Setelah mendapat persetujuan dari Tuan Abraham, Jane menelfon Juan. Saat itu pukul 9 pagi, mungkin saja Juan masih kuliah. Saat Jane menelfonnya, Juan tidak mengangkatnya. Sampai beberapa panggilan, pria itu tetap tidak mengangkatnya. Dugaan Jane mungkin saja benar, mungkin Juan masih sibuk mengikuti mata kuliahnya di kampus. "Tidak heran kalau dia tidak mengangkat telfonku. Mungkin dia masih kuliah," gumamnya.Pun saat Jane berniat menelfon Yohan, ponselnya berdering. Juan menelfonnya kembali."Juan?" "Maafkan aku, Jane. Aku tidak mengangkat panggilanmu," ucap Juan terdengar terengah-engah."Kau kuliah?" "Iya. Aku bisukan ponselku. Ada apa?""Ah begitu, apa aku mengganggumu? Sepertinya kau terdengar terburu-buru.""Tidak. Santai saja. Aku hanya sedang menuju ke perpustakaan. Ada apa? Apa kau baik-baik saja?""Aku baik. Bagaimana kabarmu?""Yah, agak menyedihkan setelah kau tidak lagi tinggal di rumah kami. Aku merindukan kakak iparku yang cantik."Jane tertawa,"Jangan bercanda."
"Kau membuat lagu?"Yohan terdiam. Pertanyaan ayahnya begitu mendadak. Kenapa tiba-tiba saja orang ini menanyakan itu? Padahal selama ini dia tak sekalipun memperdulikan apa yang Yohan lakukan. Apapun yang berada di dalam kamarnya selalu ayahnya hancurkan. "Kenapa ayah ingin tahu? Tidak biasanya.""Apakah aku tidak boleh mengetahuinya?""Hanya aneh saja. Ini begitu mendadak. Bukankah selama ini ayah tidak pernah perduli dengan apa yang aku kerjakan?""Hem, kau benar. Aku kira kau membangkang karena ingin menjadi orang yang tidak berguna. Kesana kemari sambil membawa gitar. Tapi aku baru tahu kau bisa membuat lagu.""Itu tidak mengubah pendapatku. Tetap saja aku melakukan sesuatu yang tidak berguna di mata ayah. Apapun yang aku lakukan, bermain musik dan membuat lagu, tidak akan mengubah penilaian ayah padaku, kan?" Tuan Abraham terdiam. Dia menghela napas panjang, lantas membuka foto album yang terlihat usang dan memperlihatkannya pada Yohan. "Ini foto ibumu. Dia juga menyukai musi
Regan menghela napas dalam,"Aku tidak tahu. Yang pasti, kita harus lebih waspada kali ini." Semua terdiam. Mereka bergelud dengan pikiran masing-masing. Kalau di bilang takut, tentu saja Jane merasakan itu. Tidak mungkin dia hanya diam dan tidak merasakan kekhawatiran. Tapi sekali lagi, di sampingnya, banyak yang ingin melindungi dirinya. Dia tidak akan setakut dulu. "Jangan terlalu di pikirkan. Ini kan hari bahagia kita bisa berkumpul lagi." Jane memecah kesunyian yang terjadi selama beberapa menit."Sekarang katakan padaku, apa kesibukan kalian selama aku tidak tinggal di sana lagi? Jujur saja, separuh jiwaku hilang saat tidak ada kalian berdua di sisiku," lanjutnya melebih-lebihkan. Regan memutar bola matanya malas, Yohan tertawa singkat, sedangkan Juan reflek memegang kedua tangan Jane dengan tatapan anak anjing. "Benar, kan? Aku juga merasa begitu. Hatiku hampa sejak kepergianmu, Jane. Rumah itu bagaikan neraka tanpa dirimu. Bagaimana kalau kau kembali tanpa Regan? Biar s
Pagi itu cerah. Matahari bersinar lebih terik dari biasanya. Terasa hangat menyentuh permukaan kulit juga membuat mood menjadi lebih baik. Masih pukul 08.00 pagi, Jane enggan memulai hari dengan banyak aktivitas. Seperginya Regan bekerja, Dia memilih jalan-jalan di sekitaran rumah utama dan taman belakang rumah. Emely selalu menemaninya. Tak pernah meninggalkan dirinya layaknya seorang bodyguard. Selalu menjaga Jane kemanapun dia pergi. Begitu damai di tempat ini. Tidak ada suara hiruk pikuk kendaraan. Berisik orang berlalu-lalang, juga tidak ada yang mengenalnya. Hidupnya sungguh di mulai dari tempat ini. Apakah dia masih merasa khawatir dengan peringatan ayahnya kapan hari? Tentu saja masih. Walau akhirnya benar dia akan ketahuan suatu hari nanti, paling tidak dia sudah mengukir banyak kenangan indah di sini. Di tempat yang bisa dia sebut keluarga yang sesungguhnya. "Anda tidak sarapan, Nona?" Tanya Emely mengikuti setiap langkah Jane. "Apakah sudah siap?" "Mungkin seben
