aku sangat terkejut saat Regan menelfonku. Bagaimana keadaanmu? Apa kau
"Walau aku tidak tahu apa-apa, tapi aku sudah tahu segalanya. Kau tidak perlu berusaha untuk menyelesaikan masalahmu sendiri. Ada Regan, dan juga aku dan kak Yohan. Kami tidak akan tinggal diam."Jane terdiam kesekian kali. Matanya kembali mengabut merasakan haru yang luar biasa. Di usapnya air mata yang sempat melesat turun. Dia tersenyum menatap Juan yang kini juga perlahan menarik senyum padanya. "Kau tahu? Aku stres karena banyak memikirkan masalah ini. Ketakutanku luar biasa besar. Memikul rahasia yang tidak boleh bocor adalah sesuatu yang tidak bisa aku diamkan. Rasa bersalah ini terus saja hadir dan aku tidak tega menyembunyikan semua ini pada ayahmu yang sudah sangat baik padaku." "Perasaan itu memang wajar. Tapi kau juga harus sedikit egois demi kebahagiaanmu sendiri. Percayakan semua pada Regan, hm?"Jane tersenyum lalu mengangguk."Kau tahu? Kami sudah sangat sibuk mengatur pernikahanmu. Aku dan kak Yohan sudah berkeliling mencari tempat yang cocok untuk pernikahanmu nant