“Kenapa kalian membuat permainan tanpa peduli dengan perasaan orang lain?” lirih Gemintang, pedih. “Kamu juga seorang wanita, Rosaline! Seharusnya–”
“Tidak terbalik? Seharusnya aku yang berkata seperti itu,” potong Rosaline, “Tidak ada istri yang sanggup diduakan seumur hidup. Aku justru membiarkan kalian selama ini.”
“Jika kau tidak ingin masalah ini berbuntut panjang, kau hanya perlu tinggalkan Janu dan serahkan Maura padaku,” ucapnya lagi.
Mendengar itu, kepala Gemintang rasanya ingin meledak.
Bahkan setelah pulang dari kafe wanita itu tak bisa berhenti memikirkan pertemuannya dengan Rosaline.
Kalimat demi kalimatnya terus saja terngiang di kepala. Ia tak memiliki daya untuk melakukan apa pun.
Bahkan saat Maura mengacak-acak mainannya, Gemintang hanya bisa memandangi tanpa mengeluarkan komentar satu pun.
Bagaimana bisa ia menyerahkan putrinya begitu saja?
Mungkin dia bisa terima jika Janu meninggalkannya, tetapi ia tak akan sanggup hidup tanpa Maura.
Memikirkan itu membuat Gemintang merasa mual. Ia harus berlari ke kamar mandi beberapa kali untuk menumpahkan isi perutnya.
“Ibu?” Maura mendekat ke arah Gemintang yang berdiri di wastafel. Gadis kecil itu membawa satu botol air minum yang diambil dari tas sekolahnya lalu memberikannya kepada Gemintang. “Ibu sakit, ya?”
Sebisa mungkin, Gemintang menerbitkan senyum. Wanita itu kemudian berjongkok mensejajarkan diri dengan putrinya. Tak lupa mengambil air minum yang diberikan Maura. “Ah, tidak, Sayang. Ibu hanya sedikit pusing dan mual, saja. Terima kasih, ya, anak cantik!”
Maura menganggukkan kepala. “Kenapa ibu bisa pusing dan mual?”
“Ehm …. Mungkin karena terlambat makan. Sekarang Maura main lagi, ya, ibu mau membereskan dapur dulu.”
Hanya saja, belum sempat Maura mengiyakan permintaan sang ibu, suara pintu terbuka dan langkah kaki yang mendekat membuat ibu dan anak itu menoleh ke arah sumber suara.
Sosok pria bertubuh kekar muncul di hadapan mereka dan bertanya dengan suara berat.
“Siapa yang terlambat makan dan sakit?”
Itu Janu.
Entah sejak kapan pria itu kembali, Gemintang tak menyadarinya. Ini bahkan masih jam makan siang, tidak seharusnya Janu berada di rumah.
Gemintang lantas segera bangkit berdiri menyambut sang suami. Sedangkan Maura segera berlari ke arah sang ayah.
“Ayah!” teriak gadis itu seraya memeluk tubuh kekar Janu.
“Hai, Cantik. Bagaimana sekolahnya hari ini?” Janu memberikan kecupan di dahinya.
“Aku dapat lima stiker bintang! Lihat ini, Ayah!” Dengan raut wajah gembira, Maura menunjukkan gambar bintang yang menempel di pergelangan tangannya.
“Wah? Anak pintar! Baiklah, kalau begitu sebagai hadiah, sore ini kita pergi jalan-jalan!”
Kelopak mata Maura terbuka lebar. Ada binar di kedua manik hitamnya. “Benar? Ayah tidak bohong?”
“Tentu. Kapan Ayah berbohong padamu, hm?”
“Oke! Kalau begitu, tunggu di sini ya, Ayah! Aku mau ambil sesuatu!”
Janu menganggukkan kepala, detik berikutnya melepas pelukan mereka. Gadis itu lantas berlari menuju kamar mengambil sesuatu.
“Kenapa kamu sudah pulang?” kini giliran Gemintang yang bertanya.
Janu meletakkan tas kerjanya pada kursi. Selanjutnya berjalan mendekat ke arah Gemintang. Satu tangannya terulur mengusap wajah yang terlihat lesu. “Tidak suka aku pulang cepat?”
