"Abang nggak gitu, Dek. Lebih suka lihat wanita yang tertutup saat berada di luar. Agar para lelaki bisa menjaga pandangannya, dan wanita itu sendiri terhindar dari bahaya," ujarnya kembali meyakinkanku. "Iya lah itu!""Kok iya-nya kayak terpaksa gitu, Dek.""Ya jelas lah. Gimana nggak terpaksa. Tadi aja kalian jalan berdua. Pake acara boncengan sambil mepet-mepet lagi! Kalau memang nggak suka sama wanita berpakaian sexy, seharusnya Abang nggak jalan sama dia dong!" ucapku kesal.Masih teringat jelas dalam ingatan, bagaimana mereka berdua berboncengan dengan begitu mesranya."Oh, jadi karena itu, Adek nggak mau berhenti saat Abang panggil tadi?" tanyanya sambil senyum-senyum.Pasti dia berpikir kalau aku sedang cemburu. Padahal memang iya, eh! "Entah! Pikir aja sendiri!" Aku membuang muka. Takut kalau dia tau wajahku sudah memerah karena ketahuan cemburu."Baiklah, Abang akan cerita awal mula kami sampai berboncengan berdua. Tadi pagi, Ibu minta belikan daging, sayur, dan bumbu dapu
"Udah selesai kan, masalahnya?" tanya Ibu yang baru saja pulang dari warung Bude Juni. Bang Juna juga sudah berpamitan pulang dari tadi, karena tak enak jika dilihat orang kami hanya berdua di rumah. Takutnya menjadi Fitnah.Setelah penjelasan panjangnya tadi, aku sudah sedikit legah. Ya, meskipun belum plong sepenuhnya. Masih ada yang mengganjal di hati, kalau belum tau maksud dan tujuan Turmi berkata begitu padaku."Kan, udah Rani bilang, nggak ada masalah, Bu," kilahku. "Halah, jangan bohongi Ibu. Tanpa kamu bilang, Ibu tau kalau kalian lagi ada masalah. Tapi kayaknya, sekarang udah selesai sih. Karena wajahmu, udah nggak tertekan kayak tadi pagi," ucap Ibu seraya tersenyum. Memang, yang namanya seorang Ibu, selalu saja tahu dengan yang sedang dialami oleh anaknya, tanpa diberi tahu. Mungkin begitulah ikatan batin antara Ibu dan anak."Kalau udah tau, ngapain tanya lagi, Bu." Aku menggaruk kepala yang tak gatal. "Untuk memastikan aja. Ya, udah Ibu mau mandi dulu. Kamu sapu ruma
"Iya, memang betul itu. Kemarin aku dengar, Si Turmi mulai mepet Si Juna. Padahal dulu nolak mentah-mentah," ucap salah seorang ibu menggebu. Mendengar nama Bang Juna dan Turmi disebut, aku langsung menajamkan mata dan indra pendengaran. Apa dari tadi yang mereka bicarakan adalah Turmi?Jadi, bukan rahasia umum lagi kalau Turmi mendekati calon suamiku? Ternyata ucapan Bang Juna kemarin, benar. "Bukan cuma Turmi aja yang mepet Juna, tapi Bapaknya juga sama. Sekarang, Si Sutris, jadi sering datang ke rumah Juna, kadang juga ke kebun." Ibu berpakaian Pink, bertubuh langsing itu berbicara dengan semangat. Orang tua Turmi juga mendekati Bang Juna? Ada apa sebenarnya ini. Kenapa di saat pernikahanku sudah semakin dekat, ada saja cobaannya. Orang di masa lalu Bang Juna kembali datang. "Ih, kok bisa gitu ya?" tanya Ibu berbaju putih. "Ya itu semua, karena Sutris sudah tau kalau Juna punya banyak kebun. Kan waktu ngelamar di kampung sebelah, banyak yang bilang kalau calon Si Juna dikasih
"Eh, tunggu dulu. Ada yang ketinggalan," ucap Sinta seraya berjalan kembali ke dalam rumah. "Cepat ya! Keburu kering, nih!" teriakku kesal. Entah apa lagi yang ketinggalan. Ada saja kelakuannya kalau mau pergi. Padahal dari tadi udah ditungguin. Tapi masih aja ada yang kurang. Sambil menunggu, aku sedikit mendorong sepeda motor ke jalan. Agar lebih mudah saat akan melajukannya nanti. "Besar juga nyalimu datang ke kampungku. Pasti ingin tahu siapa aku kan?" tanya Turmi sinis. Ia sudah berdiri di samping sepeda motor yang dikendarainya, dengan pakaian seperti yang Ibu-ibu tadi katakan, serba mini. Kenapa harus bertemu dia lagi, sih!Saat mendorong sepeda motor, memang aku melihat ada sepeda motor dari arah depan mendekat. Tapi tak kusangka jika itu adalah Turmi. Wanita jelmaan ulat bulu. Apa lagi yang akan diperbuat olehnya. "Nggak penting banget aku tahu siapa kamu. Aku ke sini juga bukan untuk mencari tahu tentangmu. Jadi jangan kepedean jadi orang!" jawabku ketus. Aku memang pe
