Arunika terdiam. Dia tak tahu bagaimana menanggapi kalimat Abhimanyu. "Ke Eropa? Berapa lama?" tanyanya beberapa saat kemudian dengan mata berkaca-kaca."Terserah Delia. Bisa dua minggu atau sebulan," jawab Abhimanyu."Lama sekali, ya." Arunika tersenyum getir. Sejak menikah dengan Abhimanyu, dia tak pernah berpisah terlalu lama dari sang suami. Bahkan setiap perjalanan bisnis ke luar kota, Abhimanyu selalu mengajak Arunika."Kenapa menangis?" Abhimanyu memperhatikan wajah cantik yang tampak sedikit kurus itu lekat-lekat."Kita belum sempat jalan-jalan ke Eropa. Mungkin tidak akan sempat," sahut Arunika sambil menyeka air mata."Apa maksudmu?" Abhimanyu yang sedari tadi hanya berdiri di ambang pintu, kini melangkah masuk dan mendekat pada Arunika."Kita tidak akan mungkin bisa seperti dulu lagi," jelas Arunika."Bukankah yang penting kamu tidak perlu hidup miskin? Asalkan kebutuhan materimu tercukupi, tak masalah jika kita tidak bisa kembali seperti dulu lagi. Iya, kan?" sindir Abhima
Arunika memaksakan diri bangkit dari ranjang. Dia merasa sudah cukup menangis dan bersembunyi di balik selimut. Apalagi saat menyadari bahwa jam digital menunjukkan pukul sepuluh malam. Dengan langkah gontai, Arunika berjalan ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Akan tetapi, rasa sedihnya kembali menyeruak tatkala melihat sikat gigi couple miliknya dan Abhimanyu. Angan Arunika melayang ke saat sebelum terjadi badai besar dalam rumah tangganya. Abhimanyu lah yang memiliki ide untuk menyamakan peralatan mandi. Pria tampan itu beralasan, supaya mereka bisa lebih bersemangat saat melakukan ritual di kamar mandi bersama-sama. Arunika tersenyum kelu. Sebuah pertanyaan besar terus bergaung di benaknya. Akankah keadaan bisa kembali seperti semula, atau dia akan kehilangan Abhimanyu selamanya. Dalam kegelisahan itu, seseorang mengetuk pintu kamar cukup kencang, membuyarkan lamunan Arunika. Sambil menyeka wajahnya yang basah menggunakan handuk, Arunika bergegas menuju pintu dan membuka k
"Aku suka dengan balkonnya yang langsung berhadapan dengan taman. Sinar matahari juga tak terhalang sama sekali," celoteh Delia. "Tidak bisa," tolak Arunika. "Run!" Masayu meraih tangan Arunika dan meremasnya. "Kalau Delia mau pindah ke ruangan itu, ya biar saja. Toh, kamu juga belum tentu hamil dalam waktu dekat ini. Aku tidak mau, perkara kecil seperti ini memicu pertengkaran." Arunika yang sedari tadi melotot ke arah Delia, langsung memusatkan perhatiannya pada Masayu. "Tapi, Ma ...." "Kalau di atas, kamar kita kan bisa berdekatan, Mbak. Mas Abhim juga bisa bolak-balik ke kamar Mbak Arun dengan leluasa. Coba seandainya kamar kami masih di lantai bawah. Pasti ribet. Ya kan, Mas?" potong Delia seraya menoleh pada suaminya. "Betul juga," celetuk Abhimanyu sambil manggut-manggut. "Ya, sudah. Aku akan menyuruh asisten rumah tangga menyiapkan semuanya." "Ah, terima kasih, Mas." Delia merentangkan kedua tangan, lalu memeluk Abhimanyu erat-erat. Melihat hal itu, suasana hati Arunika
"Saya tidak menyangka, Mama bisa begitu tega terhadap saya," ujar Arunika dengan suara bergetar. "Ini cuma permintaan sederhana, Run," sanggah Masayu. "Saya sudah merelakan Abhimanyu untuk Delia, dan sekarang saya harus tunduk pada madu saya. Begitukah yang Mama inginkan?" Lirih suara Arunika menahan tangis. "Apa kamu punya cara lain, Run? Bisakah kamu menggantikan posisi Delia, menyelamatkan perusahaan Abhimanyu dan mencegah kita bangkrut? Kalau tidak, sebaiknya kamu menurut. Sejak menikah juga kamu tidak bisa membantu apa-apa," cibir Masayu. Suaranya memang pelan, tapi cukup untuk mengoyak perasaan. "Ah, iya. Mama benar sekali. Saya memang tidak bisa membantu apa-apa dan hanya bisa menyusahkan Mas Abhim. Rupanya cinta dan kasih sayang yang tulus memang tidak pernah cukup." Arunika tersenyum getir. Sakit kepala dan sensasi berputar itu datang lagi. Entah karena terlalu lelah atau terlalu banyak berpikir. Arunika tak dapat berpikir jernih. Dia memegangi kepalanya, lalu mengem
