"Berbeda? Maksud Dokter apa? Berbeda bagaimana, Dok?" desak Marisa menuntut jawaban. Dokter yang 5 paruh baya itu menatap Marisa. Bola matanya melebar sesaat pertanda dia kaget dengan nada suara Marisa yang sedikit tinggi. Namun, dia tidak marah dan justru tersenyum lembut. "Baik, Bu saya jelaskan. Mungkin Ibu sedikit lupa. Jadi, suami Ibu mengalami koma karena kecelakaan yang menyebabkan cedera otak. Dulu, kami sudah melakukan pemeriksaan lengkap untuk mengetahui seberapa luas area otak yang mengalami kerusakan dan seberapa luas area otak yang masih bisa berfungsi. Kami pun sudah menunjukkan hasilnya kepada Ibu, betul?" Marisa mengangguk sebagai jawaban atas pertanyaan dokter itu. Dokter yang duduk di depan Marisa tersenyum samar sebelum melanjutkan, "Kami pun sudah melakukan pengobatan dan perawatan sesuai SOP. Pak Irawan diberikan nutrisi yang dibutuhkan tubuhnya. Perawat melakukan upaya mencegah terjadinya infeksi dan menggerakkan tubuh pasien secara rutin demi menghindari te
"Sa-saya ada di mana? Dan kamu siapa?" Wajah Irawan terbengong-bengong menatap Marisa.Marisa menghembuskan napas keras. Meski sudah mendapatkan peringatan dari dokter, tetapi tak urung hatinya diliputi kesedihan. Sampai kapan ujian ini akan berakhir? batinnya. Dokter Andi memberi isyarat Marisa untuk menjawab apa adanya. "Kamu di rumah sakit, Mas. Waktu itu kamu mengalami kecelakaan dan koma, jadi kamu dirawat di sini." "Koma? Kecelakaanku parah, ya?" Irawan menatap lekat Marisa. Dia masih belum mengenali siapa perempuan cantik bermata hazel yang menatapnya khawatir ini. "Iya, Mas kecelakaanmu parah tapi Alhamdulillah kamu sekarang sudah sadar." Marisa tersenyum sambil mengelus lengan suaminya. "Lalu … kamu siapa?" tanya Irawan sambil memindai seluruh wajah Marisa. Dia masih berusaha mengingat wajah perempuan di depannya ini. "Aku istrimu, Mas." "Istri?" Pupil mata Irawan melebar mendengar jawaban Marisa. Dia memindai wajah Marisa untuk mencari tanda-tanda kebenaran ucapan per
"Apa maksudmu, Mas!" pekik Marisa. Perasaannya tidak enak mendengar kata-kata Irawan. Dia merasa suaminya itu sedang menuduhnya. "Coba kamu pikir! Apa alasannya aku bisa mengingat wajah kedua orang tuaku sementara aku melupakan wajahmu. Kamu itu istriku. Bukan orang lain! Harusnya wajahmu adalah wajah yang paling aku ingat bukan aku lupakan!" Irawan tampak emosional. Dia bahkan sampai terengah-engah ketika selesai berbicara. "Apa kamu melakukan kesalahan kepadaku? Atau jangan-jangan kamu yang menyebabkan aku mengalami kecelakaan?" tuduh Irawan tanpa tedeng aling-aling.Mata Marisa terbelalak mendengar tuduhan keji dari Irawan. "Mas, teganya kamu!" jeritnya. Air matanya pun mulai merebak menggenangi kelopak matanya. "Irawan! Kenapa kamu sekeji itu menuduh istrimu?" tegur Pak Hartawan. "Aku nggak nuduh, Pa. Aku tanya karena keheranan. Memangnya aku salah? Aku ini lupa ingatan, Pa. Bukan gila!" "Justru karena kamu nggak gila kenapa kamu melempar tuduhan ngawur ke istrimu?" sergah P
"Loh, Marisa. Kamu kenapa nangis?" Sebuah tangan yang kuat memegang tubuh Marisa yang sempat oleng. Marisa mengangkat wajahnya. Dari pandangannya yang memburam dia bisa melihat bahwa dirinya mengenal orang yang ditabraknya saat berlari tadi. "Mas Rian?" Marisa bertanya untuk memastikan bahwa dia tidak salah mengenali seseorang yang ada di depannya ini."Iya, ini aku. Kamu kenapa lari sambil nangis? Apa yang terjadi? Katakan, Risa," desak Rian. "Ma-mas I-ra-wan …." Marisa menjawab terbata-bata. "Kenapa dengan Irawan? Kondisinya gawat? Dia kritis?" tanya Rian beruntun. Marisa menggeleng.Rian jadi bingung melihat respon Marisa. Tiba-tiba jantungnya berdetak lebih cepat. Pikiran buruk langsung menghampirinya. Matanya memindai wajah adik sepupu itu yang berurai air mata. Dia bertanya dengan hati-hati, "Apa Irawan meninggal dunia?"Marisa kembali menggeleng dan membuat Rian semakin kebingungan. "Lantas, kenapa? Apa yang membuat kamu menangis?" "Mas Irawan sudah sadar," ucap Marisa s
