"Aku marahnya sama Si Turmi. Kenapa coba dia dekati lelaki yang udah dekat sama orang lain. Padahal, masih banyak lelaki lain. Apa karena merasa cantik jadi kelakuannya begitu? Yang paling bikin emosi tuh, kalau laki-laki itu udah kecantol sama dia, pasti langsung ditinggalkannya. Berarti dia kan cuma mau membuktikan kalau dia adalah cewek paling cantik di sekolah dan bisa mendapatkan lelaki mana aja." Sinta nyerocos tanpa jeda. "Ya biarkan saja. Lelaki nggak baik memang pantasnya digitukan. Kalau lelaki yang serius suka dan sayang sama kamu, mau bagaimanapun godaannya. Pasti dia akan tetap memilih kamu.""Ish, kamu itu nggak ngerti, karena bukan kamu yang ada di posisi aku," ucap Sinta kesal. "Hmm, kamu yang nggak ngerti maksud aku. Udah lah, itu kan hanya masa lalu. Ke depannya pasti ada lelaki yang sayangnya tulus sama kamu, dan apa pun godaannya dia akan tetap setia.""Amin. Ya, walau pun sampai sekarang belum terlihat bentuknya.""Sabar aja. Tuhan itu, menciptakan manusia berpa
"Apa kamu bilang?" tanya Sinta pura-pura tak dengar. Aku yakin dia dengar, karena lelaki itu mengucapkannya dengan lantang. Pasti dia ingin memastikannya saja."Aku mau, kamu menjadi istriku!" ucapnya sekali lagi dengan lantang. "Wah, dilamar secara mendadak Sin. Kalau di buat judul FTV, Aku dilamar lelaki yang tertabrak sepeda motorku," ucapku, tertawa cekikikan.Mata lelaki itu langsung menatapku dan tersenyum samar. "Kayaknya, kamu harus cepat dibawa ke klinik. Mungkin karena habis jatuh terbentur, kamu jadi ngelantur." Sinta bersikap tak acuh. Dia berdiri sambil bersedekap.Tumben nih temanku satu ini bisa jual mahal. Biasanya kalau digodain laki-laki langsung seperti cacing kepanasan. Apalagi lelaki itu lumayan manis, kayak gulali. "Kalau hanya dibawa ke klinik, setelah selesai diobati, kamu akan lepas dari tanggung jawab. Jika sekalian menikah, maka kamu akan tanggung jawab selamanya. Jadi, aku nggak mau tau, pokoknya kita harus menikah. Kamu lihat lutut, siku, serta telapak
"Kamu nggak kerja?" tanyaku penasaran. Karena setau aku, biasanya jika bekerja di rumah sakit, liburnya itu jarang banget. Kalau pun dia cuti, aku yakin sekali tidak akan diizinkan oleh ibu mertua dan suaminya. "Enggak. Aku lagi cuti. Ini mau belanjakan bahan kue untuk Ibu," jawabnya santai."Mau ada acara apa?" tanyaku lagi. "Nggak ada. Ibuku mau berjualan. Jadi aku lah yang membelanjakannya," jelasnya.Oh, jadi sekarang ibunya sudah berjualan. Syukur lah, bisa membantu perekonomian keluarganya. "Apa Jali nggak marah, kalau kamu nggak kerja?" tanyaku, karena tahu sifat suaminya seperti apa. "Kalau tau, ya, marah. Aku kan diam-diam cutinya. Setau dia aku kerja, karena tadi pagi pamitnya pergi kerja. Padahal aku datang ke rumah Ibu," jelasnya. "Sekarang kamu pintar cari alasan, ya!" candaku. "Iya, harus dong. Kalau nggak pintar-pintar, yang ada aku lah yang dibodohi mereka.""Bagus itu. Oh, ya, terus Ibu kamu jual kuehnya di mana?""Ditaruh di warung, jualan online juga. Aku yan
"Kamu juga tega sama aku. Masa main dorong aja. Kalau sampai aku cidera gimana? Batal nikah nanti aku," gerutuku kesal. Pernikahan tinggal menghitung hari, ada saja masalahnya. Turmi datang dengan segala dramanya lah, menabrak orang lah, masalah dengan Jali lah. Lengkap sudah hidup ini dengan masalah. Setelah ini, kira-kira akan ada masalah apa lagi menjelang pernikahan?"Iya, maaf. Gitu aja baper." Wajah Sinta sudah sangat lelah. Tak ada lagi keceriaan di sana. Padahal tadi, saat kuajak menjahitkan baju, dia begitu kegirangan dan bersemangat. Semua ini, pasti dikarenakan lelaki itu. "Mbak, ini suaminya udah selesai diobati," ucap bidan yang baru saja keluar dari bilik, menatap Sinta lekat."Suami siapa? Dia itu bukan suami saya Mbak. Sepertinya, habis tertabrak tadi, ot-aknya bermasalah. Apa dia nggak gegar otak, Mbak?" tanya Sinta penuh harap. "Enggak, kok. Cuma luka sedikit aja. Tapi tadi dia pesan, Mbaknya disuruh masuk, untuk bantu berjalan keluar. Saya sudah menawarkan diri
