Pemandangan macam apa ini?
Di pagi hari yang masih tergolong cerah, seorang wanita duduk di pinggir lapangan sambil menatap kosong ke arah depan. Wanita itu tidak lain adalah Eritha Yessie yang baru-baru ini membuatnya merasa geram.
"Hei, Eritha." Dengan berlaku seolah ramah, Nora menyisir lembut rambut Eritha dengan jemarinya dan menjambaknya rambut wanita itu untuk sedikit mengintimidasi dirinya. "Apa yang kau lakukan di sini?"
Anehnya, wanita itu sama sekali tidak bergerak ataupun melawan, hingga ia sedikit menggerakkan tangannya yang mencengkram erat rambut panjang Eritha. "Jawab aku."
Namun Eritha bersikap terlalu tenang, bahkan tidak menunjukkan perlawanan seperti yang bisa dia lakukan.
"Tinggalkan aku kali ini. Kumohon," jawabnya dengan masih sibuk melamun dalam pikirannya.
Tidak suka diacuhkan begitu saja, Nora membuat masalah lain dengan melemparkan uang ke tanah. "Belikan aku roti."
Namun Eritha bukan siswi biasa, dia tidak begitu mudah takut dengan ucapan Nora, yang selalu ditakuti dan dipatuhi oleh seluruh siswi sekolah tersebut.
"Tidak mau. Belilah makananmu sendiri," tolak Eritha dengan nada bosan dan malas, yang membuat Nora semakin geram.
Hanya, seperti sebelum-sebelumnya, Eritha tidak menanggapinya dan hanya menatap kosong ke depan seolah dia sudah setengah mati.
Hingga tibalah gerombolan wanita menakutkan yang dilihatnya.
Melihat wajahnya yang kesal lantaran tidak dihiraukan, para wanita itu mencoba menghadapi Eritha dan berseru menakutkan padanya.
"Hei, Eritha. Apa yang kau lakukan? Kenapa diam saja?!"
Tidak seperti ketika Eritha membantah dirinya, kali ini wanita itu membalas perlakuan para bawahannya tidak dengan hanya gumaman saja.
Wanita itu mendelik ke arah gerombolan yang sudah menang jumlah itu, lalu membuat mereka takut dengan sorotan mata buas.
Hingga entah bagaimana, para bawahannya yang tidak berguna itu langsung menunduk takut ketika berkontak mata dengannya.
"Lalu kenapa?! Kenapa jika Nora ada di sini?!" amuknya yang membuat para pengecut itu semakin bernyali menciut.
Sungguh memalukan.
"Aku bahkan bukan bawahannya, lalu kenapa aku dilarang untuk diam saja yang menjadi hakku?!" Kini pandangan penuh amarah itu beralih pada Nora, yang sedikit pun tidak merasa takut pada sorot matanya itu.
"Ada apa? Kenapa melihatku seperti itu? Kau pikir aku akan takut?"
"Tidak." jawab Eritha dengan suara lirih yang bercampur getir. "Kau tidak akan takut."
Lalu Nora membalas Eritha dengan tatapan mata yang dingin dan menyeramkan. "Lalu kenapa kau melihatku seperti itu?"
"Karena aku tidak takut," sahut Nora dengan suara yang dalam. "Seperti kau yang tidak merasa takut padaku, aku pun tidak takut padamu."
Lalu dengan kecepatan tangannya, Eritha menjambak rambur Nora tanpa memberinya kesempatan untuk mengelak. Hingga dalam hitungan detik, tangan Eritha sudah menguasai rambutnya yang diikat dengan ekor kuda dan menariknya kasar.
"Ah!" jeritnya ketika Nora merasa seluruh rambutnya nyaris tercabut dari kepalanya. "Apa yang kau lakukan?!"
Lucunya, gerombolan yang selalu menunjukkan rasa hormat padanya dan takut padanya itu, mereka hanya terdiam mematung ketika Eritha menarik-narik rambutnya dan tidak memberikan perlawanan apapun.
Mereka hanya menampakkan rasa khawatir mereka dari ekspresi wajahnya. Namun rasa khawatir itu tampak palsu ketika mereka bahkan tidak berusaha untuk melepaskannya.
"Apa yang kulakukan?" Eritha mengulang kembali pertanyaannya dan tersenyum licik padanya. "Aku hanya ingin membuktikan kalau aku tidak takut padamu."
"Ah!" Sekali lagi Nora menjerit ketika kepalanya yang sudah merasa pusing dengan cengkraman tangan Eritha, kini diguncang-guncang dengan sangat kasar.