“Bukan begitu. Aku … hanya tidak menyangka kamu bisa pulang saat makan siang.”
Janu tersenyum singkat. “Aku baru saja menyelesaikan proyek besar hari ini, jadi atasanku berbaik hati dan mengijinkan pulang lebih awal.”
Seketika pikiran Gemintang melayang pada percakapannya bersama Rosaline tadi. Ia tahu Janu sedang berbohong. Jelas, pria itu bisa pulang kapan saja, tak akan ada yang melarangnya.
Seharusnya, ia senang. Namun, entah mengapa, rasanya Gemintang tidak bahagia dengan kenyataan bahwa Janu bukanlah pekerja kantoran biasa.
Janu kembali menarik dagu Gemintang agar bertatap muka dengannya. “Hei? Kamu belum jawab pertanyaanku. Kamu sakit?” tanya Janu sekali lagi.
Sakit? Oh, astaga, jika Gemintang memberitahu jika hatinya perih karena kenyataan ini, akankah Janu membelanya? Akankah pria itu peduli padanya?
“Ah, tidak, Mas. Mungkin karena aku tidak sempat sarapan tadi, buru-buru menjemput Maura maag-ku jadi kambuh.”
Sebelah alis Janu terangkat. “Bukankah sebelumnya kamu tidak punya riwayat maag?”
“Em, entahlah, mungkin karena imunitasku sedang menurun saja, tapi aku tidak apa-apa, kok. Sungguh.”
Bersamaan dengan itu Maura kembali datang ke hadapan mereka dengan membawa hasil karyanya dan satu bungkus coklat yang masih utuh. “Ayah, lihat! Ini topi kelinci yang Maura buat! Maura juga dapat coklat!”
Bar coklat dengan merk yang familiar itu tiba-tiba mengalihkan perhatian Janu.
Ia curiga sebab makanan yang sedang dibawa putrinya bukan sembarang coklat yang dijual bebas di minimarket. Bahkan perlu ke negeri singa untuk membelinya.
“Maura suka coklatnya! Ayah mau belikan, kan?” imbuh Maura lagi
Janu yang penasaran meraih tubuh mungil Maura dan menggendongnya seraya melayangkan pertanyaan, “Dari mana kau dapatkan cokelat ini, Sayang?”
“Um …, dapat dari Aunty Cantik. Teman ibu, ya kan, Bu?” Maura menoleh kepada ibunya dan Gemintang mengangguk ragu.
Sementara Janu, agaknya belum puas dengan jawaban putrinya. Kelopak mata pria itu menyipit dan melirik ke arah sang istri. Ia tahu benar, Gemintang tak memiliki teman yang sering bepergian ke luar negeri.
“Aunty Cantik? Siapa namanya?”selidiknya lagi.
Untuk sesaat Maura terdiam. Seolah sedang mengingat nama seseorang yang memberinya coklat itu tadi siang. “Maura tidak tahu namanya. Tapi tadi ibu ber—”“Itu coklat dari wali murid, Mas. Mungkin Maura mengira kami berteman.” Gemintang menyahut sebelum Maura melanjutkan jawabannya. “Katanya baru pulang liburan ke luar negeri. Kebetulan Maura dapat dua, yang satu sudah dimakan tadi.”Gemintang sudah mencari tahu merk coklat itu, sehingga bisa memberikan jawaban masuk akal kepada suaminya dan ia berharap alasan itu tak membuat Janu curiga. Untungnya, Maura tidak menginterupsi. Gadis kecil itu hanya meminta lagi agar Janu membelikan cokelat serupa.Janu lantas mengambil cokelat yang dipegang Maura dan mengamatinya sebentar. “Nanti kalau Ayah sudah gajian, pasti belikan. Tapi, cokelat ini tidak dijual di negara kita.”“Memangnya yang dijual di mana, Ayah?” Gadis itu tampak kecewa.“Di Singapura. Apa kamu tahu? Maura sering belajar nama negara bersama ibu, kan?”Maura mengangguk cepat. “Ya
