“Aku sungguh bodoh,” gerutu Jean.
["Ya, kau benar-benar bodoh. Bagaimana tidak? Kau dengan mudahnya percaya apa saja perkataanku."]Perkataan Juli cukup menusuk di dada. Jean tidak menyangkal dan sekarang hanya terdiam seribu kata. Tidak berniat mengatakan apa pun lagi dan hendak mematikan telepon tapi pria itu lagi-lagi mengatakan hal yang membuat Jean semakin marah.[" .... seandainya begitu, kau tahu 'kan? Itu cukup menarik."]“Apa katamu?” Jean tidak begitu mendengar ucapannya, sehingga bertanya.["Tadinya aku berniat menuntutmu. Terkecuali dengan Arum. Jika kau benar membunuh anakku maka aku akan menuntut tapi setelah dipikir itu sedikit mustahil."]“Aku tegaskan sekali lagi. Kenapa kau seolah-olah berharap dia mati?”["Karena aku tidak butuh."]Kata-kata yang cukup sombong dilontarkan, Julvri mengatakannya tanpa ragu dan Jean begitu terkejut hingga sulit mengontrol emosi.“Dasar pembunuh! Dia iRumah yang sepertinya sudah ditinggal selama beberapa hari itu memperlihatkan dengan jelas akan jejak tersisa. Baik itu di dalam rumah maupun di perkarangan, namun Jean merasa ini aneh. “Kenapa rumah ini harus ditinggal? Kenapa mereka melakukan itu?”“Tentu saja karena dia sudah ketahuan olehmu. Yah, walaupun di satu sisi dia juga bermaksud melakukan sesuatu untuk membalas perbuatanmu.”Temannya menyahut. “Han, aku juga tahu tentang hal itu, tapi tetap saja ini terasa aneh.”“Kenapa begitu?” Temannya bernama Han itu bertanya. Jean melirik sinis, lalu berpaling dan mengambil beberapa langkah tuk menyusuri setiap sudut di rumah ini. Ia memberi suatu kode dengan mengangkat dagu agar Han mengikutinya. “Sebenarnya kita ini sedang berhadapan dengan siapa sih?” gumam Han. Tidak ada untungnya mengeluh, menggerutu, ataupun malas saat ini juga. Lantaran penyelidikan yang mereka lakukan sudah termasuk pelanggaran, mengingat Jea
Di rumah mertua, kamar pasutri muda yang akhirnya memiliki anak di dalam kandungan. Suasana terasa tenang sejenak namun tidak setelah Arum terbangun, mendapati Julvri ada di depan mata, secara spontan Arum langsung mengubah posisinya jadi duduk dan menjauhkan diri dari pria itu. “Kenapa takut?” Julvri bertanya bukan karena memang tidak tahu melainkan karena merasa seru rasa begitu mendapati ekspresi terkejut sang istrinya. Arum tidak menjawab, ia memalingkan wajah dan tak berniat melakukan sesuatu selain hanya terdiam di tempat. Julvri mendekatkan dirinya dan Arum semakin menjaga jarak. Setiap kali Julvri seperti itu maka Arum selalu bersiap siaga tuk menghindari kontak fisik apalagi tatapan darinya.“Ya ampun, kamu seperti sedang melihat sesuatu yang menyeramkan saja,” ucap Julvri seraya menggelengkan kepala. Selang beberapa saat pria itu sadar akan sesuatu.“Oh, benar! Kamu menganggapku menyeramkan 'kan? Kalau begitu pantas saja seja
Suara keras yang berasal dari kamar lantai dua mengagetkan hampir semua orang yang berada di dalam rumah itu. Baik itu bibi atau bahkan Ibu dan Ayah mertua juga. Mereka sangat terkejut karena tidak biasanya mendengar suara bantingan sekeras itu. “Ada apa ini sebenarnya?” tanya ibu seraya melirik suaminya. Menatap heran sekaligus bingung.Ayah menggelengkan kepala, tidak mengerti jelas kenapa tapi firasatnya buruk. “Lebih baik kita segera ke sana.”Mendengarkan saran darinya, kemudian mereka bergegas pergi menuju lantai dua dan begitu terkejutnya saat membuka pintu ruangan dan melihat ruangan itu bagai kapal pecah. Di sudut dekat jendela, beberapa barang di sana tergeletak berantakan. “Arum, Julvri!” Ibunya memanggil cemas. Kursi berada jauh dari meja rias yang terlihat beberapa kosmetik dan lainnya berhamburan pecah ke mana-mana. Tidak hanya itu bahkan selimut di atas ranjang saja berantakan. Saking terkejutnya ibu
Pernikahan adalah hal yang paling membahagiakan bagi setiap pasangan. Tak terkecuali dengan Arum dan Julvri yang saling mengikat janji suci di hadapan banyak saksi. Senyum merekah manis bak kelopak bunga yang tumbuh cantik, wajah sang pengantin pun terlihat begitu berkilau. Seharusnya begitu. Iya, seharusnya seperti itu. Setelah menikah mereka akan hidup bahagia. Itu adalah harapan terbesar Arum sebagai seorang wanita biasa yang menikah dengan sosok lelaki sukses dan kaya raya. Hingga ucapan sang dukun membuat hati Arum bergetar. “Suami kamu bukanlah orang yang baik. Suatu saat pasti, dia akan membunuhmu.”***Kali pertama berjumpa dengannya adalah ketika berada di halaman parkir sebuah universitas. Arum dan Julvri saling bertukar tatap satu sama lain di tengah kerumunan para mahasiswa. Awalnya hanya berupa ketidaksengajaan namun lama-lama keduanya ingin saling berjumpa kembali. Saling mengetahui latar belakang, kelebihan serta kekurangan masing-masing. Kedua insan itu pun mulai be
