Hai ... hai ... Terima kasih sahabat-sahabat Marisa sudah setia menemani Marisa sampai sekarang ini. Maafkan saya kalau update belum bisa setiap hari. Mohon bantuan vote dan gem, ya. Terima kasih banyak. Love You all 🥰🥰🥰
"Apa maksud Dokter? Bagaimana bisa masa kritis belum berlalu? Apakah kondisi anak saya bisa kembali gawat?" Bu Santi memberondong Dokter Harun. Dia bertanya dengan nada panik. Dokter Harun menghela napas berat. "Sebagai dokter, saya tentu ingin bilang kepada keluarganya bahwa masa kritis pasien sudah berlalu. Kondisinya sekarang stabil dan akan segera sembuh. Namun, sayangnya saya tidak bisa memberikan kepastian itu." Wajah Bu Santi memucat. Marisa pun menyusut air mata yang mulai menggenang di pelupuk matanya mendengar penjelasan Dokter Harun. Mereka menatap Dokter Harun lekat menunggu ucapan selanjutnya. "Kondisi Pak Irawan memang saat ini sudah stabil. Akan tetapi belum seratus persen. Apa pun bisa terjadi sesuai kehendakNya. Jadi sekarang yang bisa keluarga lakukan adalah doa. Karena ikhtiar sudah ditunaikan maka selanjutnya adalah memohon kesembuhan kepada Sang Pemilik Jiwa. Apakah sudah melakukan saran saya kemarin, Bu Marisa?" Dokter Harun melirik Marisa dengan pandangan b
"Laila," bisik Marisa ketika melihat layar ponselnya yang sedang berdering. Ada apa perempuan yang dia minta menjaga suaminya itu menelepon? batin Marisa yang merasa heran. Benak Marisa seketika membayangkan hal yang buruk ketika melihat nama Laila di layar ponselnya. Selama ini perempuan yang bertugas menjaga suaminya itu tidak pernah meneleponnya. Jantung Marisa mulai berdebar dengan kencang. Keringat dingin pun muncul tanpa bisa dia cegah. Marisa segera menekan tombol hijau pada ponselnya. Namun, belum sempat dia menyapa, dari seberang terdengar suara Laila. Jantung Marisa berdetak semakin kencang mendengar nada suara terbata-bata dari seberang"Bu Marisa … Pak Irawan …." "I-i-ya … ke-napa? Su-suami saya?" Tangan Marisa memegang erat pinggiran mejanya di ruang guru. Dia berusaha sekuat tenaga menahan agar tubuhnya yang gemetaran tidak merosot ke lantai. "I-iya, Bu. Sepertinya Ba-bapak mulai sadar." Suara Laila masih terbata-bata, tetapi bukan karena cemas seperti yang di
"Berbeda? Maksud Dokter apa? Berbeda bagaimana, Dok?" desak Marisa menuntut jawaban. Dokter yang 5 paruh baya itu menatap Marisa. Bola matanya melebar sesaat pertanda dia kaget dengan nada suara Marisa yang sedikit tinggi. Namun, dia tidak marah dan justru tersenyum lembut. "Baik, Bu saya jelaskan. Mungkin Ibu sedikit lupa. Jadi, suami Ibu mengalami koma karena kecelakaan yang menyebabkan cedera otak. Dulu, kami sudah melakukan pemeriksaan lengkap untuk mengetahui seberapa luas area otak yang mengalami kerusakan dan seberapa luas area otak yang masih bisa berfungsi. Kami pun sudah menunjukkan hasilnya kepada Ibu, betul?" Marisa mengangguk sebagai jawaban atas pertanyaan dokter itu. Dokter yang duduk di depan Marisa tersenyum samar sebelum melanjutkan, "Kami pun sudah melakukan pengobatan dan perawatan sesuai SOP. Pak Irawan diberikan nutrisi yang dibutuhkan tubuhnya. Perawat melakukan upaya mencegah terjadinya infeksi dan menggerakkan tubuh pasien secara rutin demi menghindari te
"Sa-saya ada di mana? Dan kamu siapa?" Wajah Irawan terbengong-bengong menatap Marisa.Marisa menghembuskan napas keras. Meski sudah mendapatkan peringatan dari dokter, tetapi tak urung hatinya diliputi kesedihan. Sampai kapan ujian ini akan berakhir? batinnya. Dokter Andi memberi isyarat Marisa untuk menjawab apa adanya. "Kamu di rumah sakit, Mas. Waktu itu kamu mengalami kecelakaan dan koma, jadi kamu dirawat di sini." "Koma? Kecelakaanku parah, ya?" Irawan menatap lekat Marisa. Dia masih belum mengenali siapa perempuan cantik bermata hazel yang menatapnya khawatir ini. "Iya, Mas kecelakaanmu parah tapi Alhamdulillah kamu sekarang sudah sadar." Marisa tersenyum sambil mengelus lengan suaminya. "Lalu … kamu siapa?" tanya Irawan sambil memindai seluruh wajah Marisa. Dia masih berusaha mengingat wajah perempuan di depannya ini. "Aku istrimu, Mas." "Istri?" Pupil mata Irawan melebar mendengar jawaban Marisa. Dia memindai wajah Marisa untuk mencari tanda-tanda kebenaran ucapan per
