Share

episode 6

“Bu, Kiran punya ide.” Usulnya dan membisikkan sesuatu di telinga Bu Dinar.

*

*

Pukul 05.00 pagi, Wanita yang memiliki wajah sayu itu sudah terbangun lebih dulu, ia segera berjalan menuju kamar mandi untuk membersihkan diri.

Setelah menyelesaikan urusannya di kamar mandi, Fitri langsung membangunkan suaminya, karena mereka akan bersiap-siap untuk pindah saja.

“Mas, bangun kita sholat subuh.” Ucap Fitri sambil mengusap pipi suaminya dengan lembut.

Angga langsung menggeliat, setelah mendapatkan sentuhan dari tangan dingin Fitri yang baru saja selesai mandi.

“Jam berapa, Sayang?” tanya Angga sembari mengucek matanya.

“Sudah jam 05:00, Mas. Ayo bangun, nanti kita kesiangan loh sholatnya.” Jawab Fitri yang hendak mengeringkan rambut dengan hairdrayr.

“Ya sudah, Mas mandi dulu ya?” pamit Angga yang terbangun dari tempat tidurnya.

10 menit kemudian, Angga sudah selesai membersihkan dirinya. Pria tampan itu menatap bingung ke arah istrinya yang masih berkutat dengan alat pengering rambut.

“Ada apa Sayang?” tanya Angga yang menghampiri sang istri.

“Ini loh, Mas. Hair drayrku enggak nyala.” Ungkap Fitri yang nampak menggemaskan.

Angga tersenyum melihat istri yang usianya lebih muda darinya, dengan wajah yang cemberut, rambut yang masih basah dan ke cantikkan alami yang ia miliki meskipun tanpa menggunakan makeup. Menurutnya pemandangan yang seperti ini yang membuat ia rindu rumah.

“Ya sudah, yuk kita sholat nanti keburu siang.” Ajak Angga kepada istrinya.

“Tapi Mas, ini gimana? Aku malu kalau Ibu melihat rambutku yang masih basah.” Imbuhnya yang takut akan cemoohan sang mertua.

“Ya, memangnya kenapa kalau rambut kamu terlihat masih basah?” tanya Angga yang sedikit heran mendengar keluhan sang istri.

‘Mas kamu gak tau, kalau Ibu s’lalu memarahi aku. Ia tidak mau mempunyai cucu dari rahimku, semua yang ia ucapkan jika Ibu ingin segera memiliki cucu itu hanya sandiwaranya saja.” Batin Fitri.

“Hey, kok malah bengong?” tanya Angga.

Tanpa kata, wanita cantik itu melanjutkan menyisir rambutnya dan segera menunaikan ibadah sholat subuh bersama suaminya.

Setelah selesai, tidak lupa Fitri mendoakan Ibu mertuanya dan adik iparnya, agar mereka berdua di beri hidayah dan kelembutan hatinya.

Wanita yang memiliki kulit kuning Langsat itu segera merapikan mukenanya dan bersiap untuk menyiapkan sarapan. Akan tetapi, saat Fitri hendak menaruh mukena ke tempatnya, tiba-tiba Angga menarik lengannya dengan sedikit keras dan membuat wanita berusia 25 tahun itu terjatuh ke pelukan suaminya.

“Astaghfirullah, Mas!” pekik Fitri yang terkejut.

Tidak terlihat raut merasa bersalah di wajahnya, melainkan ia malah memeluk erat tubuh istrinya dan menghirup wangi shampo yang tercium di rambut Fitri.

“Mas kalau aku jantungan gimana?” kesal Fitri.

“Iya, kah? Coba aku ingin dengar.” Ucapnya yang ingin menempelkan telinga pada dada istrinya.

“Ih, Mas mau ngapain? Aku gak mau ya, geli hahah” Fitri pun terkikik geli, karena Angga tidak hanya menempelkan telinganya saja, melainkan ia juga menggelitik perut istrinya.

Sedang asyik bercanda, tiba-tiba mereka terkejut mendengar pintu kamar yang di gedor-gedor dengan keras.

Tok!! Tok!! Tok.

“Woy buka!” teriak seseorang yang tidak asing baginya.

Angga dan Fitri pun menghampiri lalu membuka pintu kamarnya.

Cekleek!

“Lama banget sih! Lagi apa sih? Sampe teriak-teriak begitu, ganggu orang lagi tidur saja.” Ujar Bu Dinar dengan wajah yang ketus.

