Arya terkekeh kecil mendengar Rendy terkejut karena baru kali ini seorang Arya meminjam uang. Hal yang tidak pernah terjadi sebelumnya.‘Sial! Jika bukan karena Shanum sialan itu, aku vak akan merendahkan diri seperti ini! Tunggu saja, tidak lama lagi kamu akan hancur ditanganku!’ batin Arya geram.“Ya, begitulah, Ren. Saat ini aku sedang mengalami sedikit kendala. Shanum tidak mau memberikanku uang untuk membantu kerabatku yang sedang dirawat di rumah sakit.” Arya mulai mengarang cerita yang menyudutkan Shanum di hadapan sahabatnya. [“Begitukah? Masa' sih Shanum begitu?"] Rendy yang mengenal sekilas sosok Shanum seakan tak percaya pernyataan Arya. "Sikap seseorang bisa berubah kapan saja." Arya berkata penuh penekanan. "Kamu mau bantu nggak? Jangan buang-buang waktuku?" tanya Arya terdengar arogan dan tak sabaran.["Hahaha … ya sudah. Katakan berapa banyak yang kamu butuhkan? Aku akan segera mengirimkannya.”] Randy yang percaya dengan ucapan Arya akhirnya tak tega melihat temannya
Siang ini jalanan begitu padat sehingga membuat mobil Arya berapa kali harus berhenti di tengah kemacetan ibu kota.“Apa kita tidak bisa lewat jalan lain, Arya? Mama sudah merasa pegal sekali, kenapa AC mobil ini gak bisa mendinginkan kita di dalam mobil,” keluh Bu Rani seraya mengusap keningnya yang berkeringat.“Sabar, Ma. Kita gak bisa putar balik atau melewati antrian mobil di depan. Sebentar lagi juga jalan, kok.” Anara mengusap lengan Bu Rani untuk menenangkan.Arya lebih memilih untuk tidak menghiraukan keluhan Bu Rani karena dirinya sudah pusing memikirkan rencana untuk meluluhkan hati Shanum.‘Kalau saja Shanum bisa aku singkirkan dengan cepat, gak mungkin aku berada di situasi yang sulit seperti ini. Sial! Lagi-lagi wanita itu yang membuat aku harus merendahkan harga diri di depan mamanya Anara!’ batin Arya geram, tangannya mencengkeram kemudi dengan erat, meluapkan kekesalannya kepada Shanum.Setelah melewati kemacetan, akhirny
“Kamu sudah makan, Nak?” tanya Bu Desi seraya melangkah mendekati Arya yang hendak masuk ke dalam rumah.Arya hanya menggelengkan kepalanya sebagai jawaban atas pertanyaan ibunya itu.Lila yang hanya bisa mengekor di belakang kakak dan ibunya tidak mengatakan apa pun. Gadis itu hanya menuruti perintah sang ibu untuk menyambut kepulangan Arya.“Makan dulu, ibu sudah siapkan makanan kesukaanmu.” Bu Desi menarik lengan kekar Arya menuju ke ruang makan dan mengambilkan nasi beserta lauk di atas piring.“Terima kasih, Bu. Di mana Shanum? Apa dia sudah makan?” tanya Arya dengan suara yang sengaja ia keraskan agar terdengar ke seluruh telinga penghuni rumah itu.“Dia sudah makan di luar dan sekarang sedang istirahat di dalam kamar. Mungkin dia sangat lelah karena baru pulang.” Suara Bu Desi terdengar begitu ramah dan penuh pengertian kepada menantunya itu.“Arya, apa kamu sudah mengurus mereka dan mengembalikannya ke kampung?” tanya Bu Desi setengah berbisik.“Mereka gak mau pulang ke kampun
Sosok pria tampan tampak masuk ke dalam rumahnya ketika dirinya sudah menyelesaikan urusannya bersama klien. Langkah ringan Zayn membawanya masuk ke dalam rumah, lalu mata hazelnya tampak mencari gadis kecil kesayangannya.“Bi, apa gadis kecilku sudah tidur?” tanya Zayn kepada Bi Ijah yang merawat anak gadisnya itu.“Non Sena sudah tidur dari tadi, Tuan.” Bi Ijah menerima tas kerja Zayn untuk ia letakkan di ruang kerja majikannya.“Bagaimana dia hari ini?” Zayn selalu menanyakan bagaimana perkembangan anaknya lewat Bi Ijah. Pria itu tampak sambil mengendurkan dasinya. "Sekarang non Sena sudah mulai bisa berbicara meskipun belum jelas. Dia memanggil ‘papa’ itu kata pertama yang non Sheina ucapkan.” Mata Bi Ijah berbinar ketika membicarakan gadis yang masih berusia dua setengah tahun itu.“Benarkah? Aku jadi nggak sabar ingin bertemu dengannya. Bi ... Terima kasih sudah merawat dan menjaga Sheina dengan baik. Aku berhutang budi seumur hidup kepadamu.” Tak bisa dipungkiri bahwa Zayn sang