"Lari kemana? Kamu sendiri yang bilang tahu rumahku. Jadi, tak mungkin aku bisa lari dari tanggung jawab!" gerutu Sinta kesal. Mereka berdua kembali adu mulut. "Ah, pokoknya. Aku mau, kamu yang mengantarku sampai ke rumah titik!" kekeuh lelaki itu. "Akkkhhh, oke lah! Aku turuti semua ke mauanmu!" Sinta menghentakkan kakinya. "Kamu bawa sepeda motor sendiri ya, Ran. aku dan dia naik becak. Tapi tetap ikuti aku dari belakang." Sinta menyerahkan kunci sepeda motor padaku. Ia berjalan menjauh mencari becak tanpa menoleh pada lelaki itu sedikitpun. "Sebenarnya, apa mau kamu sih?" tanyaku kesal, saat kulihat Sinta sudah tidak terlihat lagi, karena terhalang mobil-mobil yang terparkir.Gara-gara dia, rencana kami jadi tertunda. Mana ribet lagi urusan dengan dia."Nggak ada. Aku cuma suka aja gangguin Sinta," ucapnya sambil tersenyum penuh misteri. "Kamu ini, siapa sih? Kenapa tahu nama Sinta sedangkan dia, nggak kenal sama kamu!" sungutku. Hampir saja kesabaranku habis dibuatnya. "Sin
"Tangan sama kaki Papa, kenapa?" tanya gadis kecil itu polos. Ia melihat lalu memegang tangan Danu dengan perlahan. Duh, anak yang manis. Nggak seperti Papanya, nyebelin. "Tadi, Papa terserempet sepeda motor tante itu," tunjuknya pada kami berdua yang sedang berdiri bersisian.Gadis kecil itu langsung memanyunkan bibirnya. Matanya melotot menatap kami. Dia seperti tidak suka dan marah kepada kami berdua. "Kenapa Tante serempet Papaku?" tanya gadis kecil itu ketus. Kedua tangannya ia lipat di depan dada. Nah, mulai kelihatan judesnya.Ternyata, buah jatuh memang tak jauh dari pohonnya. Aku pikir, dia anak manis yang akan bersikap lembut. "Tadi, mereka nggak sengaja sayang. Udah, ayo masuk," ucap Sang Papa sambil mengacak pucuk rambut gadis kecil tersebut. "Stttt, Yuni sedang bertanya pada mereka, bukan Papa. Jadi, Papa diam saja!" Gadis kecil itu sedikit membentak Papanya.Waduh, masih kecil begini sudah berani membentak orang tuanya Bagaimana lagi nanti kalau sudah dewasa? Jika
"Iya, Bu. Lain kali kami pasti hati-hati. Kami berdua mohon maaf, karena sudah membuat anak Ibu celaka," ujarku penuh sesal.Lebih baik merendah, agar lawan bicara Iba. Kalau terus merasa benar dan berbicara kasar, yang ada makin runyam urusannya. Mengalah, bukan berarti kalah.Menghadapi orang, tidak perlu dengan sok jagoan, jika dengan lemah lembut saja bisa. "Iya. Mau bagaimana lagi. Yang namanya naas, tidak bisa diprediksi. Kalian sudah mau bertanggung jawab dan mengantarkan anak saya pulang saja, saya sudah bersyukur. Saya tidak tahu mana yang salah, dan mana yang benar, karena tidak ada di tempat kejadian. Mungkin saja memang anak saya yang meleng tidak memperhatikan jalanan, atau memang kalian yang salah karena terlalu asyik berbicara. Jadi, saya tidak mau memperumit keadaan. Saya sudah memaafkan kalian, dan kalau bisa, maafkan juga anak saya karena sudah merepotkan kalian," ujar Ibunya Danu legowo. "Terimakasih, Bu. Sekali lagi, saya mohon maaf atas kejadian ini," ucapku ta
Mulai membodohi JaliPov Putri. "Kemana sepeda motor kamu. Kenapa pulang diantar orang?" tanya Bang Jali saat aku baru saja turun dari sepeda motor, diantar oleh tetangga samping rumah Ibu. Tidak menggunakan sepeda motorku, melainkan sepeda motor anak tetangga, karena agar Bang Jali dan keluarganya tidak curiga dengan rencana yang sudah kususun matang. Suamiku itu sedang duduk di teras. Seperti sedang menungguku pulang. Di hadapannya, juga terdapat secangkir kopi yang kuyakini sudah diminum. Aku sengaja minta diantar tetangga dan meninggalkan sepeda motorku di rumah, agar Ibu bisa mengantar pesanan kue. Meskipun Ibu tidak bisa mengendarai sepeda motor, tapi aku sudah berpesan pada David, anak tetangga samping rumah untuk mengantarkan Ibu atau pesanan kuenya kemana saja. Anak remaja itu setuju, asalkan diberikan upah tiap minggunya. "Ditahan sama orang Bang," jawabku berbohong. Hanya dengan cara ini, aku bisa membantu Ibu. Jika kukatakan padanya bila sepeda motor kutinggalkan d