Di perjalanan menuju kampus, keduanya hanya membisu. Tidak ada obrolan, juga tidak ada suara. Emely yang merasa sangat malu dan tidak enak karena sebelahnya adalah majikannya, Juan yang bungkam karena tidak tahu ingin bicara apa. Juan bukanlah pria yang cuek dan dingin layaknya Regan ataupun Yohan. Dia pria ramah yang banyak bicara. Terbukti saat bertemu dengan Jane pertama kali dia sangat ramah dan menceritakan banyak hal tentang dirinya. Merasa kalau Jane sengaja ingin mendekatkan dirinya dengan Emely, sifat ramah itu seakan tidak sama lagi. Juan tidak senang akan hal itu dan mengira kalau Emely lah yang mengajukan dirinya pada Jane agar bisa pergi bersamanya. "Apa kau baru di kota ini?" Tanya Juan tiba-tiba. "Maaf?" "Apa rumahmu di kota lain?" "Iya, Tuan. Rumah saya dekat dari kediaman Tuan Abraham." "Apakah di sana tidak ada kendaraan umum?" "Tentu saja ada, Tuan." "Lalu kenapa kau ingin berangkat bersama denganku?" Emely diam saja. Perasaannya seketika i
Beberapa hari sebelumnya..."Argh! Brengsek! Sialan! Aku tidak akan pernah terima dengan perlakuan ini! Mereka semua akan hancur di tanganku!Argh...!" Alice menghancurkan seluruh barang di kamarnya. Memporak-porandakan apa yang di lihatnya. Sejak kepergian Alan saat itu, harga dirinya terinjak secara tidak manusiawi. Dia tersinggung akan perlakuan semua orang yang terlibat dalam masalah ini. Dia datang ke rumah ayahnya, mengamuk sampai menghancurkan barang. Ayahnya hanya bisa membeku di pintu. Berdiri dengan wajah datar dengan kedua tangan yang bersilang di dada. "Kau harus mengatakan semuanya padaku. Apa yang sebenarnya terjadi padamu? Kau datang tanpa pemberitahuan, lalu membuang dan melempar semua barang yang tidak bersalah ini?" Gumam ayahnya lantas masuk ke dalam kamar Alice dan duduk di sofa. "Aku akan membunuh semua orang itu, Ayah.""Siapa? Siapa yang kau maksud? Regan? Yohan? Atau siapa?""Semua! Khususnya Regan dan istri jalangnya itu.""Apa yang sebenarnya kau katakan?
“Kana, namamu itu seharusnya di ubah saja. Benar-benar pembawa sial!"Tidak hanya sekali. Tapi sudah berulang kali pria itu mengucapkan kalimat yang sama. "Hei pembawa sial!? Kau dengar tidak? Apa telingamu itu sudah tersumpal dengan kebodohan?! Atau otakmu sudah mencair bersama air matamu?!" Lagi-lagi pria itu menambahkan kalimat yang membuat dada Kana tersengat. Suara berat dan terdengar seperti orang mabuk itu berasal dari pria yang kini duduk bersandar sambil membawa sebotol miras murahan dan sebelah tangannya membawa gesper yang terlihat usang. Pria yang terlihat kacau ini bernama, Alan Willson. Ayah Kana. “Ibumu itu nasibnya tidak mujur sama sekali. Kenapa dia harus melahirkanmu? Dia mengorbankan nyawanya untuk anak yang tidak berguna sepertimu. Bahkan di usiamu yang sudah 17 tahun ini, Kau hanya bisa menyusahkanku.” Tidak ada sahutan sama sekali dari bibir Kana. Dia masih menatap kosong butiran salju yang semakin lama semakin terlihat lebat. Benar. Sekarang memasuki musim
Kana nampak begitu asing tinggal di tempatnya kini. Di penuhi bau alkohol juga rokok yang terkadang sengaja di kepulkan ke arah wajahnya. Awalnya dia tidak tahu kalau itu adalah tempat bordil. Namun beberapa wanita yang usianya jauh di atasnya memberitahu kalau yang dia tempati sekarang adalah tempat pelacuran. Sehari di sana, Kana hanya menangis. Mencoba kabur pun percuma saat Madam menjelaskan kalau di setiap tempatnya di jaga oleh bodyguard. Wajah mereka nampak seram, tatonya juga banyak. Nyali Kana yang sebesar kacang kenari, tidak mungkin bisa melawan.Satu hari di rumah bordil, Kana tidak begitu saja di pekerjakan oleh Madam. Pun wanita paruh baya itu menunggu Kana sampai dirinya siap menerima pelanggan. Yah, itu berlangsung sampai tiga bulan lamanya Kana di sana."Kau tahu kan, kalau kau sudah di jual ayahmu padaku?" Tanya Madam saat Kana di panggil ke ruangannya. "Iya," jawab Kana terlihat lebih tenang. Madam tersenyum."Kau mutiara di tempat ini, Kana. Kau masih perawan. H
