Alya merasa sangat lelah, setelah semalaman berguling-guling di atas kasur dengan mata terpejam namun pikiran menyala bak komputer dengan baterai seratus persen. Ia tidak tahu. Masih juga tidak tahu meski ia telah mencoba mencar jawaban semalaman. Bagaimana bisa? Hamza? Menyukainya? Itu konyol! Lalu... orangtua mereka?
Alya menghempaskan tubuhnya kembali ke atas kasur dengan marah, mereka harus bicara. Sial. Ucapan Leo benar. Harusnya ia memang mendengarkan laki-laki itu. Sekarang bagaimana? Apa yang akan Leo lakukan jika ia tahu apa yang terjadi saat acara tujuh bulanan kehamilan Rara? Acara yang harusnya membuat Rara menjadi pusat perhatian malah beralih kepadanya ketika dengan tiba-tiba Hamza melamarnya di depan semua orang. Tanpa aba-aba.
"Om, Tante, Ma, Pa, semuanya, Hamza mau ngomong sesuatu," kata Hamza menyapukan pandangannya kepada semua orang yang baru saja menyelesaikan acara pengajian.
Alya hanya meilirik Hamza sekilas sebelum me
Setelah mencoba menghubungi Hamza beberapa kali namun gagal. Akhirnya Alya memutuskan untuk menundanya hingga ia berada di kantor. "Hamza sorry, tapi lo kudu jelasin ke orangtua gue, orangtua lo... Kalau kemaren lo becanda doang," kata Alya. Mereka sudah bicara hampir lima menit yang terasa setahun bagi Alya karena ia ingin segera mengakhiri percakapan itu. Bukan berarti ia tak senang apalagi membenci. Hamza. Ia hanya tidak senang dengan kenyataan bahwa Hamza adalah orang yang membuat kekacauan itu. "Al, seperti yang gua bilang. Gua serius! Nggak becanda!" Tegas Hamza dengan penekanan khusus. Ia mulai panik. Apakah Alya akan menolak tanpa mempertimbangkannya? Ia tidak boleh menyerah begitu saja. Alya adalah satu-satunya kandidat yang ia miliki sebagai calon istri dan ibu anak-anaknya. Menantu yang pasti ditunggu-tunggu oleh keluarganya. Tak akan ada yang menolak Alya. Sejauh ini Alya adalah pilihan terbaiknya. Bagaimanapun ia harus memperjuangkan Alya.
"Kenapa gua ngerasa lo ceria banget hari ini, Man?" tanya Haidar. Ia mengunjungi Leo di ruangannya untuk melihat hasil kerja Leo dalam menyelesaikan tugasnya sebagai arsitek yang bertanggung jawab atas desain rumah klien mereka. "Why? I can't smile, can't I?" jawab Leo datar. Haidar terkekeh, "Well, its pretty rare, don't blame me. Anyway, gua juga ada kabar bagus buat lo," kata Haidar yang menyadari Leo memang pelit dalam membagi senyumannya. "Soal?" Leo tak begitu berminat, tetapi mungkin kabar itu ada hubunganya dengan Alya, apakah Alya sudah memberitahu Haidar soal lamarannya? "Lo masih inget sepupu gua, Al? Alya?" Haidar mengalihkan pandangannya dari layar komputer di depannya. "Btw, kapan lo nyelesain gambar blueprintnya?" tanpa menunggu jawaban ia kembali bertanya. "Yeah?" "Blueprint? Blueprint?" "Kemaren." "Oh, cak
Leo masih memikirkan ucapan Haidar. Apakah ia terlihat sangat bahagia? Rasa-rasanya tidak. Ia hanya merasa geli saat Alya memamerkan cincin pemberiannya. Apakah Alya juga tak sabar ingin memberitahu dunia bahwa ia sudah sold off? Mungkin saja. Bukankah perempuan selalu bersikap demikian? Mereka dengan mudah mengeskpresikan apa yang mereka rasakan, berbeda sekali dengannya yang memiliki banyak pertimbangan. Ya, pada dasarnya Leo memang pribadi yang tertutup. Ia lebih suka menyimpan apapun yang ia rasakan untuk dirinya sendiri, kalaupun terpaksa ia membutuhkan orang lain untuk melepaskan rasa frustasi atau apapun yang terjadi padanya, ia lebih memilih untuk mengunjungi dokter. "Sayang, apa kamu sudah memberitahu orangtuamu?" Tanyanya kepada Alya. Leo menelepon Alya segera setelah Haidar pergi dari ruangannya. "Ehm... " Leo menunggu, "Aku sudah memesan tempat di restoran Jepang, kamu bilang mereka menyukai
"Bang?" "Gua tanya Al, darimana lo kenal Leo?" Tanya Haidar tegas, ia melirik Leo sekilas yang tampak sibuk dengan apapun yang ada di mejanya. Alya mendesah, "Bang, ini masalah, Al. Abang nggak perlu tahu dimana Al kenal Leo!" Tegas Alya tidak menyukai cara berbicara Haidar yang terkesan memojokkannya. Demi Allah ia sudah besar. Ia bisa bergaul dengan siapa saja yang ia ingkan tanpa harus meminta ijin terlebh dahulu kepada Haidar atau siapapun. "Lo jangan main-main, Al. Gua kenal Leo. Dan lo sepupu gua, jadi please dengerin gua. Lo boleh sama siapa aja, tapi bukan Leo!" "Maksud Abang apa?" "Cincin yang lo pakek cincin Leo, 'kan?" Tanya Haidar datar. Ia sudah mengetahui kebenarannya, ia hanya butuhkan... Entahlah, ia berharap Alya mengelak. "Abang, kok, tahu?" Haidar merasa disambar petir. Ia sangat berharap Alya akan membantah ucapannya. Apa yang ia takutkan selama ini terjadi. "Gua temenan ama Leo udah lama," jawabnya da
