Halo teman-teman ... terima kasih sudah setia membaca cerita Marisa, ya. Terus dukung author agar tetap semangat dengan memberi ulasan, vote, dan gem. Terima kasih, I love you all 🥰🥰🥰
"Risa, kemarin Mama temani Clara tes DNA. Hasilnya belum keluar. Tapi … feeling Mama tidak enak."Marisa terdiam mendengar cerita Bu Santi di telepon. Setelah berdamai dengan ibu mertuanya beberapa hari lalu, baru sekarang dia menerima telepon Bu Santi. Ada rasa canggung tapi Marisa mencoba menepisnya. "Kenapa tidak enak, Ma? Memangnya ada sesuatu yang dikatakan oleh Clara?" tanya Marisa."Enggak, sih. Justru karena dia gak mau menjawab semua pertanyaan Mama makanya perasaan Mama jadi tidak enak." "Maaf Ma Risa nggak paham maksud Mama." "Ah kamu ini diajak ngomong kok selalu gak nyambung," kata Bu Santi dengan nada kesal. "Maaf, Ma." Meskipun sebenarnya bukan salahnya tetapi Marisa memutuskan meminta maaf agar hubungannya dengan ibu mertuanya itu tetap baik-baik saja. Terdengar suara helaan nafas dari seberang. Marisa menduga Bu Santi pun tengah mencoba mengatur emosinya yang biasanya meledak-ledak. "Ya sudah gak apa-apa." "Mungkin Mama bisa cerita gimana awalnya kok Mama bisa a
"Marisa … Mama sudah tahu hasilnya!"Tanpa mengucapkan salam Bu Santi langsung saja menyampaikan maksudnya. "Hasilnya bagaimana, Ma?""Sepertinya kita harus bahas ini barengan dengan Papa. Tadi Mama izin sebentar ke toilet kalau terlalu lama, Clara bisa curiga." "Ya sudah kalau begitu, Ma. Marisa tunggu nanti sore." Marisa memandangi ponsel yang masih ada di tangannya setelah ibu mertuanya memutus sambungan telepon. Sebenarnya dia sangat ingin segera mengetahui hasilnya. Namun, dia juga menghormati keputusan ibu mertuanya yang ingin menyampaikannya di depan ayah mertua marisa. "Semoga saja janin yang ada dalam kandungan Clara bukan anak Mas Irawan," gumam Marisa. Meskipun Marisa hampir yakin janin itu bukan anak suaminya karena kondisi Irawan, tetapi masih ada kekhawatiran di dalam hatinya. "Tapi seandainya itu anaknya Mas Irawan sikap apa yang harus aku ambil? Akankah aku menerima anak itu? Lantas bagaimana posisi Clara? Itu berarti dia adalah maduku meski belum dinikahi o
"Kok kamu bisa bilang seperti itu! Kalau kamu mengandung anak lelaki lain. Itu artinya kamu berhubungan dengan banyak lelaki bukan hanya dengan Irawan. Jadi kamu bukan korban! Kamu juga pelaku yang melakukan dengan suka rela dan senang hati. Saya kecewa karena ternyata kamu betul-betul perempuan yang tidak punya martabat!" Bu Santi meradang. Matanya menatap Clara nyalang. Wajah Clara memerah mendengar kata-kata Bu Santi. Meski merasa marah, tetapi dia tidak berani membantah ucapan Bu Santi. Sebagai gantinya tubuhnya berbalik dan matanya menatap nyalang Marisa. Tangannya terangkat lalu menuding Marisa. "Kamu yang menyebabkan semua ini terjadi! Kamu harus bertanggung jawab atau kamu akan tahu rasa!"Marisa terkesiap mendapat tuduhan seperti itu dari Clara. "Hei … apa maksud kamu? Kenapa aku harus bertanggung jawab untuk ulahmu sendiri? Harusnya sebagai orang dewasa yang bisa berpikir kamu tahu resikonya pergaulan bebas! Jadi kalau kamu hamil di luar nikah itu salahmu sendiri!" Clara
"Maaf," ucap Dokter Harun kepada perempuan yang menabraknya. Dibesarkan dalam lingkungan agamis dan menjunjung tinggi adab membuat dokter berdarah Timur Tengah itu tetap meminta maaf meski sebenarnya perempuan seksi itulah yang menabraknya.Saat Dokter Harun ditabrak oleh Clara, mata mereka berdua sempat bersirobok. Namun, sang dokter segera mengalihkan pandangannya. Tatapan lekat perempuan itu yang menggoda membuatnya merasa tidak nyaman. Apalagi ketika melihat pakaian perempuan itu yang terbuka. Sang dokter pun mundur dan menundukkan pandangan, meski terdengar suara cemooh dari bibir merah perempuan itu. Setelah perempuan itu berlalu, mata Dokter Harun kembali terarah kepada keluarga pasiennya. Sempat mendengar ancaman dari perempuan tadi membuat Dokter Harun tidak merasa heran melihat wajah-wajah mereka terutama Marisa. Justru dia kagum dengan istri pasiennya itu yang tampak tegar, meski dia tidak bisa menutupi bulu matanya yang bergetar.Maaf … apa saya mengganggu? Atau sebai
