"Kau mau kemana?" tanya teman satu kamarnya, ketika melihat Eritha tidak segera mengenakan seragam untuk masuk sekolah.
Selagi memamerkan pakaian bebasnya, Eritha menunjukkan hari liburnya lantaran sudah mengantongi ijin dari kedua orang tuanya. "Pagi ini orang tuaku meminta ijin pada guru untuk memperbolehkan aku meninggalkan kelas dan asrama. Katanya mereka ingin mengatakan hal yang penting padaku."
"Benarkah?" sahut temannya yang tampak sangat iri. "Andai orang tuaku juga memiliki hal yang ingin dibicarakan denganku."
Mereka pun terkekeh bersama.
"Omong-omong, apa yang ingin orang tuaku bicarakan ya?" tanyanya penasaran lantaran tidak biasa orang tuanya akan memanggilnya seperti itu untuk hanya mengobrol hal yang biasa.
Pembicaraan kali ini pasti sangat penting sehingga mereka mengijinkannya tidak hadir dalam kelas.
"Kuharap itu bukan kabar buruk," ujar temannya yang seolah sedang menyuarakan harapannya.
"Benar." gumamnya sambil membayangkan kabar apa yang akan dia dengar. "Kalau begitu aku pergi dulu, aku akan segera kembali."
Eritha meninggalkan asramanya dengan perasaan bebas, bak seekor burung yang terlepas dari kandang. Setelah berminggu-minggu terkurung dalam asrama sekolah wanita itu, akhirnya ia dapat menghirup dunia luar dan mengunjungi rumah tempatnya dilahirkan dan dibesarkan.
Sesampai di depan rumahnya, Eritha terdiam sejenak selagi sedikit bernostalgia. Rasa rindu, bahagia dan haru, langsung melebur menjadi satu hingga ia terdiam sesaat, sambil menatap rumahnya dari luar.
"Kau sudah datang?" Suara ayahnya terdengar dari belakang punggungnya.
Sontak, Eritha menoleh ke belakang dan senyum lebar langsyng memenuhi wajahnya.
"Ayah," sapanya sambil memeluk ayahnya yang tampak lebih kurus dibandingkan sebelumnya. "Kenapa ayah jadi lebih kurus? Apakah pekerjaan ayah sangat berat?"
"Ah, itu karena ayah harus pulang pergi ke luar kota untuk mengurus kepindahan."
Kepindahan?
Merasa ia mungkin salah dengar, Eritha melepaskan pelukannya dan menatap ayahnya lekat-lekat untuk mendapatkan penjelasan lebih. "Apa?"
Namun seolah sedang menunda rasa penasarannya, ayah Eritha tidak lekas menjawab pertanyaan dan justru menyuruhnya untuk masuk ke dalam rumah lebih dulu. "Ayo kita masuk dan bicara di dalam."
Melihat ayahnya enggan berbicara di luar, membuat Eritha menjadi sedikit gelisah. Kira-kira kabar serius apa yang akan disampaikan orang tuanya padanya.
Selagi masuk ke dalam rumah, ia harap itu bukan berita perceraian yang selama ini ia dengar dari tayangan televisi dan cerita teman-temannya. Meskipun terdengar sangat mustahil, tapi ia dengar perpisahan rumah tangga sedang sangat marak saat-saat ini. Ia harap keluarganya bukan salah satunya.
Dengan berhati-hati, Eritha menapakkan kakinya masuk ke dalam rumah yang lebih terlihat seperti mengendap-endap.
Namun suara menggelegar ayahnya, membuat ibu Eritha segera menyadari keberadaan putrinya yang sudah tiba di rumah.
"Sayang, putri kita sudah sampai," seru antusias ayahnya yang diikuti dengan derap langkah ibu Eritha, yang terdengar sangat terburu-buru.
"Eritha, kau sudah pulang?" gerutu ibunya dengan wajah yang sangat bahagia. "Seharusnya kau lekas memanggil ibu, begitu kau masuk ke dalam rumah."