"Apakah terasa sangat sakit? Sesakit itukah?" tanya Eritha yang secara harga diri tidak dapat ia jawab dengan jujur. "Ini juga rasa yang kurasakan ketika kau menjambak rambutku dan menyusahkanku."
Lalu dengan rasa bangga, Eritha menyombongkan sikap setia kawan yang membuat Nora sangat muak dengannya. "Aku tidak melawan, bukan karena tidak dapat melawan. Namun aku mencoba untuk menghargai pertemanan kita di masa lalu. Bagaimana pun sebelum hubungan kita memburuk, kita adalah teman yang sangat baik bagi satu sama lain. Jadi aku tidak menghiraukan perlakuan kasarmu."
"Berhenti bicara seolah kau peduli dengan temanmu," sahut Nora yang merasa geli ketika melihat wanita itu menjunjung tinggi nilai persahabat, setelah menusuknya dari belakang. "Kau hanyalah seorang penipu, kau tahu?"
"Terserah padamu saja," jawabnya sambil menatap Nora lekat-lekat. "Hanya saja kau sudah kehilangan waktu untuk memperbaiki sikapmu. Aku tidak bisa bersabar lagi, tidak, lebih tepatnya aku tidak memiliki waktu untuk bersabar padamu. Sebagai kawan aku akan memberimu pelajaran."
Entah apa yang dibicarakan dan dikatakannya, Eritha tiba-tiba melepaskan rambutnya dan menyerangnya dengan satu tamparan kuat hingga suara dari pukulan itu terdengar sangat nyaring.
Plak!
Nora memegang pipinya yang mungkin saat ini menjadi kemerahan dan menatap Eritha dalam geram.
"Apa yang kau lakukan?!"
"Sudah jelas, aku menamparmu," jawabnya sangat ringan.
Ia merasa tidak terima dengan tamparan yang ia rasakan, tapi dengan pipi yang terasa panas itu, Nora merasa terlalu malu untuk banyak berbicara.
Eritha berjalan mendekatinya, "Beberapa waktu yang lalu aku merasa tidak beruntung dengan kondisi keluargaku. Namun kini aku merasa lebih baik dan sangat beruntung. Karena berkat kondisi ini, aku setidaknya bisa membalasmu satu kali saja."
"Kalian." Sekarang Eritha berbicara dengan para pengikutnya dan menendang ringan uangnya —yang ia lemparkan tadi— ke arah mereka. "Ambil uang ini, bos kalian sepertinya lapar jadi belikan dia roti."
Lalu dengan ketakutan yang ekstrim, pengikutnya yang mengintimidasi semua orang itu, tiba-tiba melunak bagaikan hewan jinak. Tanpa memiliki harga diri, mereka benar-benar memungut uangnya dan mengangguk dengan gemetar. "Baiklah."
Eritha menepuk Nora yang masih terdiam kaku, lalu mengatakan hal yang tidak dapat dimengerti oleh Nora.
"Ini adalah salam perpisahanku. Aku harap kau hidup dengan lebih baik." Sambil melirik ke arah kelompok pengikutnya, Eritha menunjuk mereka secara tidak langsung. "Biar kuperingatkan kau untuk yang terakhir kalinya, kau tidak cocok dengan hal norak seperti ini. Jadi sadarlah dan berhenti bermain seolah kau adalah preman wanita."
Dengan gaya yang sangat keren, Eritha kembali menyapa sekumpulan pengecut itu, "Teman-teman, kuucapkan selamat tinggal dan kuharap kita tidak akan bertemu lagi."
Kemudian Eritha menoleh ke arahnya dan menunjuk Nora, "Kau juga, kuharap kita tidak akan bertemu lagi."
Seusai mengatakan salam yang masih terdengar misterius itu, Eritha pergi meninggalkan mereka tanpa sedikit pun berbalik.
Tidak pernah Nora sangka, ucapannya bukan hanya sebuah isapan jempol belaka.
Karena setelah hari itu, Nora tidak melihatnya lagi. Baik di kelas, maupun asrama.
Hingga guru wali kelasnya menyampaikan kabar menggantikan wanita itu, yang menyatakan bahwa Eritha sudah tidak bersekolah lagi di sana. Dia sudah pindah ke sekolah lain.
...****************...
