"Kenapa gua ngerasa lo ceria banget hari ini, Man?" tanya Haidar. Ia mengunjungi Leo di ruangannya untuk melihat hasil kerja Leo dalam menyelesaikan tugasnya sebagai arsitek yang bertanggung jawab atas desain rumah klien mereka.
"Why? I can't smile, can't I ?" jawab Leo datar.
Haidar terkekeh, "Well, its pretty rare, don't blame me. Anyway, gua juga ada kabar bagus buat lo," kata Haidar yang menyadari Leo memang pelit dalam membagi senyumannya.
"Soal?" Leo tak begitu berminat, tetapi mungkin kabar itu ada hubunganya dengan Alya, apakah Alya sudah memberitahu Haidar soal lamarannya?
"Lo masih inget sepupu gua, Al? Alya?" Haidar mengalihkan pandangannya dari layar komputer di depannya. "Btw, kapan lo nyelesain gambar blueprintnya?" tanpa menunggu jawaban ia kembali bertanya.
"Yeah?"
"Blueprint? Blueprint?"
"Kemaren."
"Oh, cak
Leo masih memikirkan ucapan Haidar. Apakah ia terlihat sangat bahagia? Rasa-rasanya tidak. Ia hanya merasa geli saat Alya memamerkan cincin pemberiannya. Apakah Alya juga tak sabar ingin memberitahu dunia bahwa ia sudah sold off? Mungkin saja. Bukankah perempuan selalu bersikap demikian? Mereka dengan mudah mengeskpresikan apa yang mereka rasakan, berbeda sekali dengannya yang memiliki banyak pertimbangan. Ya, pada dasarnya Leo memang pribadi yang tertutup. Ia lebih suka menyimpan apapun yang ia rasakan untuk dirinya sendiri, kalaupun terpaksa ia membutuhkan orang lain untuk melepaskan rasa frustasi atau apapun yang terjadi padanya, ia lebih memilih untuk mengunjungi dokter. "Sayang, apa kamu sudah memberitahu orangtuamu?" Tanyanya kepada Alya. Leo menelepon Alya segera setelah Haidar pergi dari ruangannya. "Ehm... " Leo menunggu, "Aku sudah memesan tempat di restoran Jepang, kamu bilang mereka menyukai
"Bang?" "Gua tanya Al, darimana lo kenal Leo?" Tanya Haidar tegas, ia melirik Leo sekilas yang tampak sibuk dengan apapun yang ada di mejanya. Alya mendesah, "Bang, ini masalah, Al. Abang nggak perlu tahu dimana Al kenal Leo!" Tegas Alya tidak menyukai cara berbicara Haidar yang terkesan memojokkannya. Demi Allah ia sudah besar. Ia bisa bergaul dengan siapa saja yang ia ingkan tanpa harus meminta ijin terlebh dahulu kepada Haidar atau siapapun. "Lo jangan main-main, Al. Gua kenal Leo. Dan lo sepupu gua, jadi please dengerin gua. Lo boleh sama siapa aja, tapi bukan Leo!" "Maksud Abang apa?" "Cincin yang lo pakek cincin Leo, 'kan?" Tanya Haidar datar. Ia sudah mengetahui kebenarannya, ia hanya butuhkan... Entahlah, ia berharap Alya mengelak. "Abang, kok, tahu?" Haidar merasa disambar petir. Ia sangat berharap Alya akan membantah ucapannya. Apa yang ia takutkan selama ini terjadi. "Gua temenan ama Leo udah lama," jawabnya da
Gerimis kembali datang saat Alya menutup pintu kafe, udara yang lembab menyambutnya, membuat kulit yang dibalut blouse khaki itu meremang. Alya melirik jam tangan perak di lengan kirinya sambil terus melangkah melintasi paving dan rumput yang berselang-seling, basah. Syukurlah tidak mengenang jika tidak sepatu putih itu akan meninggalkan ternoda. Udah enam jam lebih, gerutu Alya. Kesal kepada Leo yang kembali mengabaikan telepon dan pesan yang dikirim sejak siang tadi. Laki-laki itu sama perasanya seperti perempuan dan lebih kekanakan dari Khai, keponakan Alya. "Sudah mau pulang, Mbak?" Joni sekonyong-konyong muncul dengan payung hitam yang cukup besar untuk menampung mereka berdua. Alya memberi laki-laki yang juga masih single seperti dirinya itu senyum kecil, lelah dengan kejadian seharian itu. "Makasih, Jon. Sebenarnya nggak usah, gerimisnya kecil banget. Nggak bakalan basah," kata Alya tak memiliki pilihan lain selain menerima kebaikan Joni yang mem
Alya menatap ibunya, memohon, entah untuk apa. Kemungkinan Hamza datang ke rumah mereka membuatnya was-was. Ia tak ingin menemui Hamza, setidaknya tidak malam ini. Mungkin besok atau lusa, atau entah kapan, ketika ia sudah berhasil tak menyalahkan laki-laki yang sopan dan bertanggung jawab menurut ayahnya itu. Ya, Alya masih kesal kepada Hamza. Seandainya saja Hamza tidak pernah menawarkan diri untuk menjadi suaminya di depan semua orang malam itu, mungkin hal ini tidak akan terjadi. "Mama temui tamunya dulu, Al mau ke kamar. Al tidur disini aja," katanya dengan suara serak. "Baiklah. Kita bicara lagi besok saat papamu sudah merasa lebih baik, oke?" balas sang mama menyetujui. "Jangan terlalu dipikirkan, mandi dan tidurlah, kita bicara saat sarapan besok," imbunya, lalu maju selangkah ke depan untuk merangkul Alya ke dalam pelukannya. "Mama akan mendukung keputusanmu, apapun itu, kalau perlu mama akan membantumu untuk meyakinkan pa
