Feri tak lagi bersuara. Ia justru membiarkan Shanum larut dalam tangisannya yang terdengar memilukan. Sebagai anak tunggal, dan kedua orang tuanya sudah tiada. Ia tentu saja merasa sendirian. Merasa tidak ada lagi yang berada di pihaknya dan menjadi sandaran baginya saat tengah rapuh. Sementara, pria itu terus memeluk tubuh sahabatnya demi menyalurkan kekuatan pada Shanum yang tengah rapuh."Menangislah, kalau itu bisa membuat perasaanmu menjadi lega," ucap Feri di sela usahanya menenangkan tangisan Shanum. "Jangan menahannya kalau itu hanya akan membuatmu sakit, Sha," lanjutnya seolah memberi lampu hijau bagi Shanum. Shanum memilih bergeming. Ia tak menyahut ucapan Feri, dan hanya terus larut dalam tangisannya. Rasanya, malam ini adalah titik balik bagi kehidupannya yang sempat dia kira sudah sempurna tanpa cela.Nyatanya dia salah. Sebab, di dunia ini mustahil ada kehidupan yang sempurna maupun nyaris tanpa cela. Itu hanya fatamorgana."Kenapa, kenapa Mas Arya tega sama Papa?" guma
"Santai aja, Bro. Kenapa jadi gugup begitu?" Pria itu mendekati Feri, bahkan menepuk pelan pundaknya."Shanum, bagaimana kabarmu? Nggak nyangka ya kalau kita bertemu lagi di sini," ucap pria itu yang ternyata adalah mantan kekasih Shanum, Zayn."E–eh, aku … baik. Kamu?" tanya Shanum kikuk. Giliran dirinya yang kini mendadak gugup, seolah-olah baru saja tertangkap basah tengah selingkuh."Aku juga baik. Senang bertemu dengan kalian," ucap Zayn ringan. Pria itu melepaskan tangannya dari bahu Feri."Eh, iya. Kebetulan banget ya. Aku sama Shanum baru aja selesai dan mau pulang sekarang." Feri berusaha mengubah suasana yang dari awal sangat canggung itu. "Benarkah. Wah, kalau gitu kapan-kapan kita bisa janjian di sini ya. Udah lama nggak kongkow bareng juga, kan?" usul Zayn.Baik Feri maupun Shanum, keduanya tidak langsung merespon usulan Zayn. Mereka justru saling melempar tatapan. "Itu …." Ucapan Feri terjeda ketika Zayn kembali bersuara dengan nada tergesa. Zayn memang mempunyai janji
#38 "Apa kata Mas Arya, Bu?" tanya Lila begitu melihat sang ibu selesai berbicara dengan kakaknya."Kata masmu, kita boleh lakuin apa aja asal bisa melancarkan rencana Arya. Yang jelas kita harus buat Shanum luluh." Bu Desi menjawab apa adanya."Yah … pokoknya terserah aja, Bu. Aku nggak mau ikut-ikutan." Lila menyatakan ketidaksukaannya. Bukan karena dia tidak lagi membenci Shanum, melainkan tidak ingin ribet saja."Nggak bisa gitu dong, La. Kita ini harus kompak, supaya rencana kita berjalan lancar." Bu Desi terus menghasut putri bungsunya. "Iya-iya, Bu. Jadi, sekarang gimana. Kita pura-pura baik gitu di depan Mbak Shanum, terus kita juga minta maaf ke dia?" Lila memastikan sekali lagi ide yang sempat dibisikkan oleh sang ibu beberapa menit yang lalu. "Tepat sekali. Ya, sebenarnya ibu juga gak suka sama keadaan ini, La. Tapi mau gimana lagi, kan. Mau nggak mau kita harus buat Shanum luluh agar dia nggak sampai ngusir kita sebelum Arya berhasil mengambil alih semua kekayaan Shanum
Cukup lama Shanum berkutat dengan lemari dan beberapa penyimpanan tersembunyi yang ada di dalam kamarnya. Shanum terus mencari dan mencari sampai mendapatkan sesuatu petunjuk, meski kemungkinannya sangat kecil. Ia takkan menyerah dan harus menemukan bukti itu.Arya pasti masih menunggui istri mudanya itu di rumah sakit. Sehingga, ini adalah kesempatan bagi Shanum untuk mencari bukti itu sampai dapat."Di mana ya? Kenapa nggak ada apa pun di sini? Apakah Mas Arya sungguh-sungguh menyembunyikan semua buktinya?" Shanum menghentikan aktivitasnya sejenak tatkala tidak mendapati petunjuk setelah sekian lama mencari.Ia nyaris saja putus asa, karena pencariannya tidak membuahkan hasil."Aku nggak boleh menyerah. Aku yakin sebuah kejahatan pasti meninggalkan bukti, walaupun secuil. Baiklah, jika kali ini aku tak menemukan apa pun. Aku yakin bukti itu akan muncul tanpa perlu susah payah mencarinya. Bukankah seperti itu biasanya? Hal yang kita cari akan sulit ditemukan, tetapi sesuatu yang tida
