"Eh, jangan, Bu Arun. Saya sedang banyak pekerjaan," tolak Ijah dengan segera."Kalau kamu tidak mau, lebih baik aku kembali saja ke kamar dan tidur seharian," ancam Arunika. "Kamu suka melihatku menangis, ya?""Tapi ... saya tidak enak dengan pegawai lain," dalih Ijah."Biar aku yang menjelaskan pada mereka," desak Arunika."Ehm ...." Ijah menggaruk kulit kepalanya yang tidak gatal. "Iya, deh, Bu. Saya ikut Bu Arun," putus Ijah pada akhirnya."Nah, gitu, dong. Cepat ganti baju. Kutunggu di garasi samping," ujar Arunika seraya bergegas kembali ke kamarnya untuk bersiap-siap.Sepuluh menit kemudian, Arunika sudah tampil cantik dengan busana kasual. Dia berdiri menunggu kedatangan Ijah di depan pintu garasi.Tak berselang lama, Ijah datang. Dia begitu berbeda jika tidak sedang memakai seragam pelayan. Dengan T-shirt sederhana dan rok plisket berwarna krem, Ijah tampak seperti seorang pekerja kantoran."Bi, cantik sekali," sanjung Arunika. "Ah, jadi tidak cocok dipanggil 'Bi'. Aku panggil
"Lihatlah ini." Arga meletakkan ponsel mahalnya ke meja, lalu mendorongnya supaya Arunika dapat menjangkau benda pipih itu. Akan tetapi, Arunika tak segera mengambilnya. Dia hanya melihat sekilas cuplikan video yang berputar di layar. "Kamu lihat, kan? Itu suamimu," tunjuk Arga. "Video itu diambil beberapa menit yang lalu." Bukannya sedih, Arunika malah menatap Arga curiga. "Bagaimana caranya kamu merekam kegiatan suamiku?" desisnya penuh penekanan. "Anggap saja, mata-mataku ada di mana-mana. Aku terus mengawasimu dan Abhimanyu sejak mendengar berita bahwa suamimu menikah lagi," sahut Arga tanpa beban. "Untuk apa kamu memata-matai kami?" geram Arunika. "Atas perintah ibumu, Run," jawab Arga singkat, tapi cukup membuat bulu kuduk Arunika meremang. "Kamu bohong." Arunika tiba-tiba berdiri. Tangannya lurus tertuju pada Arga. "Kamu pasti mengikutiku! Ya, kan? Kamu sengaja merekam semua itu dan menunjukkannya padaku, supaya aku hancur dan terpuruk. Dengan demikian, kamu berharap
"Memangnya Bu Arun punya saudara di Bandung?" Ijah tampak semakin gelisah."Aku sudah tidak punya saudara, Mbak. Mereka semua membuangku. Cuma Ayah yang pada akhirnya ikhlas menerima pernikahanku dengan Mas Abhim. Itupun secara diam-diam," ungkap Arunika dengan sorot sendu."Sekarang Ayah sudah tiada. Tak ada lagi yang mendukungku." Sebulir air mata lolos di pipi Arunika. Buru-buru dia menyekanya lalu tersenyum dan menoleh kepada Ijah."Aku hanya punya Mas Abhim, Mbak," ucap Arunika lirih."Bu Arun ...." Ijah dapat merasakan kesedihan itu. Matanya turut berkaca-kaca. Wanita berambut pendek sedikit bergelombang itu memberanikan diri untuk mengusap lembut pundak sang majikan, berharap dapat menenangkannya walaupun sedikit."Tapi, sekarang pernikahan kami menjadi seperti ini." Tangis Arunika semakin kencang. Dia terisak sampai bahunya berguncang."Bu, sebaiknya menepi dulu. Bahaya kalau berkendara dalam keadaan seperti ini," tutur Ijah. "Apa biar saya yang menyetir?"Sambil mengusap sudu
"Apa yang sudah mas Abhim lakukan?" pancing Arunika sambil memandang dengan sorot selidik pada sang suami. "Apapun akan kulakukan supaya bisa menjemputmu pulang," jawab Abhimanyu penuh teka-teki. "Jadi, sampai kapan kamu akan membiarkanku berdiri di sini?" "Siapa suruh Mas Abhim ke sini. Tolong, pulanglah dan jangan membuatku berada dalam masalah," usir Arunika. "Dengan kamu pergi tanpa pamit begini, kamu sudah membuat masalah, Run! Paham, tidak?" hardik Abhimanyu. "Jangan seperti anak kecil begini. Kita bisa membicarakan semuanya secara baik-baik di rumah kita sendiri. Tak perlu pergi jauh-jauh ke Bandung," imbuhnya. "Itu rumah Mas Abhim, bukan rumah kita. Mungkin sebentar lagi malah jadi rumah Delia," cibir Arunika. Sontak, Abhimanyu mencekal lengan sang istri, lalu mendorongnya masuk. Dia menutup pintu menggunakan kaki dan menghempaskan tubuh ramping Arunika ke dinding. "Aku kemari, selain untuk menjemputmu pulang, juga karena ingin menjelaskan semuanya supaya kamu tidak
