Share

Let Us Love in Distance
Let Us Love in Distance
Penulis: Naomifa

Prolog

"Eritha, cepat keluar dan ayo kita segera sarapan. Sebentar lagi kau akan terlambat."

Begitulah gambaran pagi harinya yang diwarnai dengan teriakan ibunya. 

"Ya. Aku keluar sekarang," teriak Eritha yang masih terpaku memandangi pantulan dirinya —yang terdiam tanpa ekspresi— di depan cermin. Lalu setelah mengamati lebih lama, akhirnya ia membuka pintu dan menapakkan kakinya keluar dari kamar. 

"Aku akan pergi sekarang," ujar Eritha pada ibunya yang tampak sangat sibuk berjalan bolak-balik antara dapur dan ruang makan.

"Kenapa terburu-buru? Ayo, kita sarapan bersama," bujuk ibunya yang berusaha menahannya lebih lama. 

"Iya, ayah dapat mengantarkanmu ke sekolah." Ayahnya yang sibuk membantu ibunya, kini menguatkan pendapat ibunya dan menawarkannya tawaran yang cukup menarik.

Namun dengan rasa bersalah, Eritha menolak tawaran kedua orang tuanya dan mencangklong tas punggungnya selagi berjalan keluar, menuju sepatu hitamnya yang sudah ia sikat mengkilat sejak pagi ini. "Tidak perlu, aku bisa berjalan ke sekolah, lagipula aku sedang tidak nafsu makan. Aku pergi, Ayah, Ibu."

"Baiklah. Sampai jumpa nanti." 

"Sampai jumpa, putriku. Semoga harimu indah."

Ya. Semoga saja begitu. Ia bahkan tidak mengharapkan sesuatu yang muluk-muluk dan hanya menginginkan ketenangan setidaknya untuk satu hari ini saja. 

Lalu sambil mengulas senyum palsu, Eritha melambaikan tangan dan berjalan meninggalkan rumahnya yang tampak asing, tak peduli sudah berapa malam ia habiskan di tempat tersebut. 

Dengan seragam yang masih belum terasa biasa di tubuhnya, ia menyusuri jalan yang belum dapat ia ingat sepenuhnya. Rasa cemas mengganggu dirinya dan ia rasa semua orang dapat memaklumi perasaannya, lantaran bukan sesuatu yang mudah untuk tinggal di lingkungan baru. Oleh sebab itu, ia mencoba membesarkan hati dan meyakinkan jiwanya kalau semua akan baik-baik saja setelah ia mulai terbiasa dengan kehidupan barunya.

Jadi, sambil menggumamkan lagu kesukaannya, Eritha berusaha menikmati angin sejuk yang menerpa dirinya, serta cuaca indah yang tengah menghiburnya dari kegelisahan yang sedang ia alami. 

Lalu selangkah demi selangkah, tibalah Eritha di sebuah sekolah yang cukup terkenal dan bergengsi, tempat di mana orang yang 'beruntung' seperti dirinya menimba ilmu.

Walaupun ia tidak begitu yakin apakah dengan kata 'beruntung' yang diemban olehnya, akan benar-benar berarti beruntung atau tidak.

"Eritha. Good morning." Juanita merangkulnya dari belakang dan memberinya sapaan pagi yang sangat ceria.

Baiklah. Ia juga harus ceria.

Eritha membalas senyum temannya dan menyapanya ganti. "Selamat pagi."

Meskipun ia sedang berusaha menutupi kemurungannya, rupanya temannya itu cukup teliti, hingga dia bisa melihat sisa kelelahan yang tampak dari warna hitam di bawah matanya. 

"Ada apa ini? Apakah semalam kau tidak bisa tidur? Apakah ada masalah?"

Spontan jemarinya terangkat dan menyentuh bawah matanya. "Apakah aku terlihat begitu? Apakah sangat buruk?"

Di saat ia bertanya dengan sungguh-sungguh, anehnya Juanita justru tertawa dan mengatakan hal yang membuatnya sedikit melongo. 

"Bercanda. Aku hanya bercanda, karena kulihat kau sedikit murung. Jadi aku sedikit menebaknya saja." Lalu suaranya yang jenaka, berubah menjadi sedikit lebih serius. "Namun benarkah kau tidak bisa tidur semalam? Kenapa?"

Eritha menghela napasnya.

Yah, andai ia benar-benar bisa mengatakan masalahnya dan mencurahkan isi hatinya, seperti wanita lain yang dapat dengan mudah menceritakan kehidupan pribadinya. Masalahnya kehidupannya tidak senormal itu sehingga ia bisa membagikannya dengan orang lain.

"Tidak apa-apa," tukasnya penuh kebohongan. "Aku hanya tidak bisa tidur saja, yang membuatku merasa sangat mengantuk pagi ini."

Tanpa sedikit pun berusaha meragukannya, Juanita langsung mengangguk dan menerima jawabannya. "Ah, jadi begitu."

