Share

Menetapkan Target Orang Yang Tak Ingin Kulihat

Kepindahan orang tua Erita adalah sebuah peristia yang tidak terelakkan. Erita tahu betapa ia seharusnya bersyukur dan mendukung ayahnya dalam promosi yang didapatkannya. Atas dasar pemikiran tersebut, Eritha memilih untuk menjadi pihak yang mengerti orang tuanya, setelah selama ini orang tuanya yang terus-menerus mencoba mengerti dan juga selalu memahami dirinya. 

Dengan berbicara empat mata, ia menyatakan kesediaannya untuk pindah dan sebelum ia merubah pikirannya, ayahnya segera memproses kepindahannya. Sehingga hanya berselang beberapa hari setelah pengambilan keputusannya yang sangat besar tersebut, ia beserta keluarganya sudah siap untuk pindah ke tempat baru yang tentu sudah dipersiapkan dengan sangat baik oleh ayahnya. 

Pindahan yang ada di bayangannya Eritha, ternyata sangat berbeda dalam kenyataannya. Ia kira, ia akan mengemasi beberapa hal dan orang tuanya harus menyewa angkutan untuk membawa sejumlah perabotan. Namun kenyataannya sangat bertolak belakang. Eritha dan keluarganya hanya membawa masing-masing satu koper yang meliputi pakaian dan benda penting saja. Selebihnya mereka tinggalkan di rumah lama mereka tersebut lantaran —menurut ayahnya— membawa perabotan ke tempat baru hanya akan lebih merepotkan. 

Jadi setelah mereka menyatukan barang bawaan dan menyimpannya dalam mobil mereka —yang masih memiliki banyak ruang untuk membawa barang lain—, Eritha dan keluarganya segera pergi meninggalkan 'rumah lama' mereka. 

Mendadak, ketika mobilnya perlahan meninggalkan rumah yang menyimpan sangat banyak kenangan itu, sesaat Eritha merasa sangat emosional. Terlebih ketika pemandangan rumah itu hilang dari pandangannya, hatinya menjadi berkecamuk dan ia menjadi sedih untuk beberapa alasan yang tak terkatakan. 

Hingga dalam perasaan yang kacau tersebut, ia terlelap cukup lama dan terbangun ketika mereka sudah sampai di 'kediamannya yang baru'. 

Seperti kata ayahnya, rumah barunya tampak megah dan bergaya. Tentu dari penampilannya saja, rumah lamanya tak sebanding dengan rumah baru yang dibeli ayahnya. Namun anehnya Eritha tidak bisa merasa senang dengan fakta itu dan terus-menerus merindukan rumah lamanya yang tua serta kuno tersebut. 

Nyaris Eritha tidak ingin meninggalkan mobil yang menjadi persembunyiannya, jika saja ayahnya tidak membukakannya pintu dan menariknya keluar dengan kata-katanya.

"Ayo kita melihat-lihat rumah baru kita," ajak ayahnya yang membuat Eritha mengambil satu langkah besarnya dan memasuki rumah baru tersebut. 

Setelah berkeliling dan melihat isi rumah tersebut, Eritha menyadari bahwa tidak hanya penampilan luarnya saja yang bagus. Interior rumah itu juga sama bagusnya, terlebih dengan dipadukan perabotan modern yang sedang tren saat ini. 

Bisa dibilang ini adalah rumah impiannya di waktu kecil.

"Bagaimana? Kau senang?" tanya ibunya ketika melihatnya tetap tampak murung setelah melihat rumah luar biasa tersebut. 

Lalu dengan mengulas senyum, Eritha mengangguk setengah hati, "Ya. Rumah ini sangat bagus."

"Lalu bagaimana jika sekarang kita menengok sekolah barumu?" 

Rumah saja sudah membuatnya murung seperti ini, Eritha tidak bisa membayangkan bagaimana jatuh mentalnya nanti setelah ia harus melihat sekolah barunya juga. 

Ia memang tidak memiliki ikatan tersendiri dengan sekolah lamanya, tapi kondisi tidak normal yang dimilikinya membuat Erita merasa tidak siap untuk melihat 'sekolah campuran' yang tampak seperti neraka bagi wanita itu. 

"Kita harus membersihkan rumah dulu. Aku juga akan menata barang bawaanku." Eritha mulai mencari-cari alasan untuk menghindari hal tersebut.

"Ayahmu sudah menyewa seorang untuk membersihkan rumah ini, jadi kita tidak perlu membersihkannya ulang. Lalu mengenai barang bawaan, kita hanya mempunyai sedikit barang bawaan, jadi kau tidak perlu terburu-buru.