Kepindahan orang tua Erita adalah sebuah peristia yang tidak terelakkan. Erita tahu betapa ia seharusnya bersyukur dan mendukung ayahnya dalam promosi yang didapatkannya. Atas dasar pemikiran tersebut, Eritha memilih untuk menjadi pihak yang mengerti orang tuanya, setelah selama ini orang tuanya yang terus-menerus mencoba mengerti dan juga selalu memahami dirinya.Dengan berbicara empat mata, ia menyatakan kesediaannya untuk pindah dan sebelum ia merubah pikirannya, ayahnya segera memproses kepindahannya. Sehingga hanya berselang beberapa hari setelah pengambilan keputusannya yang sangat besar tersebut, ia beserta keluarganya sudah siap untuk pindah ke tempat baru yang tentu sudah dipersiapkan dengan sangat baik oleh ayahnya.Pindahan yang ada di bayangannya Eritha, ternyata sangat berbeda dalam kenyataannya. Ia kira, ia akan mengemasi beberapa hal dan orang tuanya harus menyewa angkutan untuk membawa sejumlah perabotan. Namun kenyataannya sangat bertolak b
Hari pertama sekolah Eritha akhirnya tiba. Mungkin terlalu berlebihan mengatakan bahwa 'ini hari pertamanya sekolah', mengingat sekarang bukan bulan Juli dan dia sudah dibangku kelas tiga. Namun melihat Eritha berangkat ke sekolah setiap hari, setelah selama ini ia selalu mengirimkan putrinya ke sekolah asrama, membuatnya merasa sangat senang.Hingga ia tak bisa menahan rasa antusiasnya dan bangun sangat awal untuk membuatkan bekal bagi putri semata wayangnya."Apa yang ibu lakukan? Sekarang masih terlalu pagi." Eritha mendekatinya sambil menggosok matanya yang masih enggan terbuka."Astaga, maafkan Ibu. Ibu pasti memasak dengan sangat berisik," ujar ibu Eritha dengan wajah yang merasa bersalah.Namun putrinya menggelengkan kepala dan menampik suara berisik yang timbul ketika pisau dapurnya berantukan dengan talenan kayu yang mengalasi sayurannya."Kenapa sudah bangun? Pergilah ke kamarmu dan lanjutkan tidurmu sebentar lagi," peri
Kenapa ia membawanya?Aliando menatap ponsel yang kemarin dijatuhkan seorang wanita yang tidak sengaja ia temui di depan sekolah. Entah apa yang membuat wanita itu berlari pergi begitu saja, hingga dia tidak mengambil ponselnya yang terjatuh.Wanita yang aneh. Tidak biasanya orang membuang ponselnya dan pergi begitu saja.Namun dibandingkan wanita itu, Aliando merasa dirinya yang lebih aneh.Kenapa dia harus membawa ponselnya di saat ia sendiri tidak kenal siapa pemiliknya. Kemarin gadis itu bahkan tidak memakai seragam sekolahnya, yang berarti kemungkinan untuk bertemu di sekolah sangat kecil. Terlebih, sekalipun dia murid sekolahnya, Arlando belum tentu dapat bertemu dengannya mengingat murid di sekolah tersebut sangat banyak.Jadi selagi memasukkan telepon genggam tersebut ke dalam saku, ia bergumam atas kemustahilan pertemuan mereka kembali."Tidak mungkin. Aku pasti tidak akan bertemu wanita itu lagi. Jika bertemu, mak
Selama di kelas Eritha merasa sangat gugup. Awalnya ketika memasuki kelas, ia tidak merasa bahwa ada orang yang dapat memancing traumanya kambuh. Namun baru saja ia merasa sedikit tenang, seorang pria yang entah siapa namanya, dia muncul dan membuat semua harapannya runtuh.Kenapa harus ada pria tampan di kelasnya? Kenapa ia merasa tidak aman bahkan ketika ia berada di kelas?Bukan maksudnya untuk mengatakan kalau murid laki-laki di kelasnya —selain pria itu— memiliki paras yang tidak tampan. Mereka semua memiliki wajah yang lumayan, tapi mereka tidak sesuai dengan pria idealnya. Sedangkan pria itu ..., astaga, Eritha bahkan sampai tak mampu berkata-kata karena penampilannya yang begitu menarik untuknya."Huh." Tanpa sengaja ia menghela napas terlalu keras yang akhirnya didengarkan oleh ketua kelasnya."Ada apa? Apakah ada masalah?" tanya Juanita yang sedari tadi terus memberinya perhatian penuh lantaran tanggung jawabnya sebagai ketua k