Gerimis kembali datang saat Alya menutup pintu kafe, udara yang lembab menyambutnya, membuat kulit yang dibalut blouse khaki itu meremang. Alya melirik jam tangan perak di lengan kirinya sambil terus melangkah melintasi paving dan rumput yang berselang-seling, basah. Syukurlah tidak mengenang jika tidak sepatu putih itu akan meninggalkan ternoda. Udah enam jam lebih, gerutu Alya. Kesal kepada Leo yang kembali mengabaikan telepon dan pesan yang dikirim sejak siang tadi. Laki-laki itu sama perasanya seperti perempuan dan lebih kekanakan dari Khai, keponakan Alya. "Sudah mau pulang, Mbak?" Joni sekonyong-konyong muncul dengan payung hitam yang cukup besar untuk menampung mereka berdua. Alya memberi laki-laki yang juga masih single seperti dirinya itu senyum kecil, lelah dengan kejadian seharian itu. "Makasih, Jon. Sebenarnya nggak usah, gerimisnya kecil banget. Nggak bakalan basah," kata Alya tak memiliki pilihan lain selain menerima kebaikan Joni yang mem
Alya menatap ibunya, memohon, entah untuk apa. Kemungkinan Hamza datang ke rumah mereka membuatnya was-was. Ia tak ingin menemui Hamza, setidaknya tidak malam ini. Mungkin besok atau lusa, atau entah kapan, ketika ia sudah berhasil tak menyalahkan laki-laki yang sopan dan bertanggung jawab menurut ayahnya itu. Ya, Alya masih kesal kepada Hamza. Seandainya saja Hamza tidak pernah menawarkan diri untuk menjadi suaminya di depan semua orang malam itu, mungkin hal ini tidak akan terjadi. "Mama temui tamunya dulu, Al mau ke kamar. Al tidur disini aja," katanya dengan suara serak. "Baiklah. Kita bicara lagi besok saat papamu sudah merasa lebih baik, oke?" balas sang mama menyetujui. "Jangan terlalu dipikirkan, mandi dan tidurlah, kita bicara saat sarapan besok," imbunya, lalu maju selangkah ke depan untuk merangkul Alya ke dalam pelukannya. "Mama akan mendukung keputusanmu, apapun itu, kalau perlu mama akan membantumu untuk meyakinkan pa
Pagi itu suasana di kediaman Rustam tidak seperti biasanya. Mungkin karena untuk pertama kalinya setelah berbulan-bulan Alya datang dan menginap di sana, biasanya ia hanya mampir untuk makan malam atau mengunjungi sang ibu, atau karena kedatangan Leo semalam, entahlah. Rustam masih seperti bocah yang batal diajak jalan-jalan di hari minggu atau gagal dibelikan mainan, setelah pembicaraannya dengan Leo semalam. Berbeda dengan Larasati yang lega, karena sang putri memiliki alasan yang kuat untuk menolak Hamza. Oh, Larasati benar-benat tak menduga putrinya ternyata sudah memiliki tunangan. Kenapa mereka tidak memberitahu dari awal? Mungkin insiden lamaran dan penolakan terhadap Hamza tak akan terjadi jika Alya jujur sejak awal jika ia telah memiliki laki-laki yang ia dambakan untuk menjadi calon suaminya. Larasati akan memakluminya, dan sekarang pun, ketika berita itu adalah sebuah kebenaran, ia juga akan berusaha untuk memaklumi keputusan putrinya, mendukungnya dan tentu saja
Leo merasa sedikit lega setelah berbicara dengan ayah Alya, tentu, meski ia tidak seratus persen yakin, calon mertuanya itu menyukainya atau bahkan akan merestui hubungannya dengan Alya, tetapi, setidaknya Leo telah mengataknnya. Apapun yang nanti terjadi, ia sudah bersiap. Sekarang tinggal bagaimana menyampaikan kabar itu kepada keluarganya. Ayah dan ibu tirinya pasti akan sangat gembira dengan kabar ini. Bagaimanapun mereka telah mendesaknya secara tersirat sejak lama. Hanya saja ia tak pernah benar-benar memikirkan kemungkinanan akan sebuah pernikahan yang terjadi antara dirinya dan seorang perempuan. Tentu, hingga kehadiran Alya dalam hidupnya, lamaran Hamza, tetapi yang lebih mendesak adalah syarat yang diberikan sang kakek untuk mendapatkan harta warisan. Meski Leo tidak pernah kekurangan uang karena saat ini ia menghasilkan uang sendiri bahkan sejak masih menyandang status mahasiswa, tetapi harta warisan itu adalah haknya. Uang itu atau apapun yang ditinggalkan oleh i