"Ayah..."Iya. Hanya kata itu yang terlontar dari ke dua belah bibir milik Jane. Tubuhnya membeku, kedua matanya tiba-tiba mengembun, Dia gemetar hebat dan dadanya mendadak terasa sesak seakan oksigen yang di hirupnya menipis.Pria itu. Pria yang tengah berdiri di seberang jalan dekat lampu merah itu benar ayahnya. Walau rambutnya yang hitam kini bercampur dengan uban, walau wajahnya sudah mulai keriput, Jane tidak akan salah mengenali orang. Wajah itu sudah terpatri dalam ingatannya sampai kapan pun.Dia Alan Wilson, orang tua satu-satunya yang ia miliki yang sudah dia anggap mati. Dia adalah iblis di dalam cerita hidup Jane yang sampai kapan pun tidak akan mendapatkan pintu maaf darinya. Yohan mendapati ekspresi Jane yang seperti itu, melihat ke arah jalanan dan termangu. Yohan mengibaskan tangannya tepat di depan Jane. "Jane? Kau baik-baik saja? Wajahmu pucat. Kau sakit?" Jane tidak menjawab. Dengan tubuh yang masih gemetar hebar Jane berdiri. Yohan ikut berdiri dengan wajah keh
Dahi Yohan berkerut."Siapa maksudmu?" "Ayahku. Aku melihat ayahku, Yohan." Yohan terkesiap. Tahu benar dengan siapa orang yang Jane maksud. Walau dia tidak begitu tahu cerita aslinya, tapi Yohan paham kalau pria itulah yang membawa luka terdalam pada hati dan jiwa Jane. "Kau melihatnya dimana? Apakah saat kita makan di cafe tadi?" Jane mengangguk,"Em. Aku langsung mengenalnya walau rambutnya hampir memutih. Wajah itu meskipun sudah menua, tidak akan pernah bisa aku lupakan." "Aku kira dia sudah mati," ucap Yohan. "Orang yang sudah menyematkan luka dan penderitaan ku, memang ku anggap mati. Dia tidak berhak lagi ku panggil ayah. Dia sudah tidak mempunyai tempat di dalam kehidupanku. Apa aku salah jika berkata begitu?" Yohan diam saja. Mau merespon apa jika sudah seperti ini? Ini masalah keluarga yang seharusnya ia tidak boleh ikut campur. Tapi Jane berbeda. Dia bukanlah orang asing. Dia akan melindunginya meskipun itu bukanlah kewajibannya. Jane adalah keluarga. "Setelah sek
"Bisakah kita pindah rumah saja? Aku ingin tinggal di kota lain." Regan mengernyitkan dahi,"Pindah? Kenapa? Kau tidak betah di rumah ini ? Atau Juan dan Yohan membuatmu terganggu?" "Tidak. Mereka sama sekali tidak menggangguku. Ada hal lain yang membuatku harus pindah dari kota ini." Jane tahu kalau Regan pasti merasa sangat bingung dengan ucapannya. Pun, Regan meletakkan tasnya lantas mengajak Jane untuk duduk. "Kita duduk dulu. Mari bicarakan ini dengan baik-baik." Jane menurut saja saat Regan membawanya untuk duduk bersama di tepi ranjang. Regan melepas jas luarnya, lantas melonggarkan dasinya."Sebelum kau bicara, Aku ingin meminta maaf terlebih dulu. Ini soal tadi pagi. Maaf jika aku langsung bekerja sesampainya kita sampai rumah. Sepanjang hari bahkan saat aku metting hari ini, semenitpun aku sangat menyesalinya. Maafkan aku. Kau pasti merasa kesal." Regan adalah pria yang sangat baik. Dia meminta maaf atas kesalahannya yang tidak seberapa. Namun bagi Regan, kesalahan itu
Sesuai rencana, Alice datang ke tempat yang tepat. Kalau bertanya bagaimana bisa Alice menemukan Alan, Dia pergi setelah mendapatkan penghinaan luar biasa yang dilakukan Regan dan Jane saat di rumah Tuan Abraham minggu lalu. Dia sengaja menghilang, bukannya pergi ke negara lain seperti yang di katakan ayahnya saat berada di pernikahan Regan dan Jane.Tercorengnya harga dirinya saat itu, amat sangat membuatnya merasakan dendam yang luar biasa. Pun setelah kembali ke hotel saat itu, dia membayar seorang mata-mata untuk mencari informasi tentang Jane. Siapa yang tidak curiga? Wanita yang tidak tahu dari mana asalnya mendadak muncul di sisi Regan, pria yang dia cintai. Tanpa aba-aba, Regan mendadak mengumumkan hubungan asmaranya serta rencana pernikahan yang baginya lumayan mencurigakan. Semua terjadi begitu cepat. Hanya dengan uang, semua masalah bisa dia selesaikan. Saat dia membayar orang untuk mencari siapa sebenarnya Jane, orang suruhannya mendapatkan sebuah informasi penting kalau
Jane jatuh terduduk dengan ekspresi kaget dan juga wajah memucat. Keringat dinginnya keluar bahkan tubuhnya gemetar hebat. Yohan dan juga Juan yang melihat itu reflek berlari menolong Jane. "Ada apa, Jane? Kau kenapa?!" Teriak Juan panik. Sedangkan Yohan yang saat itu juga bingung dengan perubahan sikap Jane, bisa langsung menebaknya. Wanita itu seakan merasakan ketakutan yang sama dengan kemarin. Pun Yohan ikut melihat siapa gerangan yang berdiri di depan pintu dan dia pun ikut terkejut melihat wajah pria berusia sekitar 60-an berdiri di depan interkom. "Bawa Jane pergi dari sini. Antarkan dia kembali ke kamarnya," perintah Yohan tanpa menatap Juan. Bahkan tatapannya masih lurus ke arah interkom. "Apa yang terjadi? Ada siapa di depan pintu?" Tanyanya. "Jangan banyak bicara! Cepat bawa Jane naik ke atas. Jangan turun sampai aku menyuruhmu turun!" Bentak Yohan membuat nyali Juan menciut. dia bergegas membantu Jane untuk berdiri lantas mengajaknya naik ke lantai dua. "Sial!