Di jam istirahat, Juanita langsung menculik Eritha begitu saja. Arlando menebak, wanita itu pasti sedang mengajaknya berkeliling sambil membuatnya lelah seharian ini dengan tur keliling sekolahnya. Astaga, memiliki ketu kelas yang terlalu bersemangat juga adalah bencana tersendiri.Arlando yang terpaksa harus menunda keinginannya untuk berbicara dengan siswa baru itu pun, memilih untuk bermain basket untuk menghabiskan waktu luangnya. Apalagi sekarang di depannya sudah berdiri Eric Philip yang sangat gila basket, hingga membuat siapapun kelelahan dengan semangatnya yang berapi-api. Pria ini sangat mirip dengan Juanita, hanya mereka menggunakan metode yang berbeda untuk melelahkan sekitarnya."Aku akan beristirahat," ujarnya sambil melemparkan bola yang ada di tangannya ke arah pria tersebut dan pergi meninggalkannya bermain seorang diri."Baiklah."Lantaran kekurangan cairan tubuh, Arlando berjalan menuju kantin. Namun tak ia sangka, ia
Kriiinngg ...Suara telepon yang berdering di ruang kerjanya berbunyi sangat keras, hingga tanpa istrinya perlu berteriak memberitahunya, Ayah Eritha sudah mengangkat telepon itu dan menempelkan gagang teleponnya di telinga."Halo.""Halo."Terdengar suara atasannya dari ujung telepon tersebut. "Bagaimana kabarmu? Kau sudah melihat bagaimana kantormu di sana?"Meskipun itu bukan panggilan video, Ayah Eritha mengangguk dan menjawabnya dengan suara yang terdengar sangat bersyukur. "Ya. Aku sudah melihat kantornya. Terimakasih sudah mengirimkanku kemari, pak.""Apa maksudmu? Aku sangat menyesal mengirim seorang yang kompeten sepertimu ke sana." terdengar suara atasannya yang tampak tidak senang dengan ucapan terimakasih darinya, "Kenapa kau harus pergi ke sana? Padahal aku sudah menyediakan jabatan yang sangat tinggi untukmu? Kau tahu, jabatan pimpinan cabang tidak akan ada apa-apanya dibanding menjabat sebagai direktur di kantor pusat."
Eritha berangkat ke sekolah dengan seluruh energi yang meluruh dari dirinya. Semalam ia tak bisa tidur. Ia tak bisa berhenti memikirkan bagaimana kejadian besok. Meskipun hari kemarin ia bisa menghindari pria yang bernama Arlando itu, tapi ia sadar bahwa ia tak bisa melakukan itu selamanya. Terlebih mereka teman sekelas, pasti ada banyak hal yang harus dilakukan teman sekelas, walaupun tidak dekat satu sama lain.Itu belum lagi dengan adanya kemungkinan pria lain. Bagaimanapun laki-laki tampan tak hanya ada satu di sekolah sebesar itu. Pasti ada beberapa.Bagaimana jika ia bertemu dengan beberapa sekaligus dan menunjukkan tanda-tanda trauma?Padahal ia ingin merahasiakan hal itu di sekolahnya yang baru.Pikiran demi pikiran membuat terlalu kalut pada masalahnya. Hingga ketika ia tersadar, ia melihat bahwa gerbang sekolah yang sangat ingin dihindari olehnya ternyata sudah ada di depan mata.Di dalam hati ia mulai memikir-mikirkan h
Arlando tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi.Sesaat yang lalu ia masih sibuk bermain basket di pagi hari bersama temannya Eric. Pertandingan individu mereka sangat ketat dan di tengah bermain, mendadak temannya kehilangan fokus lantaran ada seorang wanita yang berjalan cepat dengan gerak-gerik yang mencurigakan."Eritha," panggil Eric yang membuat Arlandi terkejut lantaran tidak menyangka wanita yang berjalan aneh itu adalah siswa baru yang sedang dipuji oleh para pria dengan kecantikannya.Meskipun namanya dipanggil, wanita itu hanya terdiam memaku, tanpa memalingkan wajah ke arah Eric. Hingga pria itu pun kembali memanggil namanya untuk kedua kali.""Eritha."Lalu perlahan wanita itu pun menoleh dan ternyata dia memang benar-benar si siswa pindahan.Kenapa dia tindak sangat aneh?Meskipun Arlando sudah melihat keanehannya di depan kantin hari itu, tapi ia tetap tak bisa terbiasa dengan ke-antikannya.