Siang hari yang begitu panas namun Arum merasakannya dingin. Hal tidak wajar selalu berada di sekelilingnya.
“Arum,” ucap Julvri memanggilnya dengan suara pelan seraya ia mengulurkan tangannya.
Bersamaan dengan pintu terbuka, Ibu mertua muncul di sana. Arum terkejut dengan mata terbelalak, lantas beranjak dari kasur dan berlari kecil tuk menghampirinya.
“Ibu mertua!” seru Arum memanggilnya, suaranya sedikit sumbang. Kemudian memeluk mertuanya itu dengan erat seakan-akan ada seseorang yang mengejar.
“Hei, hei, ada apa ini?” Ibu mertua bertanya lantaran ia bingung karena begitu masuk Arum sudah bermanja seperti ini.
“Ibu, aku ingin memelukmu. Sekali ini saja,” pinta Arum.
Pelukannya semakin erat, Arum terlihat sangat ketakutan tapi Ibu berpikir itu hanya asumsi berlebihan saja. Julvri
Senyum terukir di wajah Julvri sementara tatapan tajam dari Arum menyambutnya. Hubungan mereka sudah berbanding terbalik dari biasanya. Tidak ada kehangatan yang tersisa, selain rasa cinta yang membara diselingi kebencian tak tersirat.Saat itu Arum bertanya-tanya dalam hatinya, apakah pelukan ini akan membunuhnya ataukah tidak? Pikiran negatif semacam itu terus saja terlintas seolah-olah dirinya tengah mempersiapkan kematian itu juga.Secara perlahan jari-jemari Julvri masuk ke sela-sela pakaian, meraba bagian pinggang dan perutnya. Arum menahan rasa geli seraya meraih pergelangan tangan Julvri sebagai tanda agar suaminya itu berhenti tapi ia sama sekali tidak mau menggubrisnya.“Apa yang kamu lakukan? Jangan melakukan—”“Perutmu ternyata masih rata. Apa karena bayinya kecil? Aku sama sekali tidak sadar kalau ternyata kamu ini hamil.”
Kehamilan yang terjadi setelah beberapa minggu atau bulan menikah adalah hal yang entah itu terjadi sering atau jarang. Tapi untuk sebagian besar orang akan menganggap kejadian itu sangat langka, mengingat kehamilan itu dinantikan. Lalu sekarang, salah satu tetangga mereka bertanya tentang rahasia yang dimiliki Arum. Jujur saja Arum sangat terkejut, saking terkejutnya ia terdiam dengan tatapan tajam mengarah pada Julvri. “Baru satu bulan menikah sudah berisi, aku tahu itu pasti ada rahasianya.” Begitulah pikirnya. Jika diingat usia kandungan Arum juga masih sangat muda, meski janin itu baru saja terbentuk. Sejenak Arum memandangi perut dan membelainya pelan.“Itu ... saya ...,” Kalimat Arum terbata-bata, tidak jelas akan mengatakan apa. Sekali lagi ia menatap suaminya itu seakan berharap Julvri yang menjawabnya.“Istriku hamil begitu cepat mungkin karena kami sering melakukannya,” jawab Julvri seraya meraih pundak Arum dan mendapatkan kesempatan itu tuk kembali memeluknya. Denga
Ponsel Arum bergetar pelan tak bernada, saat dilihat terdapat sebuah nomor kontak beserta nama lengkap, "Detektif Jean Caspiro", sedang menghubungi. Julvri diam memandang tanpa niat mengangkat telepon itu tapi ia kemudian terpikirkan sesuatu sehingga mengangkatnya. “Wah, sudah lama ya?”***Beberapa jam sebelum Jean menghubungi ponsel Arum. Ia berada di kota kecil dekat dengan pantai, tengah merenungkan diri lantaran pikirannya berkecamuk sana-sini akibat kejadian pada malam tahun baru itu. Jean menghela napas, “Ha, ini di luar dugaan. Siapa yang berpikir kalau dia akan melindunginya?” tukas Jean. Jean sebagai seorang detektif, tentu harus melaksakan tugas dengan baik. Tapi jika pelakunya sudak bertindak di luar batas maka Jean tidak punya pilihan lain. Saat itu Jean kembali berpikir apakah tindakannya cukup sembrono?“Aku menembaknya ... tidak, aku sudah menghindarinya.” Posisi duduk di kursi seraya memegangi kepala yang tengah tertunduk lesu. Pikirannya berbayang akan kejadian
“Aku sungguh bodoh,” gerutu Jean. ["Ya, kau benar-benar bodoh. Bagaimana tidak? Kau dengan mudahnya percaya apa saja perkataanku."]Perkataan Juli cukup menusuk di dada. Jean tidak menyangkal dan sekarang hanya terdiam seribu kata. Tidak berniat mengatakan apa pun lagi dan hendak mematikan telepon tapi pria itu lagi-lagi mengatakan hal yang membuat Jean semakin marah.[" .... seandainya begitu, kau tahu 'kan? Itu cukup menarik."]“Apa katamu?” Jean tidak begitu mendengar ucapannya, sehingga bertanya.["Tadinya aku berniat menuntutmu. Terkecuali dengan Arum. Jika kau benar membunuh anakku maka aku akan menuntut tapi setelah dipikir itu sedikit mustahil."]“Aku tegaskan sekali lagi. Kenapa kau seolah-olah berharap dia mati?”["Karena aku tidak butuh."]Kata-kata yang cukup sombong dilontarkan, Julvri mengatakannya tanpa ragu dan Jean begitu terkejut hingga sulit mengontrol emosi. “Dasar pembunuh! Dia i