Tiba-tiba saja Janu terkekeh pelan... “Jangan khawatir, Sayang. Sebelum membahasnya, aku ingin memberikan sesuatu kepadamu.”Lelaki itu melepaskan genggamannya, lalu mengambil paper bag hitam dan mendorongnya ke arah Gemintang. Dengan hati-hati, Gemintang membuka isinya. Sebuah kotak beludru hitam dengan logo bunga emas terpatri di atasnya.Tanpa perlu penjelasan pun, Gemintang tahu isi kotak itu. ”Mas, ini untukku?” tanyanya ragu.Janu mengangguk. “Bukalah, lihat apakah kamu suka atau tidak dengan model yang aku pilih?”Gemintang lalu membuka penutup kotak itu. Ia takjub kala melihat set perhiasan dengan permata merah yang berkilauan itu tertata rapi di dalamnya. Sungguh, itu barang mahal yang pernah ia lihat seumur hidupnya. Ini bahkan bukan hari yang spesial baginya.“Bagaimana? Apakah kamu menyukainya?” tanya Janu, mengamati reaksi istrinya.“Su-suka, Mas. Tapi ini terlalu berlebihan, bukan? Kamu—”“Jangan pikirkan berapa harganya. Aku tahu, kamu pasti merisaukan itu,” potong le
Keinginan Janu untuk memiliki anak terus mengganggu pikiran Gemintang. Bahkan, sampai keduanya di rumah. Bayangan Janu yang terlihat bersemangat untuk menambah anak lagi sungguh menyesakkan.Apa yang sebenarnya direncanakan pria berstatus suaminya itu?Kriet!Suara pintu yang terbuka membuat Gemintang terkejut dan spontan menoleh ke arah sumber suara. “Maaf, aku mengejutkanmu?” tanya Janu usai menutup pintu kamar mereka kembali. Pria itu baru saja menemani Maura, membacakan dongeng sebelum putrinya terlelap.“Tidak kok,” jawab Gemintang, “Maura sudah tidur?”“Sudah, baru saja.”Janu lalu meletakkan ponsel ke atas nakas, bergerak menuju ranjang, dan mendaratkan tubuhnya di sisi Gemintang. Dengan satu gerakan ia membalikan tubuh mungil itu agar menghadap ke arahnya. “Kenapa belum tidur, hm?” tanya lelaki itu seraya melingkarkan lengan kekarnya ke pinggang Gemintang. Mereka saling menatap dalam. Entah sihir apa yang dimiliki Janu. Dua manik hitam itu selalu mampu menenggelamkan Gemi
Keesokan harinya.Gemintang mengernyit kala menyadari sesuatu yang silau mengganggu tidurnya. Kesadarannya belum terkumpul penuh, tetapi ia tahu jika itu adalah sinar matahari yang menembus celah jendela kamarnya. Wanita itu lantas menggerakkan tangannya merasa sisi ranjang yang lain, tetapi tak menemukan seseorang di sana. “Matahari sudah menjulang tinggi dan kamar ini sudah kosong. Itu artinya, Janu sudah berangkat ke kantor,” gumamnya kemudian.Menyadari sesuatu, Gemintang segera melompat dari kasur. Wanita itu gegas mencari keberadaan Maura di kamar sebelah. Bagaimana bisa dia bangun kesiangan seperti ini?“Maura?” panggilnya, tetapi tidak ada jawaban, bocah itu sudah tidak ada. Gemintang lalu kembali ke kamar dan memeriksa ponselnya. Ia baru menyadari jika ini sudah pukul delapan lebih. Ada pesan suara yang dikirimkan suaminya. [“Ibu, aku sudah berangkat sekolah diantar Ayah. Jangan lupa jemput Maura ya.] Suara Maura terdengar ceria di sana. Lalu, ada sebuah pesan text yang d
“Rosaline?”Berbeda dengan Gemintang yang tergagap, wanita bergaun merah itu justru memberikan seringaian kecil. Kedua tangannya bersedekap di depan dada dan tatapannya begitu tegas. Entah apa yang akan dilakukan Rosaline kali ini. Raut wajahnya yang tenang membuat sikap wanita itu selalu tidak tertebak. “Bagaimana kau tahu rumahku?” tanya Gemintang lagi. Ia merasa belum pernah memberitahu alamat rumahnya kepada Rosaline. Mungkinkah wanita itu membuntutinya? Atau … dia sudah tahu sejak lama?“Apa yang tidak aku ketahui sebagai istri pertama Janu? Rumah ini bahkan aku yang membelinya bersama Janu.” Deg!Tanpa permisi, Rosaline seketika menerobos masuk ke dalam rumah. Dagunya terangkat tinggi saat mengedarkan pandangan ke sekeliling, mengamati teras rumah Gemintang yang dipenuhi tanaman hias. Juga, beberapa bunga peony segar di hadapannya. Sementara Gemintang, seolah kehilangan daya walau untuk bicara. Bahkan rumah yang selama ini ditempatinya, sekarang terasa bukan miliknya. “M