"Dia baru saja datang." Ayah Eritha mencoba untuk menghentikan keluhan ibunya. Lalu dia mengeluarkan bungkusan bumbu dari saku jaketnya sambil berjalan menuju dapur. "Aku sudah membeli bumbu lada. Di mana aku harus meletakkannya?"
Kini dari dirinya, ibunya beralih perhatian pada ayahnya dan mengekori pria itu yang lebih dahulu masuk ke dalam dapur. "Letakkan saja di sana."
"Eritha, cepat cuci tanganmu dan duduklah menunggu di ruang tengah. Jangan khawatir, makanannya akan segera selesai," ujar cepat ibunya selagi berjalan cepat ke arah dapur.
"Ya," sahutnya yang pasti tidak akan terdengar oleh dua orang yang sedang sibuk di dapur tersebut.
Seperti instruksi ibunya, Eritha membasuk tangan dan kakinya. Lalu seusai memastikan dirinya sudah bersih, ia duduk di sofa ruang tengah sambil menikmati pemandangan keluarga bahagia yang tergambar dari kerja sama kedua orang tuanya.
Benar. Orang tuanya tidak tampak sedang bertengkar ataupun bermusuhan. Jadi pasti kabar yang ia dengar bukan mengenai perceraian.
Dalam kepolosannya, Eritha menghela napas lega dan kembali tersenyum lebar.
Namun tetap saja, di sudut hatinya yang paling dalam, ia sedikit terganggu dengan kabar yang siap menantinya di meja makan. Kira-kira apa yang akan dibicarakan orang tuanya? Selain itu, apa maksud ayahnya di depan rumah tadi?
Baru ia hendak menganalisa dan memperkirakannya, orang tuanya sudah memanggilnya untuk segera ke ruang makan dan ia langsung dijamu oleh penampakan jamuan pagi yang terlalu besar untuk keluarga yang hanya berisikan tiga orang.
"Apa ini? Apakah ada acara besar?" tanya Eritha sambil mengingat-ingat hari ulang tahun orang tuanya yang seharusnya masih jauh dari hari ini.
Namun orang tuanya meng-iyakan pertanyaannya, yang ia tahu jelas bahwa tidak ada acara besar di hari itu. "Iya, ada acara besar."
"Acara besar apa?" tanyanya penasaran yang lagi-lagi ditunda oleh ayahnya.
"Kita bicarakan nanti, setelah makan," ujar ayahnya yang membuat Eritha makin terbakar oleh rasa ingin tahu.
"Kenapa?" ucapnya kecewa.
Ketika ia mencoba untuk mendapat pembelaan dari ibunya, ibu Eritha —seperti biasa— selalu mendukung ayahnya.
"Benar. Kita akan makan dulu. Aku yakin kau belum sarapan di asrama karena terburu-buru kemari."
Akhirnya Eritha mengangguk setuju dan menekan rasa penasarannya agar perutnya yang keroncongan dapat terisi lebih dulu. "Baiklah."
"Kalau begitu, ayo kita makan."
Meskipun orang tuanya berkata 'setelah makan', tapi pada kenyataannya ketika mereka baru tengah menghabiskan makanan ibunya, perbincangan serius itu pun dimulai. Namun dibuka dengan sebuah pertanyaan yang alami.
"Bagaimana dengan sekolahmu?" tanya ayahnya ketika ia sedang menikmati makanannya.
"Baik," jawabnya singkat karena tidak tahu harus menjawab ayahnya dengan kalimat apa yang lebih mendekati kondisinya, selain kata sederhana 'baik' tersebut.
"Bagaimana jika kita mencari sekolah lain yang lebih baik daripada sekolahmu yang sekarang?" tawar ayahnya yang tidak terdengar menarik di telinganya.
"Untuk apa? Lagipula sekolahku tidak seburuk itu, jadi aku tidak mau membuang uang untuk hal yang kurang perlu," tolaknya yang membuat kedua orang tuanya tampak sedikit cemas.
Lalu dengan hati-hati, ayahnya menyampaikan kabar yang —beberapa menit lalu— membuat ia penasaran setengah mati. "Masalahnya, ayah akan segera dipindahkan ke kota lain."