Lalu selagi mereka berjalan menuju gerbang sekolah, terdengar seruan para wanita yang membuat Eritha dan Juanita penasaran dengan apa yang terjadi.

Hingga ketika ia tinggal beberapa langkah dari gerbang, kini ia tahu sumber dari keberisikan yang terdengar begitu riuh meskipun hari masih terlalu pagi. 

Bagaimana para wanita tidak menggila, jika di depan sekolah sudah berdiri siswa idola sekolah yang tampak sedang menunggu seseorang dengan sebuah buket di tangannya? Astaga, kenapa mereka sangat menyukainya, kehadirannya dan benda yang dibawa olehnya saja tampak norak sekali. 

"Bukankah itu Arlando? Pantas saja gerbang sekolah menjadi ramai sekali. Ngomong-ngomong apa yang dilakukannya saat ini? Apakah dia sedang menunggu seseorang? Selain itu, untuk apa dia membawa buket bunga ke sekolah? Apakah dia akan menyatakan perasaannya?"

Usai menyatakan analisanya yang dipenuhi kalimat pertanyaan, mendadak Juanita melemparkan sorot mata menggoda ke arahnya. 

"Menyatakan perasaan apa? Dia hanya akan membuat wanita itu malu. Mungkin wanita itu akan lebih memilih mati daripada menerima pernyataan noraknya," gumam Eritha.

Berpura-pura tidak menyadari tatapan temannya, Eritha melanjutkan langkahnya —yang sempat terhenti sesaat— dengan wajah datar, bahkan ketika pria bernama Arlando itu melambaikan tangan kepadanya.

Dengan langkah cepat, ia berjalan melewatinya pria itu tanpa sedikit pun menghiraukannya. 

"Eritha," panggil Arlando yang membuatnya semakin ingin kabur dari tempat tersebut.

Namun keinginannya itu tidak tercapai, lantaran dengan langkahnya yang lebar, Arlando berhasil mengejarnya dan mencengkram lengannya.

Sontak Eritha langsung menarik dirinya dan menatap pria itu dengan jantung yang berdebar kencang hingga membuatnya sakit kepala. 

"Eritha, ada yang ingin kusampaikan padamu," ujar pria itu yang membuat ia mendadak merasa mual.

Astaga, ia sudah memastikan perutnya kosong, tapi rasa mual ini sangat menyiksa.

Eritha mengambil satu langkah ke belakang dan mencoba untuk mengurangi mualnya. Namun dengan pesona yang tak terelakkan, dia malah menghilangkan jarak yang ia buat dan berdiri lebih dekat dengannya.

Hingga semua wanita yang menonton kejadian itu, menatapnya dengan wajah iri.

Tunggu. Kenapa mereka memandangnya seperti itu? Apakah ia seberuntung itu di mata mereka? 

Sebaliknya, Eritha justru merasa bahwa hidupnya tidak beruntung karena bertemu pria ini. Andai pria itu tidak ada, maka kehidupan barunya di sekolah bergengsi tersebut akan lebih tenang dan indah. Namun secara tidak beruntung, pria itu muncul dan membuat kehidupannya datar dan nyaman, menjadi penuh gejolak bak wahana menakutkan di taman bermain. 

"Jangan mendekat," ucap Eritha di tengah ia menahan rasa mual yang dirasakannya. Lalu ia kembali mengambil satu langkah ke belakang. "Kubilang jangan mendekat."

Namun pria itu tidak tahu bahasa manusia. Jika dia tahu, dia pasti sudah akan mundur sejak penolakannya yang terakhir kali. Namun alih-alih mundur, siswa idola itu terus mendesaknya dan membuat pernyataan seperti ini setiap waktu.

"Tidak mau," jawabnya sambil mendekatinya. 

Lalu tanpa memberi peringatan, Arlando langsung bersujud di depannya dengan bertopang pada satu lututnya. 

Segera Eritha memberikan sinyal pada dirinya untuk melarikan diri di saat kesempatan emas itu, tapi mendadak tubuhnya tidak dapat diajak bekerja sama dan ia hanya dapat terdiam membeku di tempat.

Sial.

Tanpa ba-bi-bu, pria itu langsung menyerukan hubungan sepihak itu dengan sangat percaya diri. "Mulai sekarang, kita berpacaran."

Apa?! Apa katanya? Berpacaran?!

Jantungnya yang berdegup kencang, kini menambah tempo kecepatannya begitu mendengar kata 'berpacaran'. Hingga ia tumbang di tempat, lantaran dadanya tak mampu menanggulangi detak jantungnya yang sangat ekstrim. 

Sebelum pandangannya menjadi gelap dan ia kehilangan kesadaran, mata Eritha menangkap warna merah menyala bunga yang tadi dipengang oleh Arlando. Lalu dengan terkekeh di dalam hati, ia pun menyadari tujuan dari keberadaan bunga norak itu.

'Ah, rupanya bunga itu ada, untuk ditaburkan di pemakamanku.'

...****************...

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status