Share

Lari

Sekuat apapun Arunika menahan air mata agar tak menetes, nyatanya sia-sia. Buliran air bening mengalir deras, membasahi pipi mulusnya yang putih bersih.

"Kenapa kamu menangis? Bukankah kamu yang meminta semua ini?" cibir Abhimanyu. Sesekali dia menoleh pada sang ibu yang hanya terdiam, berharap untuk mendapatkan dukungan. Namun, Masayu malah memalingkan muka.

"Aku menangis bahagia, karena Mas bersedia menuruti keinginanku." Arunika memaksakan senyum, meskipun hatinya hancur.

"Aku seperti tidak mengenalimu lagi, Run. Ini seperti bukan dirimu." Abhimanyu menggeleng pelan. Tatapan yang sejak tadi tajam menghujam, kini meredup. Dia memandang sang istri dengan sorot sendu.

"Manusia berubah, Mas. Bisa karena waktu, ataupun keadaan," timpal Arunika sambil mengusap pipinya berkali-kali.

"Hm." Abhimanyu tersenyum sinis lalu membalikkan badan meninggalkan kamar tanpa berkata apapun lagi.

Nurani Arunika memberontak. Ingin rasanya dia berlari menahan suaminya agar tak pergi. Namun, dirinya tak bisa. Arunika hanya sanggup memandang punggung lebar yang tampak gagah dan kokoh itu bergerak menjauh kemudian menghilang di balik pintu.

Wanita muda berusia 25 tahun itu hanya bisa meratapi diri. Kata-kata yang sudah dia lontarkan, tak dapat ditarik kembali. Abhimanyu juga sudah menanggapinya dengan serius.

Bahkan beberapa hari setelahnya, Abhimanyu tak mau berbicara dengan Arunika sama sekali. Tiap malam dia selalu tidur dalam posisi memunggungi sang istri.

Puasa bicara itu berlangsung sampai seminggu lamanya. Hingga di minggu siang, Abhimanyu tiba-tiba menghampiri Arunika yang tengah asyik menata bunga-bunga di vas meja makan.

"Aku sudah mengurus berkas-berkas pernikahan bersama Delia. Gedung resepsi juga sudah kupesan. Untuk keperluan teknis, aku menyewa wedding organizer. Jadi, kamu dan Mama tidak perlu repot-repot. Bulan depan, kami akan mengadakan resepsi," ujar Abhimanyu dengan raut datar.

Vas yang dipegang oleh Arunika hampir saja terjatuh. Namun, wanita cantik itu segera menguasai diri dan pura-pura bersikap sewajar mungkin.

"Baguslah," ucap Arunika sambil tersenyum. Dia harus bersandiwara, memasang wajah ceria. "Bagaimana kondisi perusahaan?" tanyanya.

"Semua sudah bisa dikendalikan. Delia benar-benar menepati janjinya. Dalam beberapa bulan ke depan, aku yakin semuanya bisa kembali normal," jawab Abhimanyu. "Kamu puas sekarang kan, Run? Tidak usah khawatir kalau kamu dan Mama akan jatuh miskin, karena aku sudah menjual diri pada Delia," lanjutnya.

"Mas! Jangan bicara seperti itu!" protes Arunika.

"Kenapa? Memang ini kan, kenyataannya? Kamu menyuruhku menikahi Delia dengan imbalan dana tak terbatas. Sekarang, semua kemauanmu sudah kuturuti. Kuharap kamu lega dan bahagia." Abhimanyu tersenyum getir. Rasa kecewa terpancar semakin jelas dari sorot mata elangnya.

"Terima kasih. Mas benar. Aku lega sekarang," balas Arunika seraya tersenyum lebar.

"Kamu tidak cemburu? Atau marah?" tanya Abhimanyu sambil terus memperhatikan paras cantik Arunika.

"Kenapa mesti cemburu? Asalkan Mas tidak menceraikanku, kurasa aku akan baik-baik saja," sahut Arunika enteng.

"Oh, begitu, ya." Abhimanyu terkekeh pelan. Nyerinya hati, tidak dia rasa lagi. Abhimanyu memilih untuk memendam rasa kecewa dan sakit hatinya pada Arunika.