"Apa maksudmu, Mas!" pekik Marisa. Perasaannya tidak enak mendengar kata-kata Irawan. Dia merasa suaminya itu sedang menuduhnya. "Coba kamu pikir! Apa alasannya aku bisa mengingat wajah kedua orang tuaku sementara aku melupakan wajahmu. Kamu itu istriku. Bukan orang lain! Harusnya wajahmu adalah wajah yang paling aku ingat bukan aku lupakan!" Irawan tampak emosional. Dia bahkan sampai terengah-engah ketika selesai berbicara. "Apa kamu melakukan kesalahan kepadaku? Atau jangan-jangan kamu yang menyebabkan aku mengalami kecelakaan?" tuduh Irawan tanpa tedeng aling-aling.Mata Marisa terbelalak mendengar tuduhan keji dari Irawan. "Mas, teganya kamu!" jeritnya. Air matanya pun mulai merebak menggenangi kelopak matanya. "Irawan! Kenapa kamu sekeji itu menuduh istrimu?" tegur Pak Hartawan. "Aku nggak nuduh, Pa. Aku tanya karena keheranan. Memangnya aku salah? Aku ini lupa ingatan, Pa. Bukan gila!" "Justru karena kamu nggak gila kenapa kamu melempar tuduhan ngawur ke istrimu?" sergah P
"Loh, Marisa. Kamu kenapa nangis?" Sebuah tangan yang kuat memegang tubuh Marisa yang sempat oleng. Marisa mengangkat wajahnya. Dari pandangannya yang memburam dia bisa melihat bahwa dirinya mengenal orang yang ditabraknya saat berlari tadi. "Mas Rian?" Marisa bertanya untuk memastikan bahwa dia tidak salah mengenali seseorang yang ada di depannya ini."Iya, ini aku. Kamu kenapa lari sambil nangis? Apa yang terjadi? Katakan, Risa," desak Rian. "Ma-mas I-ra-wan …." Marisa menjawab terbata-bata. "Kenapa dengan Irawan? Kondisinya gawat? Dia kritis?" tanya Rian beruntun. Marisa menggeleng.Rian jadi bingung melihat respon Marisa. Tiba-tiba jantungnya berdetak lebih cepat. Pikiran buruk langsung menghampirinya. Matanya memindai wajah adik sepupu itu yang berurai air mata. Dia bertanya dengan hati-hati, "Apa Irawan meninggal dunia?"Marisa kembali menggeleng dan membuat Rian semakin kebingungan. "Lantas, kenapa? Apa yang membuat kamu menangis?" "Mas Irawan sudah sadar," ucap Marisa s
"Apa kamu bilang, Ris? Irawan benar-benar sudah gila menuduh istrinya sendiri seperti itu! Kalau tahu hidupmu menderita seperti ini, aku nggak bakalan ngelepasin kamu ke Irawan. Lebih baik aku berjuang agar kamu terus ada di sisiku."Marisa menautkan alisnya mendengar ucapan kakak sepupunya yang terdengar aneh itu. "Apa maksudmu, Mas?""Kamu itu nggak layak bersanding dengan Irawan, Ris!""Bukan itu, Mas! Apa maksud Mas Rian dengan kata-kata 'Lebih baik aku berjuang agar kamu terus ada di sisiku'? Bukankah meski Risa sudah menikah, tetapi Risa tidak pernah meninggalkan Mas Rian? Bagi Risa Mas Rian itu bukan hanya kakak sepupu, tapi juga sahabat terbaik Risa. Jadi mana mungkin Risa menjauh dari sisi Mas Rian?"Bola mata Rian memindai wajah Marisa. Lelaki itu seperti mencari sebuah tanda di raut muka adik sepupunya. Namun, tatapannya berubah muram manakala dia tidak menemukan pertanda itu. "Apa kamu selama ini tidak pernah merasakannya, Ris?" tanya Rian, dengan suara bergetar."Merasaka
"Ma! Jangan asal tuduh!" Secepat kilat Marisa menoleh dan membantah suara bentakan dari Bu Santi itu."Siapa yang asal tuduh? Ternyata firasat anakku itu benar. Sekarang kamu harus mengaku! Katakan kepada Mama apa yang kamu lakukan kepada Irawan sehingga suami kamu itu lupa kepadamu?" Mata Marisa mengembun mendengar tuduhan Bu Santi. Dia menatap ibu mertuanya itu dengan tatapan yang penuh emosi. Hatinya terasa dicabik-cabik antara marah dan terluka. Baru beberapa hari lalu mereka berbaikan dan hidup bahagia sebagai mertua dan menantu. Sekarang dengan mudahnya ibu mertuanya itu kembali melontarkan tuduhan yang tidak berdasar. "Harus berapa kali Risa katakan, Ma? Risa tidak melakukan apa pun kepada Mas Irawan. Risa pun bingung dan sedih karena Mas Irawan lupa bahwa Risa adalah istrinya." "Orang itu biasanya melupakan sesuatu yang membuatnya marah atau terluka. Jadi kalau anakku melupakan kamu, itu artinya kamu sudah melakukan sesuatu yang membuatnya marah dan kecewa." Bu Santi kemba