Gemintang menghela napas panjang. Kembali dipaksanya diri untuk makan dan beraktivitas. Ibu Maura itu merapikan rumah sebisanya, lalu membersihkan diri sebelum menjemput sang putri di sekolah. Hanya saja, kala berdiri di antara para orang tua yang juga menunggu anak mereka, Gemintang tanpa sadar terus saja memikirkan apa yang harus dilakukan selanjutnya. Apakah dia harus meninggalkan Janu? Tapi, bagaimana jika Maura direbut? "Hore!!! Kita Pulang!" Suara bocah yang dikenal Gemintang sebagai teman sekelas sang putri, terdengar--membuatnya tersadar dari lamunan. Atensi wanita itu berpindah pada anak-anak yang sudah mulai menghampiri ibu dan pengasuh mereka. Hanya saja, putrinya tak kunjung kelihatan! Padahal, sekolah sudah mulai sepi. Deg! "Rosaline?" Seketika Gemintang cemas. Dia mendadak teringat pertemuannya dengan istri pertama suaminya itu tadi pagi. Bagaimana jika wanita itu bertindak nekat setelah Gemintang menjadikan Maura sebagai alasan utama? Pani
Kepala Gemintang hampir pecah. Pesan dari nomor tak dikenal itu .... membuat Gemintang jadi khawatir.Ia yakin itu dari Rosaline.Bagaimana jika wanita itu nekad menculik Maura?Namun, Gemintang terpaksa menelan kekhawatirannya itu sendirian kala Janu pulang setelah makan siang dan memaksannya ke dokter kandungan--sesuai janjinya kemarin.Hanya saja, ucapan Maura yang tiba-tiba membuat Gemintang tanpa sadar ketakutan!“Ibu! Maura mau main di sana!” pinta gadis kecil itu sembari menunjuk taman kecil di depan klinik. “Tidak, Maura! Duduk di sini saja tidak boleh kemana-mana!" tegas Gemintang cepat.“Tapi Maura mau main!” Tak disangka, anak itu berteriak sehingga beberapa pasien di tempat lain menoleh ke arahnya.Janu yang sejak tadi sibuk dengan ponselnya, bahkan langsung menyimpan benda itu dan mendongak ke arah putri dan istrinya.“Sudah, sudah. Maura main saja di sana tidak apa-apa, tapi jangan jauh-jauh, ya,” kata Janu, menengahi perdebatan istri dan anaknya. Maura yang mendapat
"Siapa dia, Mas? Kamu mengenalnya?"Pertanyaan dan tindakan Gemintang tampaknya membuat bara api menyala dalam mata Rosaline. Gemintang bisa merasakannya.Meski demikian, Janu masih tampak tenang. Ia menoleh ke arah Gemintang dan menarik sudut bibirnya. "Ini ...." Janu berhenti sebentar. Gemintang bisa melihat suaminya itu melirik sekilas ke arah Rosaline yang kini bersedekap di depan dada, bersiap mengatakan sesuatu."Dia Rosaline. Rekan kerjaku di kantor," lanjut Janu sebelum wanita bergaun merah itu angkat bicara.Mendengar itu, kedua alis Gemintang terangkat.Begitu juga dengan Rosaline yang melebarkan matanya ke arah Janu tak percaya dengan apa yang dikatakan lelaki itu.Mereka sudah bertemu sekarang, tetapi mengapa Janu masih menutupinya? Lalu Rosaline, mengapa wanita itu tampak tak berkutik saat bersama suaminya?Bukankah kemarin dia yang paling bersemangat mengungkap semua ini?“Rekan kerja?” Gemintang mengulang jawaban dan Janu memberikan anggukan.“Dulunya kami bekerjasam