Aku tersenyum masam menatapnya."Itu ga mungkin, Nak. Mama sama Om Andre ga mungkin nikah. Kakak ga perlu khawatirkan Mama, fokus belajar dan raih cita-cita, kita buktikan sama ayahmu kalau kalian bisa sukses tanpanya, dan suatu saat nanti buat ayahmu menyesal, ok.""Gitu ya, Ma. Tapi Om Andre baik loh, kenapa ga bisa? Dia udah punya istri ya?""Setahu Mama sih belum, nanti juga kalau kamu udah gede ngerti, udah ah jangan ngomongin Om Andre terus."Putriku itu terkekeh, tapi aku suka melihat senyumnya, semenjak kejadian nahas yang menyebabkan ia masuk rumah sakit waktu itu Desti kembali menjadi gadis periang, aku telah berhasil mengembalikan kepercayaan dirinya.Ia juga bisa mengatasi bullyan dari teman-temannya di sekolah, termasuk menghadapi anak bernama Mita."Ma, kalau Tante Susan udah lahiran sudah pasti Ayah akan semakin lupa ya sama kita, aku tuh kasian Dara kadang dia suka ngelamun kalau lihat anak tetangga kita boncengan sama ayahnya."Kali ini dadaku yang berdebar, mungkin D
Dengan langkah pelan aku berjalan tepat di belakang punggung Mas Ferdi, saat kakiku berdiri tepat di belakang Mas Ferdi lelaki bernama Latif itu memberi kode."Apa?" tanya Mas Ferdi, setelah itu ia menoleh ke belakang dan kami langsung bersitatap.Ada sedikit keterkejutan di wajah lelaki itu. Namun, beberapa detik kemudian ia berhasil kembali menyembunyikan ketakutan itu."Oh jadi kalian saling mengenal ya?" tanyaku."Emm ... Bu Yuli, apa kabar? Apa Anda mengenal Pak Ferdi?" tanya Pak Latif.Aku menyeringai tipis melihat gelagatnya."Dia adalah mantan suami saya, tetapi melihat hal ini membuat saya memahami sesuatu." Aku tersenyum memperlihatkan deretan gigi."Maksud Anda?" tanya Pak Latif pura-pura tak mengerti.Entahlah, aku merasa jika dalang kebakaran restoran itu adalah Mas Ferdi, lalu lelaki itu meny*gok Pak Latif agar memperlambat penyelidikan kasus ini."Fikir saja sendiri." Aku tersenyum masam, lalu mengalihkan perhatian pada Andre yang sudah memilih tempat duduk."Apa lelaki
Mengurus tiga anak itu ternyata tidak semudah yang kubayangkan, ditambah Mas Ferdi sama sekali tak peduli dengan kebutuhan mereka, biaya hidup dan sekolah mereka, lelaki itu telah lupa daratan apalagi sebentar lagi Susan akan melahirkan."Pikirkan aja dulu, Yul," ujar ibu lagi."Bagaimana kalau Ibu tinggal di rumahku aja? Jadi 'kan enak Dara ada temennya.""Bukan Ibu ga mau tapi kasihan Lira, Ibu takut ninggalin anak gadis di rumah sendirian, Yul," jawab ibu."Ya sudahlah, Bu, untuk sementara waktu jalani aja seperti ini."Aku menundukkan kepala, tubuh ini merasa lelah karena seharian mengurus usaha, lalu sekarang aku dihadapkan dengan psikis anak-anak yang kekurangan kasih sayang orang tua."Yang sabar ya, secapek apapun dan senakal apapun anak-anakmu tetaplah bersikap baik terhadap mereka.""Ayo, Ma, Adek udah siap." Dara berlari dari dalam kamar sambil menggendong tas sekolahnya."Ayo, salaman sama Nenek dulu ya.""Adek pulang dulu ya, Nek." "Hati-hati, Sayang," tutur ibu sambil m
(POV FERDI)"Mas, perutku sakit," ujar Susan sambil merintih.Aku meliriknya yang memang sedang mengelus-elus perut menahan kesakitan, dan bulan ini usia kandungannya memang menginjak sembilan bulan"Ya udah kita ke klinik sekarang."Ia mengangguk setelah itu berdiri mengambil tas besar yang berisi alat-alat melahirkan dan bayi baru lahir, sementara aku ke luar rumah memanaskan mobil."Ayo Mas bantu."Istriku itu tertatih masuk ke dalam mobil, sementara aku berlari kencang mengitari mobil lalu masuk ke dalamnya dan mengemudikan mobil dengan kecepatan penuh.Hatiku sangat bahagia sekali, mengingat setelah sepuluh tahun lamanya aku menanti bayi lelaki lalu sekarang mimpi itu akan segera terwujud, terlebih baru kutahu jika bayi di dalam perut Susan ini kembar.Tak kubayangkan bagaimana ramainya rumahku dengan celoteh mereka suatu saat nanti.Tepat di hadapan klinik air ketuban Susan pecah, beruntung dokter Mutia ada di tempat sehingga kami tak perlu ke rumah sakit atau harus ditangani as