Nyaris saja sendoknya terlepas dari tangannya karena mendengar kabar mendadak tersebut. Entah itu kabar baik atau buruk, Eritha hanya dapat menanggapi kabar besar itu dengan melenggong menatap kedua orang tuanya.
"Ayahmu dipromosikan menjadi kepala kantor cabang di luar kota," imbuh ibunya dengan perasaan bahagia, tapi juga sedih. "Jadi kita harus pindah dari tempat ini."
Baiklah. Ini adalah kabar yang membahagiakan. Jadi Eritha harus memberikan ayahnya ucapan selamat yang pantas diterima oleh ayahnya. "Selamat ayah."
"Ya, terimakasih. Namun seperti yang kau tahu, kita tidak hanya akan pindah rumah, tapi juga pindah sekolah. Jadi ayah sudah mencari daftar sekolah yang bisa kau masuki." Dari meja terdekatnya, ayah Eritha meraih sebuah kertas yang sudah ia sediakan di sana dan menyerahkan kertas berisikan nama sekolah tersebut.
Eritha menerima kertas itu dan melihatnya sambil lalu, sebelum ia menyerahkannya kembali kepada ayahnya, "Mana pun itu, tidak masalah. Bagiku, yang terpenting adalah sekolah wanita."
Dengan jawaban sesederhana itu, orang tuanya langsung memucat yang membuatnya mendapatkan firasat aneh.
Lucunya, firasat aneh Eritha selalu menjadi kenyataan.
"Masalahnya tidak ada sekolah wanita di sana."
Eritha langsung mendelik mendengar berita itu, lebih dari berita ketika ayahnya menyatakan kalau dirinya mendapatkan promosi di luar kota.
"Apa?! Kalau begitu, aku tidak mau pindah. Aku akan sekolah di sini saja, lagipula sekolahku adalah sekolah asrama. Jadi tidak akan terlalu masalah," putusnya yang rupanya mengecewakan kedua orang tuanya.
Ayahnya memegang tangannya dan mencoba merayunya agar ikut pindah bersama mereka. "Meskipun kau tinggal di asrama, tapi kami tidak bisa tinggal jauh darimu."
Ini sungguh membuatnya frustasi, sehingga ia harus mengingatkan orang tuanya betapa sangat tidak normal-nya kondisi mentalnya saat ini. "Ayah, ibu. Bagaimana kalian bisa menyuruhku masuk ke dalam sekolah campuran. Seperti yang kalian tahu, aku trauma pada laki-laki tampan. Jika itu laki-laki, maka aku didiagnosis dengan penyakit caligynephobia. Aku ini tidak normal."
Setelah ayahnya, kini ibu Eritha yang bergiliran meyakinkannya. "Eritha, apakah kau akan menghindari trauma-mu selamanya? Kau ingat apa kata dokter terakhir kali? Dokter menyarankanmu untuk menghadapi rasa takutmu."
Eritha menggeleng, ia tak menyangka bahwa kabar promosi ayahnya akan menjadi kabar buruk untuknya. Kabar buruk yang setara dengan kabar perceraian orang tuanya.
'Aku, seorang wanita yang mengidap trauma tanpa nama, kini harus terbangun dari rasa nyamannya dan menghadapi kenyataan hidupnya.'
...****************...