"Apa kamu bilang, Ris? Irawan benar-benar sudah gila menuduh istrinya sendiri seperti itu! Kalau tahu hidupmu menderita seperti ini, aku nggak bakalan ngelepasin kamu ke Irawan. Lebih baik aku berjuang agar kamu terus ada di sisiku."Marisa menautkan alisnya mendengar ucapan kakak sepupunya yang terdengar aneh itu. "Apa maksudmu, Mas?""Kamu itu nggak layak bersanding dengan Irawan, Ris!""Bukan itu, Mas! Apa maksud Mas Rian dengan kata-kata 'Lebih baik aku berjuang agar kamu terus ada di sisiku'? Bukankah meski Risa sudah menikah, tetapi Risa tidak pernah meninggalkan Mas Rian? Bagi Risa Mas Rian itu bukan hanya kakak sepupu, tapi juga sahabat terbaik Risa. Jadi mana mungkin Risa menjauh dari sisi Mas Rian?"Bola mata Rian memindai wajah Marisa. Lelaki itu seperti mencari sebuah tanda di raut muka adik sepupunya. Namun, tatapannya berubah muram manakala dia tidak menemukan pertanda itu. "Apa kamu selama ini tidak pernah merasakannya, Ris?" tanya Rian, dengan suara bergetar."Merasaka
"Ma! Jangan asal tuduh!" Secepat kilat Marisa menoleh dan membantah suara bentakan dari Bu Santi itu."Siapa yang asal tuduh? Ternyata firasat anakku itu benar. Sekarang kamu harus mengaku! Katakan kepada Mama apa yang kamu lakukan kepada Irawan sehingga suami kamu itu lupa kepadamu?" Mata Marisa mengembun mendengar tuduhan Bu Santi. Dia menatap ibu mertuanya itu dengan tatapan yang penuh emosi. Hatinya terasa dicabik-cabik antara marah dan terluka. Baru beberapa hari lalu mereka berbaikan dan hidup bahagia sebagai mertua dan menantu. Sekarang dengan mudahnya ibu mertuanya itu kembali melontarkan tuduhan yang tidak berdasar. "Harus berapa kali Risa katakan, Ma? Risa tidak melakukan apa pun kepada Mas Irawan. Risa pun bingung dan sedih karena Mas Irawan lupa bahwa Risa adalah istrinya." "Orang itu biasanya melupakan sesuatu yang membuatnya marah atau terluka. Jadi kalau anakku melupakan kamu, itu artinya kamu sudah melakukan sesuatu yang membuatnya marah dan kecewa." Bu Santi kemba
"Untuk apa kamu mengurusku? Bukankah lebih baik aku tetap koma atau kalaupun sadar pasti kamu lebih suka melihatku lumpuh." Terdengar suara bernada ketus dari arah kasur Irawan. Selama lima tahun usia pernikahannya dengan Irawan, suaminya itu tidak pernah berkata kasar. Jadi, ketika pertama kali mendengar tuduhan dengan nada kasar dari suaminya membuat hati Marisa bak disayat sembilu. "Kenapa kamu berkata seperti itu, Mas?" tanya Marisa dengan suara bergetar. Dia melangkah perlahan menghampiri suaminya."Tidak cukupkah kamu tadi menuduhku jadi penyebab kecelakaan? Kenapa sekarang kamu menambah dengan tuduhan lain? Aku ini istrimu, Mas. Mana mungkin aku menginginkan kamu celaka? Sebaliknya aku sangat ingin melihatmu kembali sehat." Marisa menghela napas dan menatap Irawan yang masih mengabaikannya. "Jadi, tolong aku, Mas. Kamu sekarang ini boleh melupakan aku, tapi jangan menuduhku yang tidak-tidak. Tuduhan itu membuat hatiku sakit." Air mata menggenangi pelupuk mata Marisa setela
"Pak Irawan mengamuk, Bu!""Loh kenapa? Nggak mungkin, kan tiba-tiba suami saya mengamuk?" Marisa bertanya dengan panik."Bapak memaksa untuk keluar dari rumah sakit sekarang juga, Bu. Gimana nih, Bu?" Suara Laila yang gemetar menandakan dia pun tak kalah paniknya dengan Marisa. "Belum boleh! Kan nggak ada izin dokter," sahut Marisa. Dalam hati dia bingung juga sikap suaminya yang jadi seperti anak kecil. "Saya juga sudah bilang seperti itu, Bu, tapi Bapak nggak mau ngerti. Makanya saya telpon Ibu karena saya bingung. Saya tidak tahu harus melakukan apa lagi sekarang.""Hubungi suster aja. Saya tidak mungkin balik ke rumah sakit lagi." Lama-lama Marisa merasa kesal dengan ulah suaminya. Belum hilang rasa sakit hatinya karena tuduhan Irawan, sekarang suaminya itu bertingkah layaknya anak kecil sedang ngambek. "Iya, Bu. Tadi saya sudah tekan tombol memanggil perawat. Ini perawatnya baru datang. Ada Dokter Harun juga mau visit. Sudah dulu,vya, Bu." Suara panik Laila tadi sekarang mula