"Apa? Nggak boleh! Anara nggak boleh balik dan tinggal di kampung lagi, Arya! Apa kata tetangga nantinya!" ucap ibu kandung Anara saat Arya menjelaskan rencananya untuk menitipkan istri mudanya itu sementara waktu."Tapi, Ma … Arya janji nggak akan lama kok. Sampai urusan Arya di sini beres, aku pasti akan segera menjemput Anara kembali ke Jakarta," pinta Arya memelas. Sementara, Anara hanya menyimak perdebatan ibu dan suaminya dari ranjang tempat tidurnya.Bukan tanpa alasan kalau sang ibu menolak kemauan Arya yang memintanya tinggal di kampung sementara waktu. Hal itu karena, sang ibu mengkhawatirkan julidan orang-orang mengenai dirinya.Mereka tidak tahu kalau Anara sudah menikah siri dan bahkan sedang mengandung. Sehingga, Bu Rani tak mau ambil risiko kalau Anara pulang dan akan berakhir menjadi bahan gunjingan orang. "Pokoknya, Mama nggak setuju, Arya!" Bu Rani terus menekankan ketidaksetujuannya. Ia datang seorang diri karena sang suami memilih pergi, ketika Anara terus keukeu
Arya terkekeh kecil mendengar Rendy terkejut karena baru kali ini seorang Arya meminjam uang. Hal yang tidak pernah terjadi sebelumnya.‘Sial! Jika bukan karena Shanum sialan itu, aku vak akan merendahkan diri seperti ini! Tunggu saja, tidak lama lagi kamu akan hancur ditanganku!’ batin Arya geram.“Ya, begitulah, Ren. Saat ini aku sedang mengalami sedikit kendala. Shanum tidak mau memberikanku uang untuk membantu kerabatku yang sedang dirawat di rumah sakit.” Arya mulai mengarang cerita yang menyudutkan Shanum di hadapan sahabatnya. [“Begitukah? Masa' sih Shanum begitu?"] Rendy yang mengenal sekilas sosok Shanum seakan tak percaya pernyataan Arya. "Sikap seseorang bisa berubah kapan saja." Arya berkata penuh penekanan. "Kamu mau bantu nggak? Jangan buang-buang waktuku?" tanya Arya terdengar arogan dan tak sabaran.["Hahaha … ya sudah. Katakan berapa banyak yang kamu butuhkan? Aku akan segera mengirimkannya.”] Randy yang percaya dengan ucapan Arya akhirnya tak tega melihat temannya
Siang ini jalanan begitu padat sehingga membuat mobil Arya berapa kali harus berhenti di tengah kemacetan ibu kota.“Apa kita tidak bisa lewat jalan lain, Arya? Mama sudah merasa pegal sekali, kenapa AC mobil ini gak bisa mendinginkan kita di dalam mobil,” keluh Bu Rani seraya mengusap keningnya yang berkeringat.“Sabar, Ma. Kita gak bisa putar balik atau melewati antrian mobil di depan. Sebentar lagi juga jalan, kok.” Anara mengusap lengan Bu Rani untuk menenangkan.Arya lebih memilih untuk tidak menghiraukan keluhan Bu Rani karena dirinya sudah pusing memikirkan rencana untuk meluluhkan hati Shanum.‘Kalau saja Shanum bisa aku singkirkan dengan cepat, gak mungkin aku berada di situasi yang sulit seperti ini. Sial! Lagi-lagi wanita itu yang membuat aku harus merendahkan harga diri di depan mamanya Anara!’ batin Arya geram, tangannya mencengkeram kemudi dengan erat, meluapkan kekesalannya kepada Shanum.Setelah melewati kemacetan, akhirny
“Kamu sudah makan, Nak?” tanya Bu Desi seraya melangkah mendekati Arya yang hendak masuk ke dalam rumah.Arya hanya menggelengkan kepalanya sebagai jawaban atas pertanyaan ibunya itu.Lila yang hanya bisa mengekor di belakang kakak dan ibunya tidak mengatakan apa pun. Gadis itu hanya menuruti perintah sang ibu untuk menyambut kepulangan Arya.“Makan dulu, ibu sudah siapkan makanan kesukaanmu.” Bu Desi menarik lengan kekar Arya menuju ke ruang makan dan mengambilkan nasi beserta lauk di atas piring.“Terima kasih, Bu. Di mana Shanum? Apa dia sudah makan?” tanya Arya dengan suara yang sengaja ia keraskan agar terdengar ke seluruh telinga penghuni rumah itu.“Dia sudah makan di luar dan sekarang sedang istirahat di dalam kamar. Mungkin dia sangat lelah karena baru pulang.” Suara Bu Desi terdengar begitu ramah dan penuh pengertian kepada menantunya itu.“Arya, apa kamu sudah mengurus mereka dan mengembalikannya ke kampung?” tanya Bu Desi setengah berbisik.“Mereka gak mau pulang ke kampun