“Suamimu akan membunuhmu.”Kata demi kata yang diucapkan oleh nenek dukun itu terngiang-ngiang dalam benaknya. Malam ketika ingin meredakan amarah, tiba-tiba saja mendengar Julvri mengucapkan hal tak masuk akal. 'Apa katanya?' batin Arum dengan masih memejamkan mata. “Istriku terlalu berisik tapi pesonanya sungguh luar biasa. Aku berharap dia hanya akan dipandang dan disentuh olehku saja. Tidak boleh ada orang lain di antara kami,” tuturnya. Dipikir bagaimanapun perkataan Julvri terdengar seperti obsesinya pada sang istri. Arum pun sadar ada yang salah dengan suaminya itu tapi ia tak harus menanggapinya seperti apa dan kalimat dukun tersebut pula terus teringat setiap detik.Kecemasannya itu berlanjut hingga matahari telah terbit. Ia sengaja terlambat bangun sampai suaminya keluar dari kamar terlebih dahulu, lantas Arum mulai memikirkan suatu cara. “Perkataannya tidak normal. Itu tidak seperti Julvri yang aku kenal. Dia orang baik dan begitu pengertian padaku, dia menghormati wanit
Wanita berambut hitam panjang itu akhirnya membuka kedua mata dengan jelas, sembari menerima ocehan demi ocehan dari Ibu mertua, Arum lekas membuka koper dan mulai melipat bajunya ke dalam. “Aku tidak sudi menerima menantu hama sepertimu!” Begitulah kata-kata terakhir dari Ibu mertua sebelum keluar dari kamarnya. Sementara Julvri membuntuti Ibunya untuk membujuk. Tidak berselang lama kemudian, bibi yang merupakan pembantu di rumah ini menghampiri Arum. Tetap berdiri di luar pintu kamar sembari menanyakan bagaimana kondisi Arum.“Apa Neng Arum tidak apa-apa? Nyonya besar tidak bermaksud begitu. Saya yakin ini demi kebaikan dirimu.”“Bibi ...”Pelan, bibir yang bergetar itu menyebut. Lantas menoleh ke belakang dengan ekspresi memelas. Terlihat arah tatapannya tidak tertuju pada bibi melainkan lantai, ada perasaan takut serta cemas dalam diri Arum. Setidaknya bibi merasakan kondisinya yang seperti itu.“Neng ... bibi dulu yakin kamu itu bangun pagi-pagi sekali. Kamu pintar masak, beb
Semenjak ucapan dukun dan kalimat Julvi di malam yang sama, Arum dibuat kebingungan serta kebimbangan dalam hatinya yang kecil. Perasaan ragu dan menghindari sang suami perlahan sadar tindakannya semakin terlihat jelas dan membuat Julvri sendiri khawatir. Membuat ia begitu paranoid sampai kesulitan mengendalikan diri. Meski begitu upayanya untuk pergi masih ingin dilakukan sampai kehidupannya akan benar-benar terjamin aman. Datanglah hari libur yang dibanggakan semua orang. Ibu dan ayah mertua akan pergi berjalan-jalan sendiri, sebut saja kencan di masa tua mereka. Ibu mertua menitipkan pesan pada Arum untuk membuatkan makan malam nanti. Arum yang hanya sekadar menantu tak berguna ini pun hanya bisa mengangguk dan menjawab iya. “Arum, tidak perlu dipaksa jika memang tidak bisa atau tidak ingin membuatkan makan malam. Nanti biar bibi saja, bibi juga belum juga pulang,” ucap Julvri menatap sedih seraya mengenggam punggung tangan Arum yang terdiam duduk di kursi sofa.“Tidak apa Julvr
Menyambut pagi hari yang begitu cerah, langit kebiruan tanpa awan, burung-burung berkicauan dan udara yang sejuk ini terasa seperti fana. Sesuatu yang seolah bukan berasal dari dunia ini. Seorang wanita muda yang melihat semua keindahan itu di balik jendela pun menghela napas panjang. “Apa yang sebenarnya aku lakukan di sini?”Dirinya bertanya-tanya apa saja yang sebenarnya ia lakukan. Ia merasa aneh entah sejak kapan. Mungkin saja karena perkataan dari dukun itu. Semakin dipikirkan semakin membuat resah saja. Wanita itu lantas menghela napas untuk yang kedua kalinya. “Ha ... baiklah. Aku jadi aneh sekarang,” pikir Arum seraya bersandar pada kusen jendela. “Arum?” panggil sang suami yang kemudian masuk ke dalam kamar. “Itu ternyata kamu. Kupikir siapa.”“Hari ini hari libur. Kamu mau pergi ke mana? Perlukah kita berjalan-jalan atau ke suatu tempat yang kamu inginkan?” tanya Julvri, duduk di tepian ranjang dan tersenyum.“Aku rasa tidak perlu.” Arum hanya menjawab singkat lantara