"Kok aneh, sih. Mama jangan mulai lagi. Jangan suka menghakimi orang lain," tegur Pak Hartawan."Memang aneh, kok, dokter itu." Bu Santi tetap bersikeras dengan pendapatnya. Marisa menatap ibu mertuanya dengan heran. Dia tidak merasa Dokter Harun itu aneh. Namun, dia tidak berani bertanya. "Anehnya di mana? Coba Mama jelaskan karena Papa tidak melihat keanehan pada dokter itu," tanya Pak Hartawan.Bola mata Marisa membulat tak percaya mendengar kata-kata Pak Hartawan. Ternyata ayah mertuanya itu punya pemikiran yang sama dengan dia. Pertanyaannya pun mewakili rasa penasaran Marisa. Tatapan Marisa pun beralih kepada Bu Santi. Dia penasaran menunggu jawaban ibu mertuanya. "Masa sih Papa gak merasa aneh? Setahu Mama kalau dokter itu visit pasien ya menjelaskan kondisi pasien kepada keluarganya yang sedang menunggu. Langsung saat itu juga bukan malah disuruh datang ke ruangan praktiknya," jelas Bu Santi. Terdengar nada kesal dalam suaranya."Loh kan Dokter Harun sudah bilang kalau mal
"Itu kan menurut kamu. Menurut dokter itu tidak. Mama yakin dia tertarik kepadamu. Meski dia tahu kamu istri orang, dia tidak peduli dan tetap menyukai kamu!" Marisa terkesiap mendengar kata-kata Bu Santi. Dia tidak percaya dengan kesimpulan yang diambil oleh ibu mertuanya itu. "Kamu jangan mengada-ada, Ma. Mana mungkin Dokter Harun tertarik kepada menantu kita. Mestinya di usianya ini dia sudah menikah. Jadi pasti tidak mungkin pria beristri menyukai istri orang lain," bantah Pak Hartawan "Siapa bilang tidak mungkin? Banyak kok kejadian seperti itu. Lagipula dari mana Papa ambil kesimpulan dokter itu sudah menikah? Kalau dia masih lajang bagaimana? Karena kalau tidak salah dengar para perawat menggosipkan dia sebagai high quality jomlo." Marisa terbelalak mendengar informasi yang dibawa oleh ibu mertuanya itu. Dia kembali dibuat terkejut oleh fakta yang muncul tentang Dokter Harun. Benaknya bertanya-tanya manakah berita yang dapat dia percaya? "Maaf, Ma, Marisa tidak perca
"Ada apa sebenarnya? Kenapa Dokter Harun terkesan mengusir semua orang hanya untuk berbicara denganku? Begitu pentingnya kah isi pembicaraan kami hingga dia melakukan hal itu?" gumam Marisa. Wajar saja Marisa tidak bisa menyembunyikan rasa herannya. Baru saja dia mendengar perawat Dokter Harun memberitahukan kepada kedua lelaki yang duduk tak jauh darinya bahwa dokter spesialis jantung itu tidak bisa menemui mereka. Padahal mereka sudah lebih dahulu ada di ruang tunggu dokter daripada Marisa. Saat ini mata Marisa tidak lepas mengamati kedua lelaki yang dia duga adalah detailer obat. Mereka terlihat berusaha memprotes pemberitahuan dadakan tersebut dengan menunjukkan beberapa brosur obat yang sudah disiapkan. Namun sayangnya protes mereka sia-sia. Pada akhirnya kedua lelaki itu terpaksa pasrah menerima keputusan sang dokter. "Ibu Marisa, silakan masuk. Sudah ditunggu oleh Dokter Harun," pinta perawat. Marisa berdiri dari kursi dan melangkah menuju pintu ruang praktik. Dia mele
"Maksud dokter … keluarga saya berbeda dengan keluarga pasien dokter lainnya itu bagaimana, ya, Dok?" Marisa menatap mata Dokter Harun yang hitam pekat. Tatapannya lekat yang mengisyaratkan permintaan yang tak ingin dibantah. "Sekali lagi maaf, Bu Marisa. Sejak saya bertemu dengan kedua orang tua Pak Irawan selalu ada drama di sekitar mereka. Tidak pernah saya jumpai suasana tenang dan tidak ada drama. Pertengkaran dan keributan selalu mewarnai kedua mertua Bu Marisa itu. Terakhir kemarin sewaktu saya bertabrakan dengan tamu perempuan di pintu ruang VVIP. Saya merasakan aura ketegangan di ruangan. Saya juga mendengar ancaman yang tamu itu lontarkan ketika dia pergi." Dokter Harun menghentikan ucapannya. Doktwr Harun lalu menghela napas sambil mengamati reaksi Marisa. Namun, melihat perempuan yang duduk di depannya itu hanya diam, dia kembali melanjutkan kata-katanya, "Saya khawatir drama-drama itu mempengaruhi kondisi psikologis Pak Irawan dan membuatnya tidak punya keinginan untuk