Pagi itu suasana di kediaman Rustam tidak seperti biasanya. Mungkin karena untuk pertama kalinya setelah berbulan-bulan Alya datang dan menginap di sana, biasanya ia hanya mampir untuk makan malam atau mengunjungi sang ibu, atau karena kedatangan Leo semalam, entahlah. Rustam masih seperti bocah yang batal diajak jalan-jalan di hari minggu atau gagal dibelikan mainan, setelah pembicaraannya dengan Leo semalam. Berbeda dengan Larasati yang lega, karena sang putri memiliki alasan yang kuat untuk menolak Hamza. Oh, Larasati benar-benat tak menduga putrinya ternyata sudah memiliki tunangan. Kenapa mereka tidak memberitahu dari awal? Mungkin insiden lamaran dan penolakan terhadap Hamza tak akan terjadi jika Alya jujur sejak awal jika ia telah memiliki laki-laki yang ia dambakan untuk menjadi calon suaminya. Larasati akan memakluminya, dan sekarang pun, ketika berita itu adalah sebuah kebenaran, ia juga akan berusaha untuk memaklumi keputusan putrinya, mendukungnya dan tentu saja
Leo merasa sedikit lega setelah berbicara dengan ayah Alya, tentu, meski ia tidak seratus persen yakin, calon mertuanya itu menyukainya atau bahkan akan merestui hubungannya dengan Alya, tetapi, setidaknya Leo telah mengataknnya. Apapun yang nanti terjadi, ia sudah bersiap. Sekarang tinggal bagaimana menyampaikan kabar itu kepada keluarganya. Ayah dan ibu tirinya pasti akan sangat gembira dengan kabar ini. Bagaimanapun mereka telah mendesaknya secara tersirat sejak lama. Hanya saja ia tak pernah benar-benar memikirkan kemungkinanan akan sebuah pernikahan yang terjadi antara dirinya dan seorang perempuan. Tentu, hingga kehadiran Alya dalam hidupnya, lamaran Hamza, tetapi yang lebih mendesak adalah syarat yang diberikan sang kakek untuk mendapatkan harta warisan. Meski Leo tidak pernah kekurangan uang karena saat ini ia menghasilkan uang sendiri bahkan sejak masih menyandang status mahasiswa, tetapi harta warisan itu adalah haknya. Uang itu atau apapun yang ditinggalkan oleh i
"Jadi?" Mereka, Leo dan Alya sedang dalam perjalanan pulang dari kafe. Entah mengapa, malam itu sangat cerah. Berbeda dari malam-malam sebelumnya. Mungkin itu juga yang membuat sepasang kekasih itu merasa bahagia. Seperti biasa Leo menjemputnya di kafe Kopi dan Lemon, sekaligus makan malam bersama, tetapi kali ini dan beberapa malam sebelumnya, ia memutuskan untuk membayar makanan yang mereka makan. Sudah terlalu sering ia makan gratis pada malam-malam sebelumnya. Leo tak mau tuduhan terhadapnya menjadi kenyataan. Bahwa ia ke sana untuk makan gratis, seperti yang Alya katakan beberapa waktu lalu. "Ehm, biar kupikirkan!" Kata Alya santai, tak benar-benar memikirkan karena sebenarnya daftar itu sudah terukir di dalam benaknya. "Kamu bisa mengatakannya sekarang, Sayang. Setidaknya aku perlu bersiap-siap, tidak ada yang tahu apakah kamu akan menindasku dengan keinginanmu yang tidak masuk akal," canda Leo, tetapi ada keseriusan di dalam perkata
Dengan lesu Leo melangkah menuju ruang ganti. Ia sudah berusaha menemukan semangatnya ketika mandi air dingin selama hampir lima belas menit, berharap pikirannya akan kembali segar. Akan tetapi tak ada yang berubah dari semangatnya atau apa yang ia rasakan.Masih kacau.Hafalan!Alya benar-benar mengatakannya, memintanya, dan bahkan sepertinya sudah marah duluan saat Leo menawarinya hal lain. Ya, mahar memang hak Alya. Ia bisa meminta apa saja, bahkan bulan jika perlu, tetapi Leo hanya bisa memberi sesuatu semampunya, dan apa yang mampu ia lakukan. Tak kurang dan tak lebih.Jadi apakah semua mahar perempuan tidak logis dan berat begitu? Atau hanya Leo saja yang merasa demikian karena ia memang... katakanlah tidak memiliki kemampuan untuk menghafal. Lebih tepatnya ia sama sekali tidak terpikir tentang hal itu hingga Salma membahasnya.Dan... hafalan itu... sepertinya sangat-sangat mustahil... untuk dilakukan, setidaknya bagi Leo. L