Aku menelan ludah, ingin menjerit meluapkan rasa kecewa, harusnya Susan diam saja tak usah bertanya macam-macam karena saat ini pikiranku benar-benar kacau."Aku juga maunya anak kita lelaki, Mas, tapi gimana lagi. Ya kalau kamu ga nerima dan mau ninggalin aku silakan aja sih aku ga masalah," ujarnya lagi sambil menyeka air mata."Sudahlah jangan bicara dulu, pikiranku sedang kacau saat ini, Susan. Kamu tenang saja aku ga akan ninggalin kamu selama kamu menjadi istri yang baik untukku."Susan tak lagi bicara, kulihat ia memejamkan matanya dengan terpaksa."Apa kamu ingat peristiwa puluhan tahun silam, Mas? Kamu ingat kita sudah membuang anak lelaki yang baru kulahirkan di panti asuhan."Jantungku berdebar kencang mendengar penuturan Susan, bagaimana aku bisa lupa dengan kejadian waktu itu yang mana kita melakukan hal tersebut saat masih sama-sama labil."Apa ini semua karma untukmu, Mas, karena kita sudah membuang bayi laki-laki, makanya sampai kapanpun kamu ga akan bisa punya anak le
"Akting Mama bagus deh pas tadi pura-pura baik di depan Ayah, aku suka banget." Desti cekikikan di mobil."Ayahmu emang pantes digituin, Kak." Jika tak malu rasanya ingin tertawa kencang di hadapan semua orang.Begitu percaya dirinya Mas Ferdi akan memiliki anak kembar lelaki, siapa sangka yang keluar dari rahim wanita itu malah bayi perempuan.Sukurin!"Sepertinya kita harus balik lagi, Kak, hape Mama ketinggalan.""Ya udah deh terserah Mama," ujarnya sambil kembali main ponsel."Tunggu di sini ya, Kak."Aku terpaksa keluar mobil dan berlari menuju teras rumah yang mana sedang ada Mas Ferdi di sana, saat aku mendekat raut wajah lelaki itu menatapku penuh amarah."Hapeku ketinggalan, bisa tolong ambilkan," ucapku dengan ketus.Sejatinya aku tak pernah rela memberikan kado-kado itu pada anaknya. Namun, karena ingin memiliki kepuasan menertawakannya terpaksa kulakukan, dan terbukti kado-kado itu membuat rasa sakit di hatiku menipis"Apa hubunganmu dengan Dokter Mutia?" tanya Mas Ferdi,
"Hei, Mas, hidupku selalu bahagia ya meskipun beberapa kali kamu sakiti, kamu tenang saja, dan yang harus bahagia itu kamu, bukan aku, karena kalau kamu stres tensi darahmu pasti naik lalu beresiko kena serangan stroke." Aku terkikik pelan"Dasar sombong! Karena kamu tidak pernah berubah maka aku tidak akan menghadiri acara perpisahan Desti, kamu saja sana yang hadiri, jadilah ayah dan ibu yang baik untuk anak itu."Telpon tiba-tiba dimatikan, dan disaat yang bersamaan Desti datang dengan mengenakan pakaian kebaya modern warna ungu Lilac."Ma, gimana udah ok?""Sangaat ok, cantik banget sih, Kak," pujiku dengan wajah gemas."Iya dong pasti cantik siapa dulu yang dandanin," sahut Lira yang keluar dari arah kamar.Lira lah yang mendandani Desti untuk acara perpisahan ini, dan hasilnya sangat memuaskan meski ia tak pernah belajar tentang makeup pada seseorang."Ayah mau datang ga, Ma?" tanya Desti lagi membuat dadaku sedikit berdenyut.Malang sekali nasibmu, Nak, andai kamu tahu apa yang
Tujuh tahun telah berlalu, tak terasa putri-putriku kini telah tumbuh besar, Desti yang kini berumur delapan belas tahun, anak keduaku berumur enam belas tahun dan si bungsu Dara berumur tiga belas tahun.Menjadi orang tua tunggal tentu tak mudah, apalagi mengurus tiga anak perempuan dengan karakter berbeda, terlebih di usia memasuki remaja yang cenderung ingin banyak tahu dan mencoba hal-hal baru.Sebagai orang tua kita harus bisa menjadi sahabat untuk mereka, berusaha membuat nyaman tanpa rasa terkekang apalagi tertekan.Terkadang aku mengevaluasi diri menuruti perkembangan zaman agar anak-anak tak sungkan berbagi cerita dengan ibunya, aku tidak ingin mereka tumbuh dan berkembang dengan dunia luar bersama teman-temannya.Aku ingin mereka tetap menjadi putri kecilku, yang akan tetap selalu kembali dan membutuhkan ibunya ini.Ketiga putriku tumbuh tanpa kekurangan apapun, mereka bisa membeli apapun yang diinginkan, liburan ke mana saja, mentraktir teman-temannya, dan kasih sayang yang