Rumah yang sepertinya sudah ditinggal selama beberapa hari itu memperlihatkan dengan jelas akan jejak tersisa. Baik itu di dalam rumah maupun di perkarangan, namun Jean merasa ini aneh. “Kenapa rumah ini harus ditinggal? Kenapa mereka melakukan itu?”“Tentu saja karena dia sudah ketahuan olehmu. Yah, walaupun di satu sisi dia juga bermaksud melakukan sesuatu untuk membalas perbuatanmu.”Temannya menyahut. “Han, aku juga tahu tentang hal itu, tapi tetap saja ini terasa aneh.”“Kenapa begitu?” Temannya bernama Han itu bertanya. Jean melirik sinis, lalu berpaling dan mengambil beberapa langkah tuk menyusuri setiap sudut di rumah ini. Ia memberi suatu kode dengan mengangkat dagu agar Han mengikutinya. “Sebenarnya kita ini sedang berhadapan dengan siapa sih?” gumam Han. Tidak ada untungnya mengeluh, menggerutu, ataupun malas saat ini juga. Lantaran penyelidikan yang mereka lakukan sudah termasuk pelanggaran, mengingat Jea
Pernikahan adalah hal yang paling membahagiakan bagi setiap pasangan. Tak terkecuali dengan Arum dan Julvri yang saling mengikat janji suci di hadapan banyak saksi. Senyum merekah manis bak kelopak bunga yang tumbuh cantik, wajah sang pengantin pun terlihat begitu berkilau. Seharusnya begitu. Iya, seharusnya seperti itu. Setelah menikah mereka akan hidup bahagia. Itu adalah harapan terbesar Arum sebagai seorang wanita biasa yang menikah dengan sosok lelaki sukses dan kaya raya. Hingga ucapan sang dukun membuat hati Arum bergetar. “Suami kamu bukanlah orang yang baik. Suatu saat pasti, dia akan membunuhmu.”***Kali pertama berjumpa dengannya adalah ketika berada di halaman parkir sebuah universitas. Arum dan Julvri saling bertukar tatap satu sama lain di tengah kerumunan para mahasiswa. Awalnya hanya berupa ketidaksengajaan namun lama-lama keduanya ingin saling berjumpa kembali. Saling mengetahui latar belakang, kelebihan serta kekurangan masing-masing. Kedua insan itu pun mulai be
“Suamimu akan membunuhmu.”Kata demi kata yang diucapkan oleh nenek dukun itu terngiang-ngiang dalam benaknya. Malam ketika ingin meredakan amarah, tiba-tiba saja mendengar Julvri mengucapkan hal tak masuk akal. 'Apa katanya?' batin Arum dengan masih memejamkan mata. “Istriku terlalu berisik tapi pesonanya sungguh luar biasa. Aku berharap dia hanya akan dipandang dan disentuh olehku saja. Tidak boleh ada orang lain di antara kami,” tuturnya. Dipikir bagaimanapun perkataan Julvri terdengar seperti obsesinya pada sang istri. Arum pun sadar ada yang salah dengan suaminya itu tapi ia tak harus menanggapinya seperti apa dan kalimat dukun tersebut pula terus teringat setiap detik.Kecemasannya itu berlanjut hingga matahari telah terbit. Ia sengaja terlambat bangun sampai suaminya keluar dari kamar terlebih dahulu, lantas Arum mulai memikirkan suatu cara. “Perkataannya tidak normal. Itu tidak seperti Julvri yang aku kenal. Dia orang baik dan begitu pengertian padaku, dia menghormati wanit
Wanita berambut hitam panjang itu akhirnya membuka kedua mata dengan jelas, sembari menerima ocehan demi ocehan dari Ibu mertua, Arum lekas membuka koper dan mulai melipat bajunya ke dalam. “Aku tidak sudi menerima menantu hama sepertimu!” Begitulah kata-kata terakhir dari Ibu mertua sebelum keluar dari kamarnya. Sementara Julvri membuntuti Ibunya untuk membujuk. Tidak berselang lama kemudian, bibi yang merupakan pembantu di rumah ini menghampiri Arum. Tetap berdiri di luar pintu kamar sembari menanyakan bagaimana kondisi Arum.“Apa Neng Arum tidak apa-apa? Nyonya besar tidak bermaksud begitu. Saya yakin ini demi kebaikan dirimu.”“Bibi ...”Pelan, bibir yang bergetar itu menyebut. Lantas menoleh ke belakang dengan ekspresi memelas. Terlihat arah tatapannya tidak tertuju pada bibi melainkan lantai, ada perasaan takut serta cemas dalam diri Arum. Setidaknya bibi merasakan kondisinya yang seperti itu.“Neng ... bibi dulu yakin kamu itu bangun pagi-pagi sekali. Kamu pintar masak, beb