Namun ibunya mematahkan semua alasan yang ia gunakan, hingga ia tidak memiliki dalih lagi untuk menghindari sekolah barunya.

"Benar, rumahnya sangat bersih dan aku hanya memiliki sedikit barang bawaan," ujarnya setelah menghela napas. "Baiklah, aku akan melihat sekolah baruku, sekarang."

Eritha tidak mengerti kenapa satu katanya itu bisa membuat kedua orang tuanya sangat senang dan antusias. 

"Kebetulan sekali, sekarang sedang jam pulang sekolah." Ayahnya tersenyum sangat lebar, tanpa mengerti betapa gelisahnya Eritha saat ini lantaran harus menghadapi laki-laki yang selalu dihindari olehnya. "Cepat naik mobil, ayah akan mengantarkanmu sekarang."

"Tidak," tolak Eritha yang nyaris membuat orang tuanya merasa kecewa, tapi jawabannya belum selesai. "Aku akan ke sana seorang diri."

Lalu wajah orang tuanya kembali berseri dengan jawabannya.

"Kau belum pernah ke sana," ucap ibunya khawatir.

Eritha menggerakkan ponselnya. "Aku bisa melihat denah digitalnya."

"Baiklah. Namun jika nanti kau tersesat, segera hubungi ayah. Mengerti?"

Eritha mengangguk. "Ya. Kalau begitu, aku pergi sekarang."

Eritha meninggalkan kedua orang tuanya dan berjalan menuju sekolah yang akan menjadi sekolah barunya besok. 

Seperti kata ayahnya, ia nyaris tersesat. Ia bahkan berputar-putar beberapa kali, sebelum akhirnya ia menemukan lokasi gedung sekolah tersebut. Tak hanya itu, ayahnya juga berkata benar mengenai jam pulang sekolah. 

Sehingga ketika ia sampai di sana, ia melihat segerombolan anak laki-laki yang keluar dari gerbang. 

Jujur saja, baru melihat mereka dari kejauhan seperti ini sudah membuat Eritha gugup. Walaupun ia tidak takut pada semua anak laki-laki, tapi bagaimana jika ia melihat pria tampan di sana dan traumanya kumat, hingga ia mempermalukan dirinya. 

Segera Eritha mengenyahkan pikiran buruk tersebut. Ia tidak boleh pesimis, ketika ia bahkan belum memulai kehidupan barunya.

Ya. Ia harus optimis dan bersemangat.

Usai memenuhi harapan orang tuanya, Eritha henda pergi meninggalkan tempatnya. Namun suara tawa seorang wanita membuatnya langkahnya terhenti. 

Perlahan ia menoleh ke arah sumber suara dan melihat seorang wanita yang sedang bergurau dengan beberapa anak laki-laki, yang anehnya membuat Eritha merasa sedikit iri. Ia membayangkan berada di posisi anak perempuan itu dan memiliki kehidupan normal layaknya anak-anak lain. Pasti kehidupannya akan sangat menyenangkan. 

Lagi-lagi ia mendapati dirinya berpikir macam-macam. 

Memang ada apa dengan kehidupannya? Ia tetap dapat bahagia dengan kondisinya. Ia tetap dapat berinteraksi dengan pria yang tidak menarik menurut pemandangannya.

Ia dapat merahasiakan kebenaran kondisinya.

Dengan begitu, Eritha merasa tidak ada yang perlu ia cemaskan lagi. Kalaupun ia bertemu dengan pria tampan yang dapat membuat traumanya kambuh, ia hanya perlu menjauh dan menghindar. Tidak mungkin kan, teman sekelasnya tampan semua? Jadi dengan perasaan yang sedikit lega, ia melangkahkan kaki meninggalkan tempat tersebut.

Duk. 

Karena tidak melihat ke depan dulu saat berjalan, Eritha tanpa sengaja menabrak seorang pria dan menjatuhkan ponselnya.

"Maafkan aku," gumamnya sambil mendongak menatap pria yang ternyata menggunakan seragam sekolah barunya itu. Namun ...

Melihat wajah tampan pria itu, membuat Eritha berdegup kencang dan ia merasa sangat gugup. Tidak! ia tidak hanya sangat gugup, melainkan terlalu gugup. Sehingga ia lupa pada ponselnya yang terjatuh dan pergi melarikan diri, seperti strategi awalnya. 

"Tunggu ..."

Tanpa menoleh apalagi mendengarkan ucapannya. Eritha berjalan cepat dan pergi menuju jalan rumahnya.

Siapa pria tadi?

"Kuharap aku tidak akan bertemu dengannya di sekolah."

...****************...

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status