Shanum terbangun dari tidur indahnya setelah kejadian menjijikkan semalam dikejar-kejar oleh Arya. Ia bergegas membersihkan diri dan mematut diri di depan kaca. Kali ini dirinya memakai baju kerja dengan riasan natural tapi justru membuat dirinya terlihat jauh lebih cantik dan anggun dari sebelumnya. Mungkin jika pria lain melihat Shanum, mereka akan mengira bahwa wanita itu belum memiliki suami.“Semua sudah beres. Aku harus cepat-cepat keluar untuk sarapan sebelum manusia-manusia gak tahu diri itu bangun,” gumamnya pada diri sendiri sambil melangkah keluar dari kamar menuju dapur.Terdengar suara Bi Nena yang sedang menyiapkan sarapan untuk mereka semua. Saat Shanum sampai di ambang pintu dapur, ternyata Bu Desi juga sudah berada di sana, berdiri membelakangi Shanum dan terlihat pipinya bergerak-gerak seperti sedang mengunyah makanan.“Mbak, mau sarapan sekarang? Biar Bibi siapkan,” ucap Bi Nena ketika melihat Shanum sudah berdiri di ambang pintu dapur.Seketika Bu Desi membalikkan
Shanum bergeming, tak lagi memikirkan Arya yang tampak tak berdaya di hadapannya.Pria itu lantas melangkahkan kakinya dengan gontai kembali masuk ke dalam rumah untuk menikmati sarapan pagi. "Gimana, Mas? Apa Mbak Shanum bisa ngasih uang buat kuliahku? Aku butuh banget lho, Mas. Bisa kan? Bisa dong?" tanya Lila memberondong Arya dengan pertanyaan yang membuatnya pusing.Arya tetap bergeming dan tetap melanjutkan aktivitas makannya. Ia sengaja menyimpan jawaban untuk pertanyaan yang Lila lontarkan, sebab saat ini amarahnya tengah berkumpul dan siap untuk meledak kapan saja."Ihh, Bu, tuh sekarang Mas Arya yang nyebelin! Malah diem aja lagi kayak orang gak bisa ngomong aja!" rengek Lila saat tak kunjung mendapatkan jawaban dari Arya. "Arya! Jangan diam aja coba, gimana sih!?" sentak Bu Desi ikut tersulut emosi mendengar rengekan manja putri bungsunya. "Shanum nggak mau ngasih sepeserpun uang untukku, Bu." Arya akhirnya membuka suara sebagai jawaban."Ibu nggak dengar tadi, dia malah
Arya memilih untuk berkeliling mengitari jalanan kota menggunakan kendaraan roda empatnya. Dia tak tahu harus ke mana, dan tempat mana yang akan dituju saat ini."Argh! Kenapa aku malah nggak bisa mengendalikan diri sih. Bodoh!" Arya mendesis geram sambil memukul roda kemudinya."Bodoh kamu, Arya! Bisa-bisanya kamu malah membuat Shanum makin nggak bisa disentuh apalagi diambil hatinya. Ck, sial!" gerutunya sepanjang jalan.Pria itu sontak teringat pertanyaan Shanum yang menurutnya sangat aneh."Apa dia sudah tahu sesuatu tentang kematian papanya? Ini nggak bisa dibiarkan, Shanum nggak boleh tahu yang sebenarnya!" pekik Arya. Ia lalu mengeluarkan ponselnya dan menghubungi seseorang. Nomor telepon tanpa kontak di benda pintarnya itu."Halo, Bos? Apakah ada pekerjaan lagi untuk kami?" sapa pria bersuara berat dari sambungan telepon."Halo. Untuk saat ini belum ada, tapi saya mau memastikan satu hal. Apakah waktu itu kamu sungguh sudah menyingkirkan suster itu?" tanya Arya memastikan pada
"Mas, bisa transfer uang nggak? Aku lagi belanja buat perlengkapan bayi kita nih." Sebuah suara manja langsung menyapa gendang telinga Arya.Pria itu tampak memijat pelipisnya yang berdenyut nyeri tatkala mendengar suara rengekan istri mudanya. "Uang? Yang semalam gimana? Apa sudah habis, Ra?" tanya Arya malas. Anara seolah tidak mau mengerti jika mereka sedang dalam keadaan krisis.'Ck, taunya cuma belanja dan menghabiskan uang!' Arya menggerutu sebal dalam hatinya. "Haish, sini biar mama aja yang ngomong!" Suara Bu Rani terdengar begitu lantang dari ujung telepon. Arya sampai menjauhkan sejenak ponselnya dari telinga. Ia jelas dapat menebak jika ponsel Anara pasti sudah direbut dengan kasar oleh Bu Rani."Astaga, memangnya kamu ngasih berapa semalam Arya! Cuma 800 ribu. Jadi apa coba! Uang segitu gak ada apa-apanya, dibawa ke mall bentaran juga pasti habis!" serbu Bu Rina emosi."Iya, Ma. Tapi sekarang aku lagi gak bisa transfer," ucap Arya berusaha agar tidak tersulut emosi."Ha