‘’Maksud Ibu apa ya?’’ tanyaku berpura-pura tak tahu. Jangan-jangan wanita separuh baya ini tadi melihat mas Deno berada di dalam rumahku. Atau dia malah mengintip?‘’Itu ada laki-laki di dalam rumah kamu tadi. Apa itu suami kamu, Chik?’’ selidiknya sambil menatapku.‘’Ibu salah liat kali. Mana mungkin ada lelaki di rumahku. Kan aku belum punya suami,’’ sanggahku cepat. Dia masih menatapku heran.‘’Kepo banget nih orang tua. Terserah akulah! Mau bawa laki-laki nginep di sini atau tidur dengannya. Kok malah suka ngurusin hidup orang lain sih,’’ rutukku dalam hati. Dan menatap malas wanita yang namanya bu Ningrum itu, tetangga sebelah kiri rumahku.‘’Benaran kan, Chik? Lagian kalo kamu mau bawa temen laki-lakimu ke sini, bawa siang hari aja. Kami ini diberi tugas untuk menjagamu,’’ katanya yang membuat aku makin kesal.‘’Lah, udah aku bilang barusan. Kalo aku nggak ada bawa laki-laki ke sini, sok ngatur hidup orang lain aja!’’ ketusku yang bergegas melangkah menuju garasi. Wanita separu
‘’Aku mau bicara sama kamu. Kamu ada waktu nggak sekarang?’’ Pesan dari Fani? Berkali-kali kupandangi di aplikasi hijau itu.Tumben dia mengirimiku pesan. Apa dia mengajakku untuk ketemuan? Apa yang ingin dibicarakannya padaku? Tak biasanya dia mengirimiku pesan. Ya, sejak bekerja di kantor Mas Deno, Fani tak pernah menghubungiku. Hanya aku sesekali yang menghubunginya, itu pun aku menghubunginya karena semata-mata bertanya tentang si pelakor itu.‘’Aku nggak bisa, Fan. Kamu mau bicara apa? Lewat telpon saja ya,’’ balasku kemudian dan mengirimkan ke kontak wattsappnya itu. Tampak sudah centang dua, namun belum bewarna biru. Aku menghela napas berat.‘’Mungkin Fani nggak tahu, kalo aku udah seminggu lebih di rumah sakit,’’ gumamku lirih yang tak putusnya memandangi benda pipih yang tengah kugenggam. Masih tertayang pesan Fani di sana.Eh, ternyata sudah bewarna biru. Itu artinya sudah diread oleh Fani. Tampak dia tengah mengetik balasan.‘’Ini penting banget. Nggak bisalah lewat telpon
‘’Pa, jangan ke mana-mana ya,’’ lirih putriku yang tengah terbaring lemas di tempat tidur. Tampak bibir mungilnya itu sangat pucat.‘’Iya, Dik. Papa selalu di sini kok,’’ sahutku yang bergegas mendekatinya yang tengah terbaring. Kuusap kepalanya dengan pelan.‘’Ya Ampun panas banget lagi.’’ Membuat aku terperanjat merasakan suhu tubuhnya yang begitu panas sekali.‘’Naisya! Sayang, kamu nggak apa-apa kan, Nak?’’‘’Naisya!’’Astaga! Ternyata aku hanya mimpi. Berulang kali kuusap mukaku dengan kasar. Apa arti dari mimpiku ya? Atau memang putriku sedang sakit di sana, apalagi si Nelda tak kunjung pulang ke rumah. Aku menghela napas kasar dan mengacak rambutku. Sudah seminggu lebih aku tak pernah ketemu dengan putri kecilku itu. Aku yang ingin bertemu dengannya selalu dihalang oleh kekasihku dan berbagai cara yang dilakukan oleh Chika agar aku tak ketemu dengan putri semata wayangku itu.‘’Mas, kamu kenapa?’’ suara khas bangun tidurnya membuyarkan lamunanku. Ya, pintu kamar memang tak kutu
Membuat aku terkesiap mendengar ucapan kekasihku itu. Mumpung belum terlalu tinggi aku memanjat pagar, aku bergegas untuk turun dengan hati-hati dan mengejar wanita yang berpakaian selutut itu, menampakkan kulit putihnya nan mulus.‘’Sayang! Tunggu!’’ Aku bergegas menahan lengannya, dia juga berusa untuk menepis tanganku dengan kasar.Dengan sekuat tenaga aku berusaha untuk menahan tangannya, hingga dapat aku untu memeluknya dengan erat, membuat dia terpaku. Dan tentunya tak bisa lari dariku, inilah senjata terampuh bagiku untuk meluluhkan wanita yang kucintai.‘’Kamu nggak boleh bicara kayak gitu lagi ya. Aku nggak mau kehilangan kamu, Sayang,’’ kataku dengan lirih dan memeluknya dengan begitu erat. Dapat kurasakan debaran jantung kekasihku itu.‘’A—aku tahu udah bikin kamu sakit hati dan marah. Tapi, aku janji nggak bakalan lagi mengulangi kesalahanku,’’ imbuhku kemudian, sembari mengelus kepalanya.Dia terdengar menghela napas berat dan melepaskan pelukan dariku,’’Aku ma’afin kamu.