Sepeninggal Alan, Yohan naik ke lantai dua menyusul Juan yang kini berada di kamar Jane. Saat masuk, Jane nampak sedikit terkejut. Khawatir kalau ayahnya itu nekat masuk sampai atas mengingat betapa gilanya dia dulu. Namun tentu saja semua hanya imajinasi Jane saja efek dari ketakutannya yang berlebihan. "Jadi bagaimana? Apakah dia sudah pergi? Jane sudah memberitahuku kalau ayahnya yang datang. Aku juga tahu bagaimana dia memperlakukan Jane dulu." Yohan menghela napas panjang. Lantas berjalan menuju ke Jane yang saat itu duduk di tepian ranjang sedangkan Juan berdiri di sebelahnya. Yohan menunduk, lantas memegang kedua tangan Jane. Sekali lagi pria itu menenangkannya. "Aku sangat mengerti betapa kau takut saat ini. Trauma saat bertemu dengannya lagi pasti membuat ketakutan dalam dirimu muncul kembali. Tenanglah, Dia sudah pergi. Aku juga berkata padanya kalau kau tidak tinggal di sini lagi. Aku yakin pria itu tidak akan mencarimu ke tempat ini lagi." Air mata Jane yang s
Tuan Abraham sudah menanti kedatangan menantu juga putra kesayangannya di depan pintu rumahnya yang terbuka. Begitu senangnya dia sampai senyum di bibirnya selalu mengembang. Saat Jane turun, Tuan Abraham langsung menghambur ke arahnya. Menepuk pelan lengan Jane,"Semoga kau betah tinggal di rumah ini. Aku sudah menyiapkan semua kebutuhanmu. Maafkan ayah kalau tidak sesuai dengan keinginanmu, hm?" Ucapnya membuat Jane dan Regan saling berpandangan. "Memang apa yang ayah sudah siapkan untuknya?" Tanya Regan. "Kau juga tahu nanti saat masuk ke dalam kamarmu." Senyum Tuan Abraham sangat mencurigakan. Jane dan Regan saling berpandangan lagi."Ayah, kami tidak akan lama tinggal di sini. Regan akan segera mendapatkan rumah yang cocok untuk kami tinggali berdua," ucap Jane. "Sebenarnya tidak perlu beli rumah pun tidak apa-apa. Ayah rela memberikan rumah ini padamu untuk kalian tinggali. Rumah ini juga terlalu besar untuk ayah tempati sendiri." "Mana bisa begitu?" Jane tertawa pelan."
Malam itu cuaca tidak mendukung. Pukul 4 sore air sudah menghujam bumi. Membasahi jalanan kota New York dan menggenangi beberapa jalanan yang tidak rata. Di perjalanan, tepatnya Regan sendirian di mobil kala itu, Dia menuju ke tempat perjanjiannya dengan Alan yaitu motel yang pernah Alice kunjungi. "Aku pulang agak malam. Makanlah lebih dulu bersama ayah. Ada urusan penting yang harus aku selesaikan." Begitulah saat dia pamit pada Jane. Apakah dia akan membuka mulutnya dan mengaku kalau akan bertemu dengan Alan? Jawabannya tentu saja tidak. Regan tidak akan bilang kalau dia sedang ada urusan bersama dengan ayah mertuanya. Mertua iblis kalau dia bilang. Tidak becus mengurus anak sampai menyiksanya hingga Jane mengalami trauma yang sampai kini tidak bisa di hilangkan. Seperti yang sudah dia lakukan pada Madam, Regan akan diam-diam menyelesaikan masalah ini hingga tidak perlu lagi mengikutsertakan Jane seperti saat bermasalah dengan Madam dulu. Mobil hitam mewah masuk ke