Jane terengah-engah. Sesekali dia menatap belakangnya berharap Tuan Austin tidak mengejarnya. Dia menuruni tangga darurat dan berpikir mungkin ini cara yang tepat untuk menghindarinya. Tuan Austin itu gemuk, Dia akan berpikir dua kali kalau harus menuruni tangga segini banyak. Setelah sampai di lantai tiga, pria itu berhenti menggenggam tangannya dan duduk di anak tangga sambil menyeka keringatnya. "Kau baik-baik saja?" Tanya Jane. "Hem," jawabnya singkat. "Ini." Jane mengeluarkan saputangannya dan memberikannya pada pria di sebelahnya. "Terima kasih." Untuk beberapa menit, mereka saling terdiam. Namun Jane tak sekalipun mengalihkan tatapannya dari pria ini, yah tentu saja sambil tersenyum. "Aku lihat kau sudah lebih tenang. Apa dia kekasihmu?" Jane tertawa geli."Kekasih? Yang benar saja. Kau kira aku mau dengan pria tua yang memiliki perut buncit seperti dia?" "Lalu? Apa kau di culik?" "Tidak. Dia pelangganku."Dahi pria itu berkerut."Pelanggan?""Hem. Kau tahulah, terkadan
"Apa yang akan kau lakukan, Nona?" Jane terkesiap. Dia syok Regan tiba-tiba bangun. Matanya merah, agak sedikit sayu. Terlihat jelas dia masih dalam keadaan yang belum sadar betul. "Maafkan aku. Kemejamu berkeringat dan aku rasa ada sedikit muntahan. Aku berniat untuk melepasnya dan sedikit membersihkannya dengan air. Apakah kau keberatan? Kalau kau keberatan, Aku tidak akan meneruskannya."Terdiam lama masih menatap lekat Jane, Regan akhirnya melepaskan keratan tangannya. Membiarkan Jane meneruskan kembali membuka kemejanya yang sudah terbuka separuh. Jane kembali membukanya hingga selesai lantas berdiri untuk mengambil handuk yang sudah ia basahi.Jane menelan ludahnya sendiri saat dengan pelan dia menyusuri kulit Regan. Apalagi Regan memperhatikan dirinya dengan seksama dari awal."Kau mabuk. Jangan melihatku seperti itu, Tuan tampan. Kau tentu tahu aku bukanlah wanita yang akan rugi jika kehilangan harga diri," candanya.Regan menyeringai."Aku? Mabuk? Kau bercanda? Aku ini kuat
Moonlite, 08.00"Bagus sekali. Darimana tuan putri kita ini? Kenapa baru kembali pagi-pagi begini?" Raut wajah Madam sudah tidak enak untuk di lihat. Apalagi dengan suaranya yang selalu terdengar tinggi. Jane hanya menghela lelah. Dia langsung menuju ke ruangan Madam setelah dia kembali dari hotel. Tubuhnya lelah, sakit semua dan tidak bertenaga. Menghadapi pria polos seperti Regan ternyata menghabiskan banyak tenaganya. "Ada masalah." "Iya. Masalahnya itu kau, Jane. Kau gila! Aku sungguh masih tidak percaya kau menolak berhubungan dengan Tuan Austin."Sudah Jane duga. Saat menginjakkan kakinya pulang, Madam pasti akan langsung mencecarnya. Tidak akan menunggu besok atau lusa."Dia mendadak seperti orang gila. Dia menggunakan mainan seks untuk mempermainkan ku, Madam. Kau tahu sendiri kalau aku sangat membenci semua hal itu." "Kenapa kau bersikap seolah mempunyai harga diri?" tanya Madam sinis. Jane amat terkejut dengan pertanyaan itu."Apa?""Seharusnya kau menuruti semua yang di
Begitu banyak kesialan akhir-akhir ini. Memang semua bisnis berjalan lancar, namun tidak dengan yang lain. Tekanan dari sang ayah yang mengharuskan Regan menjadi sosok sempurna. Wajah dari perusahaan terkenal di bidang teknologi. Tidak memperbolehkan dia cacat dalam penampilan juga sikap di depan media maupun masyarakat. Di usianya yang menginjak 27 tahun, Regan tidak sekalipun merasakan apa itu kebebasan. Kalau ke discotik, yah sesekali ia ke sana untuk mencairkan suasana hatinya yang memburuk. Besoknya, Dia pasti kembali menjadi sosok kaku yang dingin dan terlihat cuek di mata semua pegawainya. Mau bagaimana lagi? Regan satu-satunya putra dari Abraham Foster yang sangat di andalkan. Mengingat putra pertama yaitu Yohan Foster yang kini berusia 28 tahun namun memilih bidang lain yang bertentangan dengan keinginan ayahnya. Iya. Yohan tidak tertarik sedikitpun dengan dunia bisnis. Aroma kantor membuatnya mual. Dia memilih menjalani hidup sebagai seorang musisi. Menciptakan nada yang