Share

BAB 3 — AUNTY CANTIK

“Kenapa kalian membuat permainan tanpa peduli dengan perasaan orang lain?” lirih Gemintang, pedih. “Kamu juga seorang wanita, Rosaline! Seharusnya–”

“Tidak terbalik? Seharusnya aku yang berkata seperti itu,” potong Rosaline, “Tidak ada istri yang sanggup diduakan seumur hidup. Aku justru membiarkan kalian selama ini.”

“Jika kau tidak ingin masalah ini berbuntut panjang, kau hanya perlu tinggalkan Janu dan serahkan Maura padaku,” ucapnya lagi.

Mendengar itu, kepala Gemintang rasanya ingin meledak.

Bahkan setelah pulang dari kafe wanita itu tak bisa berhenti memikirkan pertemuannya dengan Rosaline.

Kalimat demi kalimatnya terus saja terngiang di kepala. Ia tak memiliki daya untuk melakukan apa pun. 

Bahkan saat Maura mengacak-acak mainannya, Gemintang hanya bisa memandangi tanpa mengeluarkan komentar satu pun.

Bagaimana bisa ia menyerahkan putrinya begitu saja?

Mungkin dia bisa terima jika Janu meninggalkannya, tetapi ia tak akan sanggup hidup tanpa Maura.

Memikirkan itu membuat Gemintang merasa mual. Ia harus berlari ke kamar mandi beberapa kali untuk menumpahkan isi perutnya.

“Ibu?” Maura mendekat ke arah Gemintang yang berdiri di wastafel. Gadis kecil itu membawa satu botol air minum yang diambil dari tas sekolahnya lalu memberikannya kepada Gemintang. “Ibu sakit, ya?”

Sebisa mungkin, Gemintang menerbitkan senyum. Wanita itu kemudian berjongkok mensejajarkan diri dengan putrinya. Tak lupa mengambil air minum yang diberikan Maura. “Ah, tidak, Sayang. Ibu hanya sedikit pusing dan mual, saja. Terima kasih, ya, anak cantik!”

Maura menganggukkan kepala. “Kenapa ibu bisa pusing dan mual?”

“Ehm …. Mungkin karena terlambat makan. Sekarang Maura main lagi, ya, ibu mau membereskan dapur dulu.”

Hanya saja, belum sempat Maura mengiyakan permintaan sang ibu, suara pintu terbuka dan langkah kaki yang mendekat membuat ibu dan anak itu menoleh ke arah sumber suara.

Sosok pria bertubuh kekar muncul di hadapan mereka dan bertanya dengan suara berat.

“Siapa yang terlambat makan dan sakit?” 

Itu Janu.

Entah sejak kapan pria itu kembali, Gemintang tak menyadarinya. Ini bahkan masih jam makan siang, tidak seharusnya Janu berada di rumah. 

Gemintang lantas segera bangkit berdiri menyambut sang suami. Sedangkan Maura segera berlari ke arah sang ayah. 

“Ayah!” teriak gadis itu seraya memeluk tubuh kekar Janu.

 “Hai, Cantik. Bagaimana sekolahnya hari ini?” Janu memberikan kecupan di dahinya.

“Aku dapat lima stiker bintang! Lihat ini, Ayah!” Dengan raut wajah gembira, Maura menunjukkan gambar bintang yang menempel di pergelangan tangannya. 

“Wah? Anak pintar! Baiklah, kalau begitu sebagai hadiah, sore ini kita pergi jalan-jalan!”

Kelopak mata Maura terbuka lebar. Ada binar di kedua manik hitamnya. “Benar? Ayah tidak bohong?”

“Tentu. Kapan Ayah berbohong padamu, hm?”

“Oke! Kalau begitu, tunggu di sini ya, Ayah! Aku mau ambil sesuatu!”

Janu menganggukkan kepala, detik berikutnya melepas pelukan mereka. Gadis itu lantas berlari menuju kamar mengambil sesuatu.

“Kenapa kamu sudah pulang?” kini giliran Gemintang yang bertanya.

Janu meletakkan tas kerjanya pada kursi. Selanjutnya berjalan mendekat ke arah Gemintang. Satu tangannya terulur mengusap wajah yang terlihat lesu. “Tidak suka aku pulang cepat?”

“Bukan begitu. Aku … hanya tidak menyangka kamu bisa pulang saat makan siang.”

Janu tersenyum singkat. “Aku baru saja menyelesaikan proyek besar hari ini, jadi atasanku berbaik hati dan mengijinkan pulang lebih awal.”

Seketika pikiran Gemintang melayang pada percakapannya bersama Rosaline tadi. Ia tahu Janu sedang berbohong. Jelas, pria itu bisa pulang kapan saja, tak akan ada yang melarangnya. 

Seharusnya, ia senang. Namun, entah mengapa, rasanya Gemintang tidak bahagia dengan kenyataan bahwa Janu bukanlah pekerja kantoran biasa. 

Janu kembali menarik dagu Gemintang agar bertatap muka dengannya. “Hei? Kamu belum jawab pertanyaanku. Kamu sakit?” tanya Janu sekali lagi.

Sakit? Oh, astaga, jika Gemintang memberitahu jika hatinya perih karena kenyataan ini, akankah Janu membelanya? Akankah pria itu peduli padanya?

“Ah, tidak, Mas. Mungkin karena aku tidak sempat sarapan tadi, buru-buru menjemput Maura maag-ku jadi kambuh.”

Sebelah alis Janu terangkat. “Bukankah sebelumnya kamu tidak punya riwayat maag?” 

“Em, entahlah, mungkin karena imunitasku sedang menurun saja, tapi aku tidak apa-apa, kok. Sungguh.”

Bersamaan dengan itu Maura kembali datang ke hadapan mereka dengan membawa hasil karyanya dan satu bungkus coklat yang masih utuh. “Ayah, lihat! Ini topi kelinci yang Maura buat! Maura juga dapat coklat!”

Bar coklat dengan merk yang familiar itu tiba-tiba mengalihkan perhatian Janu. 

Ia curiga sebab makanan yang sedang dibawa putrinya bukan sembarang coklat yang dijual bebas di minimarket. Bahkan perlu ke negeri singa untuk membelinya. 

“Maura suka coklatnya! Ayah mau belikan, kan?” imbuh Maura lagi

Janu yang penasaran meraih tubuh mungil Maura dan menggendongnya seraya melayangkan pertanyaan, “Dari mana kau dapatkan cokelat ini, Sayang?”

“Um …, dapat dari Aunty Cantik. Teman ibu, ya kan, Bu?” Maura menoleh kepada ibunya dan Gemintang mengangguk ragu. 

Sementara Janu, agaknya belum puas dengan jawaban putrinya. Kelopak mata pria itu menyipit dan melirik ke arah sang istri. Ia tahu benar, Gemintang tak memiliki teman yang sering bepergian ke luar negeri.  

“Aunty Cantik? Siapa namanya?”selidiknya lagi.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status