"Siapa?" tanya Arunika penasaran."Nanti kamu juga tahu sendiri." Abhimanyu tersenyum penuh arti seraya memutar kemudi. Dia melajukan mobilnya dengan kecepatan sedang, menuju salah satu restoran langganan di pusat kota, yang dekat dengan kantornya.Setelah memarkir kendaraan, Abhimanyu menggandeng Arunika dan menuntunnya masuk ke restoran. Langkahnya langsung tertuju pada salah satu meja yang terletak di sudut ruangan. Dia tak ragu menghampiri seorang pria paruh baya yang duduk seorang diri. Pria itu tampak asyik menggulir gawainya."Siapa dia, Mas?" bisik Arunika."Kenapa kamu tidak bertanya langsung saja padanya?" Abhimanyu malah menantang istrinya."Jangan bercanda ah, Mas!" sungut Arunika, membuat Abhimanyu tertawa renyah.Sontak, pria asing tersebut langsung mendongak. Tatapannya langsung tertuju pada Abhimanyu. "Hei, Nak! Sudah datang?" sapanya hangat dengan bahasa Indonesia yang terdengar sangat kaku."Nak?" ulang Arunika, seolah meyakinkan diri bahwa dia tak salah dengar."Oh,
"Tenang saja, Bhim. Aku akan berusaha sekuat tenaga untuk meyakinkan mertuamu." Fahad Omar menepuk pundak putra kandung yang baru saja dia temukan."Baiklah, Pa. Kuserahkan semua padamu. Aku akan ke kantor polisi, menemui Delia dan menyelesaikan semua urusan," pamit Abhimanyu."Jangan lupa, tanyakan pada pihak penuntut, seberapa banyak yang mereka mau, aku akan melunasi seluruhnya," ucap Fahad.Abhimanyu sempat tertegun dan terdiam. Betapa keadaan bisa berbalik dengan begitu cepat. Kemarin dia yang membuang harga diri demi keinginan sang ibu, kini dapat tegak berdiri, menghadapi semua masalah dengan pikiran tenang, seolah kekuasaan sudah berada dalam genggamannya."Aku pergi dulu, Pa." Abhimanyu mencium punggung tangan Fahad, kemudian beralih pada Arunika. Dia mencium kening istrinya dengan penuh perasaan.Arunika dan Fahad memperhatikan langkah gagah Abhimanyu menjauh hingga menghilang di balik pintu restoran."Bagaimana? Apa kamu sudah siap?" tanya Fahad."Siap, Om." Arunika mengang
Abhimanyu melangkah gagah menuju ruangan penyidik. Di sana, Delia sudah menunggu bersama beberapa orang pengacaranya dan seorang pria yang membuat Abhimanyu langsung terpaku."Kenalkan, Bhim. Namanya Wildan. Dia yang akan membantu kita bernegosiasi dengan pihak kepolisian," tutur Delia. "Dia kenal dengan salah satu pejabat tinggi," bisiknya tepat di telinga Abhimanyu."Oh, ya?" Abhimanyu melirik ke arah pria bernama Wildan itu, dengan sorot aneh. "Aku juga sudah menyiapkan sejumlah uang untuk mengembalikan seluruh dana yang kamu investasikan ke perusahaanku. Dengan demikian, aku tidak memiliki utang sama sekali," paparnya."Apa?" Delia terbelalak tak percaya. "Ini bukan saatnya membicarakan hal itu, Bhim!""Oh, malah ini adalah saat yang paling tepat. Dengan aku mengembalikan semuanya, aku jadi tidak perlu ikut terseret dalam kasusmu," timpal Abhimanyu."Kamu tega membiarkan aku sendirian melalui ini semua, Bhim?" tanya Delia dengan nada tinggi."Kamu tidak sendiri, kok. Ada Wildan di
Arunika sedang asyik berdandan di kamar. Malam ini, dia akan merayakan hari jadi pernikahan ke-2 dengan Abhimanyu. Dia sungguh bahagia karena Abhimanyu selalu memperlakukan dirinya bak seorang ratu. Meski menjadi pengusaha muda dengan kesibukan segudang, pria itu selalu memperhatikannya. Hanya saja, ketukan pintu membuat lamunan Arunika buyar seketika. "Mas--?" Senyum Arunika mengembang--mengira suaminya di depan sana. Namun, dia terkejut kala melihat sang mertua di sana. “Ma-mama?” gugupnya, "ada apa, Ma?" “Apa kamu bisa turun sebentar? Mama perlu bicara,” ujar sang ibu mertua datar. Sebenarnya, sikap Masayu, sang ibu mertua yang dingin, sudah biasa Arunika rasakan. Namun, kali ini terasa berbeda. Ada sesuatu yang terpancar dari sorot mata wanita paruh baya itu. “Apa ada masalah?” tanya Arunika ragu. “Kamu turun saja dulu,” ucap Masayu seraya membalikkan badan. Setelah tiba di ujung anak tangga menuju ke bawah, dia kembali menoleh pada Arunika yang masih terpaku di temp