Pemandangan macam apa ini?Di pagi hari yang masih tergolong cerah, seorang wanita duduk di pinggir lapangan sambil menatap kosong ke arah depan. Wanita itu tidak lain adalah Eritha Yessie yang baru-baru ini membuatnya merasa geram."Hei, Eritha." Dengan berlaku seolah ramah, Nora menyisir lembut rambut Eritha dengan jemarinya dan menjambaknya rambut wanita itu untuk sedikit mengintimidasi dirinya. "Apa yang kau lakukan di sini?"Anehnya, wanita itu sama sekali tidak bergerak ataupun melawan, hingga ia sedikit menggerakkan tangannya yang mencengkram erat rambut panjang Eritha. "Jawab aku."Namun Eritha bersikap terlalu tenang, bahkan tidak menunjukkan perlawanan seperti yang bisa dia lakukan."Tinggalkan aku kali ini. Kumohon," jawabnya dengan masih sibuk melamun dalam pikirannya.Tidak suka diacuhkan begitu saja, Nora membuat masalah lain dengan melemparkan uang ke tanah. "Belikan aku roti."Namun Eritha bukan siswi biasa, dia tidak
Kepindahan orang tua Erita adalah sebuah peristia yang tidak terelakkan. Erita tahu betapa ia seharusnya bersyukur dan mendukung ayahnya dalam promosi yang didapatkannya. Atas dasar pemikiran tersebut, Eritha memilih untuk menjadi pihak yang mengerti orang tuanya, setelah selama ini orang tuanya yang terus-menerus mencoba mengerti dan juga selalu memahami dirinya.Dengan berbicara empat mata, ia menyatakan kesediaannya untuk pindah dan sebelum ia merubah pikirannya, ayahnya segera memproses kepindahannya. Sehingga hanya berselang beberapa hari setelah pengambilan keputusannya yang sangat besar tersebut, ia beserta keluarganya sudah siap untuk pindah ke tempat baru yang tentu sudah dipersiapkan dengan sangat baik oleh ayahnya.Pindahan yang ada di bayangannya Eritha, ternyata sangat berbeda dalam kenyataannya. Ia kira, ia akan mengemasi beberapa hal dan orang tuanya harus menyewa angkutan untuk membawa sejumlah perabotan. Namun kenyataannya sangat bertolak b
Hari pertama sekolah Eritha akhirnya tiba. Mungkin terlalu berlebihan mengatakan bahwa 'ini hari pertamanya sekolah', mengingat sekarang bukan bulan Juli dan dia sudah dibangku kelas tiga. Namun melihat Eritha berangkat ke sekolah setiap hari, setelah selama ini ia selalu mengirimkan putrinya ke sekolah asrama, membuatnya merasa sangat senang.Hingga ia tak bisa menahan rasa antusiasnya dan bangun sangat awal untuk membuatkan bekal bagi putri semata wayangnya."Apa yang ibu lakukan? Sekarang masih terlalu pagi." Eritha mendekatinya sambil menggosok matanya yang masih enggan terbuka."Astaga, maafkan Ibu. Ibu pasti memasak dengan sangat berisik," ujar ibu Eritha dengan wajah yang merasa bersalah.Namun putrinya menggelengkan kepala dan menampik suara berisik yang timbul ketika pisau dapurnya berantukan dengan talenan kayu yang mengalasi sayurannya."Kenapa sudah bangun? Pergilah ke kamarmu dan lanjutkan tidurmu sebentar lagi," peri
Kenapa ia membawanya?Aliando menatap ponsel yang kemarin dijatuhkan seorang wanita yang tidak sengaja ia temui di depan sekolah. Entah apa yang membuat wanita itu berlari pergi begitu saja, hingga dia tidak mengambil ponselnya yang terjatuh.Wanita yang aneh. Tidak biasanya orang membuang ponselnya dan pergi begitu saja.Namun dibandingkan wanita itu, Aliando merasa dirinya yang lebih aneh.Kenapa dia harus membawa ponselnya di saat ia sendiri tidak kenal siapa pemiliknya. Kemarin gadis itu bahkan tidak memakai seragam sekolahnya, yang berarti kemungkinan untuk bertemu di sekolah sangat kecil. Terlebih, sekalipun dia murid sekolahnya, Arlando belum tentu dapat bertemu dengannya mengingat murid di sekolah tersebut sangat banyak.Jadi selagi memasukkan telepon genggam tersebut ke dalam saku, ia bergumam atas kemustahilan pertemuan mereka kembali."Tidak mungkin. Aku pasti tidak akan bertemu wanita itu lagi. Jika bertemu, mak