Arunika terbangun saat merasakan kakinya dipijit oleh seseorang. Dia segera bangkit dengan raut terkejut, tapi akhirnya bernapas lega ketika menyadari bahwa Ijah lah yang memijat lembut betisnya. "Bi, aku sampai kaget. Kukira siapa," ujar Arunika sambil mengusap-usap dada. "Tidak apa-apa, Bu. Istirahat saja lagi," tutur Ijah. "Memangnya jam berapa sekarang? Mas Abhim belum pulang?" Belum sempat pertanyaan Arunika terjawab, tiba-tiba pintu kamar dibuka oleh seseorang. Abhimanyu berdiri gagah di ambang pintu. Dua tangannya menggenggam beberapa kantong plastik berukuran besar. "Run, kamu belum makan, kan?" tanya Abhimanyu. Ijah terkesiap. Dia buru-buru berdiri dan mengangguk hormat pada majikan prianya. "Selamat malam, Pak," sapanya. "Tumben kamu di sini?" Abhimanyu menatap Ijah penuh selidik. "Nyonya Besar yang menyuruh saya menjaga Bu Arun, Pak," jawab Ijah sopan. "Kenapa?" "Bu Arun sakit. Sakit kepalanya kambuh lagi sejak tadi pagi, setelah Bapak berangkat," beber Ijah. "Bena
Abhimanyu dan Arunika melewati malam dengan mengobrol dan bercanda. Dua kotak dimsum dan bakmie telah tandas sejak satu jam yang lalu.Namun, Arunika masih betah bersandar di bahu lebar suaminya. Sesekali dia membelai rahang Abhimanyu yang mulai ditumbuhi bulu-bulu halus."Mas Abhim belum cukuran." Arunika tertawa geli."Biasanya kamu yang mencukur jenggotku, Run. Peralatan mandiku masih di sini semua," sahut Abhimanyu yang menyandarkan kepalanya di atas kepala Arunika."Peralatan couple kita ...." Arunika tersenyum getir."Aku janji, Run. Aku akan menyelesaikan semua masalah secepatnya. Doakan aku," ujar Abhimanyu sambil memainkan jemari lentik istrinya."Aku akan bersabar. Semoga Mas Abhim tidak tergoda dengan Delia," celetuk Arunika."Run ...." Abhimanyu menggeser duduk sehingga menghadap ke arah Arunika. "Aku tidak akan menikahinya jika kamu tidak memaksaku. Sekarang, dia telah sah menjadi istriku. Aku tidak paham dengan kata 'tergoda' yang kamu maksud, sebab mau tidak mau, aku ha
"Eh, jangan, Bu Arun. Saya sedang banyak pekerjaan," tolak Ijah dengan segera."Kalau kamu tidak mau, lebih baik aku kembali saja ke kamar dan tidur seharian," ancam Arunika. "Kamu suka melihatku menangis, ya?""Tapi ... saya tidak enak dengan pegawai lain," dalih Ijah."Biar aku yang menjelaskan pada mereka," desak Arunika."Ehm ...." Ijah menggaruk kulit kepalanya yang tidak gatal. "Iya, deh, Bu. Saya ikut Bu Arun," putus Ijah pada akhirnya."Nah, gitu, dong. Cepat ganti baju. Kutunggu di garasi samping," ujar Arunika seraya bergegas kembali ke kamarnya untuk bersiap-siap.Sepuluh menit kemudian, Arunika sudah tampil cantik dengan busana kasual. Dia berdiri menunggu kedatangan Ijah di depan pintu garasi.Tak berselang lama, Ijah datang. Dia begitu berbeda jika tidak sedang memakai seragam pelayan. Dengan T-shirt sederhana dan rok plisket berwarna krem, Ijah tampak seperti seorang pekerja kantoran."Bi, cantik sekali," sanjung Arunika. "Ah, jadi tidak cocok dipanggil 'Bi'. Aku panggil
"Lihatlah ini." Arga meletakkan ponsel mahalnya ke meja, lalu mendorongnya supaya Arunika dapat menjangkau benda pipih itu. Akan tetapi, Arunika tak segera mengambilnya. Dia hanya melihat sekilas cuplikan video yang berputar di layar. "Kamu lihat, kan? Itu suamimu," tunjuk Arga. "Video itu diambil beberapa menit yang lalu." Bukannya sedih, Arunika malah menatap Arga curiga. "Bagaimana caranya kamu merekam kegiatan suamiku?" desisnya penuh penekanan. "Anggap saja, mata-mataku ada di mana-mana. Aku terus mengawasimu dan Abhimanyu sejak mendengar berita bahwa suamimu menikah lagi," sahut Arga tanpa beban. "Untuk apa kamu memata-matai kami?" geram Arunika. "Atas perintah ibumu, Run," jawab Arga singkat, tapi cukup membuat bulu kuduk Arunika meremang. "Kamu bohong." Arunika tiba-tiba berdiri. Tangannya lurus tertuju pada Arga. "Kamu pasti mengikutiku! Ya, kan? Kamu sengaja merekam semua itu dan menunjukkannya padaku, supaya aku hancur dan terpuruk. Dengan demikian, kamu berharap