Yohan dan Juan pulang lebih awal dari rencana yaitu pukul 10 pagi. Mereka berniat pulang malam, menunggu Tuan Abraham dan Regan pulang, tapi tiba-tiba saja Juan mendapatkan telfon dari temannya kalau dia harus datang ke kampus untuk membicarakan kegiatan yang menyangkut penerimaan mahasiswa baru. Jane berat hati melepas kepergian mereka, karena sangat jarang mereka datang ke rumah lantas tidur di sana. Dia kesepian untuk kesekian kali. Padahal beberapa waktu lalu rumah itu terasa seperti rumah yang sesungguhnya baginya. Tapi lagi-lagi dia harus sendirian saat Regan juga pergi untuk bekerja. Pukul 14.00, Tuan Abraham sampai rumah lebih dulu. Jane duduk di ruang tengah membaca majalah fashion di temani Emely yang kini duduk di sebelahnya.Melihat kedatangan Tuan Abraham, reflek Emely berdiri dan menyapa,"Selamat datang, Tuan." "Hem," jawab Tuan Abraham mengangguk. Pun dia duduk di seberang Jane dan Emely meninggalkan mereka berdua."Ayah pulang lebih awal? Dimana Regan?" Jane menutup
Di perjalanan menuju kampus, keduanya hanya membisu. Tidak ada obrolan, juga tidak ada suara. Emely yang merasa sangat malu dan tidak enak karena sebelahnya adalah majikannya, Juan yang bungkam karena tidak tahu ingin bicara apa. Juan bukanlah pria yang cuek dan dingin layaknya Regan ataupun Yohan. Dia pria ramah yang banyak bicara. Terbukti saat bertemu dengan Jane pertama kali dia sangat ramah dan menceritakan banyak hal tentang dirinya. Merasa kalau Jane sengaja ingin mendekatkan dirinya dengan Emely, sifat ramah itu seakan tidak sama lagi. Juan tidak senang akan hal itu dan mengira kalau Emely lah yang mengajukan dirinya pada Jane agar bisa pergi bersamanya. "Apa kau baru di kota ini?" Tanya Juan tiba-tiba. "Maaf?" "Apa rumahmu di kota lain?" "Iya, Tuan. Rumah saya dekat dari kediaman Tuan Abraham." "Apakah di sana tidak ada kendaraan umum?" "Tentu saja ada, Tuan." "Lalu kenapa kau ingin berangkat bersama denganku?" Emely diam saja. Perasaannya seketika i
“Kana, namamu itu seharusnya di ubah saja. Benar-benar pembawa sial!"Tidak hanya sekali. Tapi sudah berulang kali pria itu mengucapkan kalimat yang sama. "Hei pembawa sial!? Kau dengar tidak? Apa telingamu itu sudah tersumpal dengan kebodohan?! Atau otakmu sudah mencair bersama air matamu?!" Lagi-lagi pria itu menambahkan kalimat yang membuat dada Kana tersengat. Suara berat dan terdengar seperti orang mabuk itu berasal dari pria yang kini duduk bersandar sambil membawa sebotol miras murahan dan sebelah tangannya membawa gesper yang terlihat usang. Pria yang terlihat kacau ini bernama, Alan Willson. Ayah Kana. “Ibumu itu nasibnya tidak mujur sama sekali. Kenapa dia harus melahirkanmu? Dia mengorbankan nyawanya untuk anak yang tidak berguna sepertimu. Bahkan di usiamu yang sudah 17 tahun ini, Kau hanya bisa menyusahkanku.” Tidak ada sahutan sama sekali dari bibir Kana. Dia masih menatap kosong butiran salju yang semakin lama semakin terlihat lebat. Benar. Sekarang memasuki musim
Kana nampak begitu asing tinggal di tempatnya kini. Di penuhi bau alkohol juga rokok yang terkadang sengaja di kepulkan ke arah wajahnya. Awalnya dia tidak tahu kalau itu adalah tempat bordil. Namun beberapa wanita yang usianya jauh di atasnya memberitahu kalau yang dia tempati sekarang adalah tempat pelacuran. Sehari di sana, Kana hanya menangis. Mencoba kabur pun percuma saat Madam menjelaskan kalau di setiap tempatnya di jaga oleh bodyguard. Wajah mereka nampak seram, tatonya juga banyak. Nyali Kana yang sebesar kacang kenari, tidak mungkin bisa melawan.Satu hari di rumah bordil, Kana tidak begitu saja di pekerjakan oleh Madam. Pun wanita paruh baya itu menunggu Kana sampai dirinya siap menerima pelanggan. Yah, itu berlangsung sampai tiga bulan lamanya Kana di sana."Kau tahu kan, kalau kau sudah di jual ayahmu padaku?" Tanya Madam saat Kana di panggil ke ruangannya. "Iya," jawab Kana terlihat lebih tenang. Madam tersenyum."Kau mutiara di tempat ini, Kana. Kau masih perawan. H