Selama di kelas Eritha merasa sangat gugup. Awalnya ketika memasuki kelas, ia tidak merasa bahwa ada orang yang dapat memancing traumanya kambuh. Namun baru saja ia merasa sedikit tenang, seorang pria yang entah siapa namanya, dia muncul dan membuat semua harapannya runtuh.Kenapa harus ada pria tampan di kelasnya? Kenapa ia merasa tidak aman bahkan ketika ia berada di kelas?Bukan maksudnya untuk mengatakan kalau murid laki-laki di kelasnya —selain pria itu— memiliki paras yang tidak tampan. Mereka semua memiliki wajah yang lumayan, tapi mereka tidak sesuai dengan pria idealnya. Sedangkan pria itu ..., astaga, Eritha bahkan sampai tak mampu berkata-kata karena penampilannya yang begitu menarik untuknya."Huh." Tanpa sengaja ia menghela napas terlalu keras yang akhirnya didengarkan oleh ketua kelasnya."Ada apa? Apakah ada masalah?" tanya Juanita yang sedari tadi terus memberinya perhatian penuh lantaran tanggung jawabnya sebagai ketua k
Di jam istirahat, Juanita langsung menculik Eritha begitu saja. Arlando menebak, wanita itu pasti sedang mengajaknya berkeliling sambil membuatnya lelah seharian ini dengan tur keliling sekolahnya. Astaga, memiliki ketu kelas yang terlalu bersemangat juga adalah bencana tersendiri.Arlando yang terpaksa harus menunda keinginannya untuk berbicara dengan siswa baru itu pun, memilih untuk bermain basket untuk menghabiskan waktu luangnya. Apalagi sekarang di depannya sudah berdiri Eric Philip yang sangat gila basket, hingga membuat siapapun kelelahan dengan semangatnya yang berapi-api. Pria ini sangat mirip dengan Juanita, hanya mereka menggunakan metode yang berbeda untuk melelahkan sekitarnya."Aku akan beristirahat," ujarnya sambil melemparkan bola yang ada di tangannya ke arah pria tersebut dan pergi meninggalkannya bermain seorang diri."Baiklah."Lantaran kekurangan cairan tubuh, Arlando berjalan menuju kantin. Namun tak ia sangka, ia
Kriiinngg ...Suara telepon yang berdering di ruang kerjanya berbunyi sangat keras, hingga tanpa istrinya perlu berteriak memberitahunya, Ayah Eritha sudah mengangkat telepon itu dan menempelkan gagang teleponnya di telinga."Halo.""Halo."Terdengar suara atasannya dari ujung telepon tersebut. "Bagaimana kabarmu? Kau sudah melihat bagaimana kantormu di sana?"Meskipun itu bukan panggilan video, Ayah Eritha mengangguk dan menjawabnya dengan suara yang terdengar sangat bersyukur. "Ya. Aku sudah melihat kantornya. Terimakasih sudah mengirimkanku kemari, pak.""Apa maksudmu? Aku sangat menyesal mengirim seorang yang kompeten sepertimu ke sana." terdengar suara atasannya yang tampak tidak senang dengan ucapan terimakasih darinya, "Kenapa kau harus pergi ke sana? Padahal aku sudah menyediakan jabatan yang sangat tinggi untukmu? Kau tahu, jabatan pimpinan cabang tidak akan ada apa-apanya dibanding menjabat sebagai direktur di kantor pusat."
Eritha berangkat ke sekolah dengan seluruh energi yang meluruh dari dirinya. Semalam ia tak bisa tidur. Ia tak bisa berhenti memikirkan bagaimana kejadian besok. Meskipun hari kemarin ia bisa menghindari pria yang bernama Arlando itu, tapi ia sadar bahwa ia tak bisa melakukan itu selamanya. Terlebih mereka teman sekelas, pasti ada banyak hal yang harus dilakukan teman sekelas, walaupun tidak dekat satu sama lain.Itu belum lagi dengan adanya kemungkinan pria lain. Bagaimanapun laki-laki tampan tak hanya ada satu di sekolah sebesar itu. Pasti ada beberapa.Bagaimana jika ia bertemu dengan beberapa sekaligus dan menunjukkan tanda-tanda trauma?Padahal ia ingin merahasiakan hal itu di sekolahnya yang baru.Pikiran demi pikiran membuat terlalu kalut pada masalahnya. Hingga ketika ia tersadar, ia melihat bahwa gerbang sekolah yang sangat ingin dihindari olehnya ternyata sudah ada di depan mata.Di dalam hati ia mulai memikir-mikirkan h