'Byur!'Air di tangan Sinta sudah tak bersisa. Ia kembali menyiram wajah Turmi dengan seenaknya. "Kayaknya, set*n di tubuhmu, belum keluar semua. Semoga setelah siraman ini, set*nnya keluar ya!" Sinta cekikikan melihat Turmi basah karena ulahnya. "Aku udah coba sabar, ya! Memang kurang ajar kamu!" maki Turmi melemparkan sendalnya dan tepat mengenai tubuh Sinta. 'Plak!'"Kembalikan itu, sendalku!" bentak Turmi meminta kembali sendalnya yang sudah berada di tangan Sinta. "Mau ini, noh ambil!" Sinta melemparkan sendal tersebut dengan sekuat tenaga, hingga mendarat di atas pohon asam tetangga samping rumahnya. "Hey, kok kamu buang sandalku? Itu sandal. kesayanganku," teriak Turmi dengan mata berkaca-kaca. "Duh, kasihan ... Ambil sana, kalau memang sendal kesayangan," tunjuknya ke atas pohon. "Enak saja! Kamu yang membuatnya nyangkut di pohon, maka harus kamu juga yang ambil!" serunya marah. "Ogah, ambil aja sendiri. Aku sibuk, nggak sempat ambil tuh sendal. Yuk, Ran, kita pergi se
"Dia duluan, Bu Kar, yang memulainya!" ucap Sinta menunjuk Turmi. Dadanya masih kembang kempis akibat pertengkaran hebat mereka.Aku sudah berada di samping Sinta. Sedangkan Turmi berdiri sendiri di dekat sepeda motornya. Para tetangga yang menonton kami, semua bersorak kecewa karena pertarungan dihentikan. Satu persatu mereka membubarkan diri. "Enak saja! Kamu duluan yang ngatain dan menghina bapakku. Makanya punya mulut itu dijaga!" ucap Turmi nyolot."Hey, aku bukan menghina. Tapi berbicara kenyataan. Makanya jadi orang itu jangan gatal. Tunangan orang masih aja di pepet. Bilang juga sama bapakmu, biar nggak deketin Bang Juna lagi!" Sinta juga ikutan nyolot. Mereka berdua kembali adu mulut. Aku hanya bisa menjadi penonton budiman saja. Biarkan saja mereka berdua berdebat sampai mulutnya berbuih. "Itu bukan urusanmu! Urusin saja hidupmu yang belum tentu arahnya itu!" Turmi menarik lengan bajunya sampai ke pundak dan menampilkan bulu ketiaknya yang seperti hutan belantara.Ihh,
"Aku marahnya sama Si Turmi. Kenapa coba dia dekati lelaki yang udah dekat sama orang lain. Padahal, masih banyak lelaki lain. Apa karena merasa cantik jadi kelakuannya begitu? Yang paling bikin emosi tuh, kalau laki-laki itu udah kecantol sama dia, pasti langsung ditinggalkannya. Berarti dia kan cuma mau membuktikan kalau dia adalah cewek paling cantik di sekolah dan bisa mendapatkan lelaki mana aja." Sinta nyerocos tanpa jeda. "Ya biarkan saja. Lelaki nggak baik memang pantasnya digitukan. Kalau lelaki yang serius suka dan sayang sama kamu, mau bagaimanapun godaannya. Pasti dia akan tetap memilih kamu.""Ish, kamu itu nggak ngerti, karena bukan kamu yang ada di posisi aku," ucap Sinta kesal. "Hmm, kamu yang nggak ngerti maksud aku. Udah lah, itu kan hanya masa lalu. Ke depannya pasti ada lelaki yang sayangnya tulus sama kamu, dan apa pun godaannya dia akan tetap setia.""Amin. Ya, walau pun sampai sekarang belum terlihat bentuknya.""Sabar aja. Tuhan itu, menciptakan manusia berpa
"Apa kamu bilang?" tanya Sinta pura-pura tak dengar. Aku yakin dia dengar, karena lelaki itu mengucapkannya dengan lantang. Pasti dia ingin memastikannya saja."Aku mau, kamu menjadi istriku!" ucapnya sekali lagi dengan lantang. "Wah, dilamar secara mendadak Sin. Kalau di buat judul FTV, Aku dilamar lelaki yang tertabrak sepeda motorku," ucapku, tertawa cekikikan.Mata lelaki itu langsung menatapku dan tersenyum samar. "Kayaknya, kamu harus cepat dibawa ke klinik. Mungkin karena habis jatuh terbentur, kamu jadi ngelantur." Sinta bersikap tak acuh. Dia berdiri sambil bersedekap.Tumben nih temanku satu ini bisa jual mahal. Biasanya kalau digodain laki-laki langsung seperti cacing kepanasan. Apalagi lelaki itu lumayan manis, kayak gulali. "Kalau hanya dibawa ke klinik, setelah selesai diobati, kamu akan lepas dari tanggung jawab. Jika sekalian menikah, maka kamu akan tanggung jawab selamanya. Jadi, aku nggak mau tau, pokoknya kita harus menikah. Kamu lihat lutut, siku, serta telapak