“Stop, Ma!” susah payah Arunika berusaha mencegah mertuanya berbuat konyol. “Aku tidak akan berdiri sampai kamu setuju, Run! Bujuk suamimu agar bersedia menerima bantuan Delia. Katakan padanya kalau aku tidak siap jatuh miskin dan hidup menderita seperti dulu lagi. Tanggung jawabnya bukan hanya pada kamu, tapi juga aku, ibu yang sudah membesarkannya!" pinta Masayu dengan napas tersengal. "Ya, Tuhan.” Arunika mendesah pelan. Dia mengira bahwa cobaan terbesarnya adalah diusir oleh keluarga ketika memilih menikah dengan Abhimanyu. Namun, ternyata ada jalan yang jauh lebih terjal yang harus dia lewati saat ini, yaitu terpaksa mengikhlaskan dirinya dimadu. "Tolong paksa Abhim, Run. Ini semua juga demi kebaikannya sendiri." Masayu kembali mengeratkan genggaman tangannya. “Dari sekian banyak wanita di dunia, kenapa harus Delia?” gumam Arunika lirih. "Bukankah dia pernah berkhianat pada Mas Abhim? Perempuan itu ....” "Itu semua hanya kesalahpahaman," sela Masayu memotong kalimat Arunika
Sekuat apapun Arunika menahan air mata agar tak menetes, nyatanya sia-sia. Buliran air bening mengalir deras, membasahi pipi mulusnya yang putih bersih. "Kenapa kamu menangis? Bukankah kamu yang meminta semua ini?" cibir Abhimanyu. Sesekali dia menoleh pada sang ibu yang hanya terdiam, berharap untuk mendapatkan dukungan. Namun, Masayu malah memalingkan muka. "Aku menangis bahagia, karena Mas bersedia menuruti keinginanku." Arunika memaksakan senyum, meskipun hatinya hancur. "Aku seperti tidak mengenalimu lagi, Run. Ini seperti bukan dirimu." Abhimanyu menggeleng pelan. Tatapan yang sejak tadi tajam menghujam, kini meredup. Dia memandang sang istri dengan sorot sendu. "Manusia berubah, Mas. Bisa karena waktu, ataupun keadaan," timpal Arunika sambil mengusap pipinya berkali-kali. "Hm." Abhimanyu tersenyum sinis lalu membalikkan badan meninggalkan kamar tanpa berkata apapun lagi. Nurani Arunika memberontak. Ingin rasanya dia berlari menahan suaminya agar tak pergi. Namun
"Mas?" Arunika mengucek mata untuk memastikan bahwa sosok tinggi tegap yang berjalan gagah mendekatinya adalah benar Abhimanyu. Suaminya itu masih memakai jas pengantin berwarna putih. "Kenapa kamu lari, Run? Apa kamu tidak ingin melihat kebahagiaan kami di atas pelaminan?" cecar Abhimanyu. Mata coklat terangnya menatap Arunika dengan sorot tajam. "A-aku tidak enak badan," kilah Arunika. Dia beringsut mundur seraya menarik selimut hingga menutupi dada sampai-sampai punggungnya membentur kepala ranjang. "Kamu kan yang menginginkan pernikahan ini? Seharusnya kamu mendampingi Mama terima tamu," desis Abhimanyu seraya menaiki ranjang. "Su-sudah kubilang, aku sakit." Tubuh Arunika merosot, lalu bersembunyi di balik selimut. Abhimanyu seolah tak percaya. Dia malah beringsut ke atas tubuh Arunika dan mengungkungnya. Mata elangnya menguliti paras cantik wanita yang telah menemani perjalanan hidupnya selama tiga tahun itu. Abhimanyu mengingat dengan jelas pertemuan pertamanya deng
"Siapa ini?" tanya Abhimanyu, datar dan dingin."Oh, Pak Abhimanyu Cakra rupanya. Apa kabar?" Arga malah balas menyapa, seolah tak menghiraukan pertanyaan Abhimanyu. "Sekali lagi kutanya, siapa kamu? Ada perlu apa menelepon istriku pagi-pagi?" desis pria tampan itu. Raut wajahnya tampak begitu menakutkan."Istri yang mana, Pak? Arunika atau istri baru anda?" Arga seakan menguji kesabaran Abhimanyu, membuatnya menjauhkan telepon genggam dari telinga, lalu mengakhiri panggilan begitu saja.Jemari Abhimanyu cekatan menyalin nomor telepon tersebut. Dia lalu membuka aplikasi pencari kontak. Dari aplikasi tersebut, Abhimanyu menemukan bahwa nomor tak dikenal itu ternyata adalah milik Arga Wasesa Dharmawan. "Aku seperti pernah mendengar nama itu," gumamnya.Abhimanyu terdiam. Dia mencoba menggali ingatan. Angannya berputar kembali ke beberapa tahun silam ketika Abhimanyu mendatangi kediaman Hadiwinata untuk melamar Arunika. Di sana, terdapat kedua orang tua Arunika dan seorang pria seusia d