Malam yang sejuk dan berangin di Kota Bandung, menambah suasana romantis dalam kamar hotel yang disewa oleh Abhimanyu. Candaan, obrolan ringan serta desahan, bercampur menjadi satu. Dua sejoli itu memadu kasih, bercinta lalu mengakhirinya dengan percakapan. Percakapan itu menjadi semakin panas, sehingga mereka kembali mengulangi percintaan. Hal itu terus berlangsung sampai jarum jam menunjukkan pukul tiga dini hari. "Ya, ampun. Kita tidak tidur sama sekali." Abhimanyu tertawa geli. Lain halnya dengan Arunika yang tampak murung. "Setelah sampai rumah nanti, kita tidak bisa saling bertemu lagi sampai beberapa minggu ke depan," ucapnya lesu. "Aku masih bisa menghubungimu secara diam-diam, Run. Jangan khawatir," hibur Abhimanyu. "Tetap saja aku tidak bisa menyentuh Mas Abhim secara langsung." Arunika cemberut. Wajahnya terlihat begitu menggemaskan, membuat Abhimanyu tak dapat menahan diri. Dia melumat habis bibir ranum kemerahan itu sampai puas. "Ehm, Mas," desah Arunika seraya m
"Enak tidak, Bhim?" tanya Delia dengan suara menggoda. Tangannya luwes memijit pundak Abhimanyu yang tengah berendam di bathup. Posisi Delia saat itu berada di belakang Abhimanyu, menghadap punggung lebar suaminya. "Hm." Hanya satu kata itu yang dilontarkan oleh Abhimanyu. "Capek, ya? Semalaman mencari Mbak Arun," celoteh Delia. "Rasa lelahku hilang saat berhasil menemukan Arun dan membawanya pulang." Kali ini, jawaban Abhimanyu lebih panjang, tapi nadanya tetap terdengar dingin. "Senangnya merasa dicintai seperti itu," gumam Delia yang tak dapat menyembunyikan rasa cemburunya. "Kamu dulu juga pernah kuperlakukan seperti seorang ratu. Tapi, apa balasannya? Kamu malah membuangku begitu saja," timpal Abhimanyu datar. "Jadi, kamu masih belum memaafkan kesalahanku yang satu itu, Bhim?" tanya Delia. "Aku sudah memaafkan, tapi tidak melupakan," tegas Abhimanyu. "Aku minta kamu memperlakukank
"Kamu baik-baik saja kan, Run?" tanya Abhimanyu lembut dari seberang sana. "Aku baik, Mas." Arunika yang tadinya hendak turun untuk makan malam, segera mengurungkan niatnya. Dia memilih duduk di kursi balkon dan mendengarkan suara berat Abhimanyu yang tengah mengucap syukur. "Bagaimana bulan madunya? Seru?" tanya Arunika. "Sungai Thames indah sekali, Run. Lebar dan bagus. Kapan-kapan, aku akan mengajakmu ke tempat ini. Hanya kita berdua," ujar Abhimanyu. "Apa bisa, Mas?" sahut Arunika ragu. "Kita harus optimis, Run. Yakinlah bahwa semua masalah ini akan segera berlalu," hibur Abhimanyu. "Semoga," desah Arunika. "Bagaimana sakit kepalamu?" Abhimanyu mengalihkan pembicaraan. "Aku tidak apa-apa, Mas. Sudah tiga hari ini, sakit kepalaku hilang sama sekali," jawab Arunika.
Arunika tak segera menjawab. Rasanya begitu berat saat harus membalas sapaan sang adik madu. "Ada apa, Delia?" ucap Arunika pada akhirnya. "Tidak apa-apa. Aku hanya ingin memastikan apakah Mama Masayu sudah menyampaikan pesanku," tutur Delia. "Oh, tentang suamiku yang tidak boleh menghubungi istrinya sendiri itu, ya?" cibir Arunika. "Ya, dan kuharap juga sebaliknya. Mbak Arun jangan mengganggu dulu bulan madu kami," jawab Delia percaya diri. "Luar biasa." Arunika berdecak kesal. "Bukan begitu. Aku ingin sedikit keadilan saja. Akan ada waktunya Abhim bersama Mbak Arun. Tapi itu nanti, sekarang giliranku," tegas Delia. "Nanti? Kemarin-kemarin saja, setiap kali Mas Abhim berduaan denganku, kamu juga keberatan. Sepertinya memang kamu berusaha menjauhkanku dari suamiku," tuding Arunika. Mendengar hal itu, Delia malah tertawa. "Jadi, Mbak Arun sudah bisa merasakannya?" "Jadi, benar? Kamu ingin menjauhkanku dari Mas Abhim?" geram Arunika. "Anggap saja itu konsekuensi karena Mbak tela