‘’Kamu nggak perlu melakukan ini semua sama aku, Ren.’’‘’Aku nggak mau kamu jadi incaran Mas Deno, karena aku,’’ imbuhku kemudian.Dia tampak menghela napas berat. Ya, aku hanya takut seandainya lelaki yang masih berstatus sebagai suamiku itu akan macam-macam sama Reno, terlebih lagi tatkala dia mengancam Reno yang masih terdengar samar olehku beberapa hari nan lalu. Aku tak mau hanya karena aku membuat Reno jadi incaran lelaki pengkhianat itu, dia juga dengan beraninya menyelamatkan nyawaku dari dua lelaki asing yang menyekapku waktu itu.’’Nggak, Nel. Ini udah jadi resiko aku karena aku jagain kamu dan itu bukan karena kamu, melainkan karena keinginanku yang ingin selalu menjaga kamu,’’ sahutnya dengan lirih.‘’Please, Nel! Izinkan aku untuk tetap menjaga kamu. Ya, aku tahu kita nggak ada ikatan apa-apa.’’ Dia tampak menelungkupkan kedua tangan di dadanya. Aku menghela napas dengan berat.‘’Nah, itu kan kamu tahu. Kalo kita nggak ada ikatan apa-apa,’’ ketusku sambil mengalihkan p
‘’Apa? Bibi beneran?’’ tanyaku tak percaya menatap ke arah bibi dengan apa yang barusan kudengar langsung dari wanita yang setia menemaniku itu.‘’Iya, Bu. Bahkan Mas Reno sering mampir ke sini cuman menemui Naisya dan bermain dengannya,’’ katanya dengan santai dan membukakan pintu untukku.Membuat aku terdiam membisu. Bagaimana mungkin putri mungilku yang selama ini hanya dekat dengan papanya saja dan tak mau dekat dengan lelaki lain selain papanya, kini bisa sedekat itu dengan Reno si lelaki asing. Seringkali teman-teman dari lelaki yang masih berstatus sebagai suamiku itu bermain ke rumah dan mengajak Naisya untuk bermain bersamanya, tapi nihil dia tak mau. Rasanya aku tak percaya, tetapi jika bibi yang bicara mau tak mau aku harus percaya. Karena apa yang dikatakan bibi tak pernah dusta yang keluar dari mulutnya selama kenal dengankuEh by the way, aku selama di rumah sakit tak pernah tahu-menahu jika Reno sering berkunjung ke rumah dan bermain dengan putri semata wayangku. Ahh, d
‘’Ma, ma’afkan aku ya. Bukan aku nggak mau mempertahankan rumah tanggaku dengan Mas Deno. A—apalagi si perempuan itu juga hamil anak darinya,’’ jelasku seadanya dengan sesegukan. Aku menyeka buliran air mata yang sejak tadi hadir dengan kasar.‘’Aku mengatakan yang sebenarnya. Bukan aku bermaksud untuk menjelek-jelekkan Mas Deno ke Mama, tapi itu memang kejadian yang sebenarnya. Dan....aku nggak bisa lagi menutupi ini semua dari Mama. Aku nggak tahu lagi harus bicara apa.’’‘’Ma! Apa Mama marah ke aku?’’‘’Hallo, Ma!’’ Aku bergegas memandangi ponselku. Ya Allah ternyata sudah putus sambungan teleponnya. Apa mama mertua mendengar semua penjelasan aku? Atau beliau sendiri yang memutuskan sambungan sepihak karena marah padaku.‘’Nggak, nggak apa-apa. Aku cuma berkata yang sebenarnya ke Mama. Buat apa beliau marah? Seharusnya yang dimarahi itu adalah anaknya sendiri, bukan aku.’’Aku menghela napas berat, kuletakkan kembali benda pipih itu di sebelahku. Sudah berniat hendak istirahat namu
‘’Bu, ada Mas-Mas paket yang nanyain Ibu,’’ kata wanita separuh baya itu yang tergopoh-gopoh melangkah menghampiri aku yang tengah beberes rumah.Sebenarnya Bibi tak membolehkan aku, tapi aku tetap memaksa Bibi agar aku diperbolehkan untuk beberes rumah. Alasanku padanya biar tubuhku lebih terasa hangat setelah beberes. Karena selama ini aku hanya berdiam diri di ruang rawat saja.‘’Mas paket? Aku nggak mesan apa pun kok, Bi,’’ sahutku dengan terheran dan menatap wanita yang kuangggap sebagai keluargaku itu.‘’Tapi katanya untuk Ibu. Temui aja dulu sana, Bu.’’‘’Biar Bibi yang melanjutkan beberesnya. Kan Ibu baru keluar dari rumah sakit,’’ imbuhnya kemudian yang bergegas mengambil alih kemoceng dari tanganku.‘’Udah aku bilang, Bi. Biar tubuhku lebih hangat dan sebagai ganti olahraga pagi,’’ kataku sembari tertawa kecil.‘’Maraton aja biar tubuh terasa hangat, Bu. Nanti malah Bibi dimarahin sama Mas Reno lagi. Upps.’’ Dia membungkam mulutnya dengan telapak tangan, membuat aku terkesia