Selain itu, pandangan BU Dinar tidak terlepas dari rambut Fitri yang basah karena sehabis keramas.

“Kamu habis keramas, Fit?” tanya Bu Dinar yang membuat jantung Fitri berdegup dengan kencang.

“Emm... Iy—iya Bu,” jawab Fitri yang gugup.

“Halah... Percuma kamu rajin buat anak tapi hasilnya tetap sama, Zonk!” celetuk Bu Dinar.

Fitri yang mendengar itu hanya bisa menahan sesak, ia tau jika Ibu mertuanya berusaha untuk membuat mentalnya terganggu dan setelah itu, dengan leluasa Bu Dinar akan menikahkan Angga dengan Tantri.

“Bu, sekali saja. Ibu hargai Fitri sebagai istriku,” mohon Angga, ia tidak tega membayangkan istrinya yang di perlakukan seperti itu di saat ia tidak ada di rumah.

“Apa yang harus Ibu hargai dari dalam diri wanita ini!” tunjuk Bu Dinar yang tepat ke wajah Fitri, “Dia hanya wanita miskin yang menumpang hidup sama keluarga kita! Di tambah lagi, jika wanita ini mandul!” sambungnya.

“Istriku tidak mandul, Bu! Kita hanya belum di kasih saja sama Allah SWT. Jodoh, anak dan rezeki itu sudah di atur oleh sang Maha Pencipta, Bu!” sentak Angga.

Kini perdebatan itu tidak dapat di hindari oleh keduanya, Angga yang sudah tidak tahan lagi dengan sikap ibunya, kini ia meluapkan emosi yang sudah susah payah ia tahan.

“Berani kamu membentak Ibu hanya untuk membela perempuan kampung ini! Sadar Angga, Ibu yang sudah mengandung, melahirkan dan membesarkan kamu sehingga bisa sukses seperti sekarang ini, bukan dia!” Teriak Bu Dinar yang menangis dan semakin membenci Fitri.

“Angga tau itu, Bu. Tapi Fitri ini istri Angga, menantu Ibu. Sudah seharusnya Ibu menyayanginya seperti anak Ibu sendiri,” ungkap Angga yang sesekali melirik Fitri yang menangis di balik punggungnya.

“Jangan mimpi jika Ibu akan menyayangi istri miskin dan mandulmu itu! Yang akan Ibu sayangi hanya Tantri, bulan dia!”

Brak!!

Lagi-lagi Bu Dinar berhasil menyakiti hati Fitri dengan ucapannya yang tajam seperti belati yang menancap tepat di hatinya.

“Aku udah gak kuat, Mas. Apa lebih baik kita pisah saja demi kebahagiaan Ibu.” Ujar Fitri yang berhasil membuat Angga menitikkan air mata.

Pria itu terus menangis, ia tidak sanggup jika harus berpisah dengan belahan jiwanya. Walaupun awalnya pernikahan mereka hanya bermula dari balas budi namun, dalam seiring waktu cinta suci yang mereka miliki berkembang menjadi cinta sejati yang tidak akan pernah terpisahkan.

“Kamu jangan bicara seperti itu lagi, sampai kapan pun aku tidak akan pernah mau berpisah denganmu.” Jawab Angga yang memeluk Fitri dengan erat.

Di tempat lain, terlihat Bu Dinar yang tengah berteriak histeris. Ia menghancurkan semua barang yang ada di dalam kamarnya, hanya untuk melupakan emosi yang sudah membuncah di dadanya.

“Arrggh... Kenapa aku harus mempunyai menantu seperti dia! Kenapa tidak Tantri saja yang menjadi menantuku!” teriak Bu Dinar.

Kiran yang masih tertidur pun ikut terbangun ketika mendengar teriakkan Bu Dinar yang ada di dalam kamarnya, kebetulan kamar Bu Dinar dan Kiran itu tidak terlalu jauh. Jadi tidak heran jika suaranya sampai ke kamar Kiran.

“Aduuh! Siapa sih yang teriak-teriak sepagi ini, ganggu saja!”

Dengan terpaksa ia bangun dari tempat tidurnya, ia merasa terganggu dengan teriakan tersebut.

Dengan berat hati Kiran menyusuri asal sumber suara tersebut dan ternyata, sumber suara itu berasal dari kamar sang ibu.

Cekleek!!

“Astaga Ibu...”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status