"Mumpung madumu belum datang, kurasa sebaiknya kamu harus sering-sering melayaniku." Abhimanyu menyeringai lalu mencengkeram kedua lengan Arunika sedikit keras.

"Mas, sakit ...."

Abhimanyu tak memedulikan rintihan Arunika. Dia terus mencumbu dan mengisap leher istrinya penuh nafsu.

"Mas, jangan di sini!"

Kali ini, Abhimanyu mendengar dan menuruti permintaan Arunika. Masih dengan sikapnya yang kasar, dia mengangkat tubuh ramping sang istri dan memanggulnya di pundak.

Langkah Abhimanyu begitu cepat dan lebar sampai tiba di dalam kamar. Dia mengempaskan tubuh Arunika ke atas ranjang.

"Aw!" Arunika memekik pelan. Namun, dia tak hendak melawan. Wanita cantik itu paham benar bahwa suaminya tengah diliputi amarah dan kekecewaan yang besar. Mata Arunika terpejam rapat ketika Abhimanyu menjamah tubuh dan menciuminya membabi buta.

Entah sudah berapa menit terlewati, Abhimanyu seperti kesetanan saat menikmati tubuh molek istrinya. Dia begitu bernafsu, seakan percintaan itu menjadi yang terakhir kalinya.

Ternyata, Abhimanyu mengulangi kenikmatan itu keesokan harinya dan sehari setelahnya. Setiap hari dia meminta pada Arunika untuk memuaskan hasratnya dan Arunika tak pernah menolak.

Semua itu berakhir sebulan kemudian, saat Abhimanyu benar-benar melangsungkan pernikahan mewah di sebuah hotel berbintang lima di pusat kota Jakarta. Bahkan jauh lebih mewah dari pernikahannya dengan Arunika.

Bagi Delia, mungkin saat itu terasa sebagai momen sakral dan syahdu.

Akan tetapi, tidak bagi Arunika. Dia begitu hancur dan merana ketika menyaksikan suaminya menjabat erat tangan penghulu dan mengucapkan ijab kabul.

Arunika sampai harus bersembunyi di toilet dan menangis sejadi-jadinya di sana. Rupanya, dia tak sekuat yang dikira. Arunika tak sanggup melihat sang suami bersanding di pelaminan untuk kedua kalinya dengan wanita selain dirinya.

Setelah menangis sampai puas, Arunika mencuci muka. Dia tak peduli meskipun make upnya luntur. Namun, yang menjadi perhatiannya saat itu adalah matanya yang bengkak dan sembab akibat terlalu banyak menangis. Dia merasa malu jika harus menemui tamu dalam kondisi seperti itu.

Setelah berpikir untuk beberapa saat, akhirnya Arunika memutuskan untuk meninggalkan hotel mewah tersebut secara diam-diam dan kembali ke kediaman Abhimanyu. Dia melanjutkan tangisnya di ranjang yang selama ini menjadi tempat peraduannya bersama sang suami.

Sayangnya, malam itu Arunika harus melaluinya seorang diri. Pihak keluarga Delia memang sudah menyiapkan beberapa kamar VIP untuknya dan Masayu serta anggota keluarga yang lain. Dapat dipastikan bahwa Masayu dan Abhimanyu tak akan pulang, setidaknya sampai besok pagi.

"Ah, bodohnya aku!" Arunika merutuki diri sendiri. Kini, dia menyesal karena telah menyetujui permintaan ibu mertuanya. Entah bagaimana hidupnya nanti ke depan. Arunika terus merenung hingga tak sadar bahwa waktu terus merangkak menuju dini hari.

Rasa kantuk mulai menyerang, Arunika pun bersiap untuk menarik selimut dan mengistirahatkan diri. Akan tetapi, baru saja matanya terpejam, dia mendengar pintu kamar terbuka. Arunika langsung menoleh ke arah suara dan mendapati sosok Abhimanyu berdiri tegap di ambang pintu. "Mas?" ucapnya lirih.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status