"Aku pergi denganmu saja. Daripada harus bersama semua pria-pria itu."
Hagan tak bisa menahan diri. Bernapas ringan, pria itu mengulas senyum. Awalnya duduk di sofa, ia berdiri dan menghampiri Liara dengan dua lengan terbuka lebar.
Pria itu meraih lengan istrinya, menaruhnya di bahu, sementara tangan menelusup ke bawah ketiak Liara. Hendak mengangkat tubuh itu, ia disela.
"Kau mau apa?" Liara memegangi bahu Hagan kuat.
Sudah setengah menekuk lutut, Hagan yang wajahnya sejajar dengan Liara berkedip cepat-cepat. Manahan malu. "Kau tidak ingin digendong?" Ia tersenyum kuda pada perempuan itu.
"Kau akan menggendongku dari sini sampai ke toko jam tangan itu?" Liara bertanya sinis. Ia kesal dengan cengiran tanpa dosa lelaki di depannya.
Lelaki itu menggeleng. "Ke kamar. Kau tidak ingin ganti pakaian dulu?"
Tangan Liara mendorong suaminya, hingga mereka lebih berjarak. "Aku punya kaki," ketusnya.&nbs
Di atas ranjang, dengan selimut menutupi hingga dagu, pukul satu dini hari, Liara sedang mencoba mencerna penjabaran yang baru saja selesai Hagan sampaikan.Bukan Redrick. Dalang dari mobil yang meledak itu adalah salah satu rival bisnis Orlando. Musuh lama sebenarnya dan nyaris tidak Hagan kenali jika si tersangka itu tak menyebut nama sebuah perusahaan yang sudah lama gulung tikar.Dua hari waktu yang diperlukan untuk mengusut kasus itu. Saat ini pelaku utamanya, menurut hasil penyelidikan polisi, sudah mendekam di penjara.Kata Hagan, ia kecolongan lagi. Salah satu pengawal adalah pembelot. Pengawal itu yang menikam Pak Rayi dan menyupiri Hagan sesuai arahan si otak kejahatan.Targetnya memang Hagan. Beruntung pria itu memiliki pengawal yang lebih pintar. Mobil yang Hagan naiki berhasil diberhentikan di sebuah pertigaan jalan kecil yang dilewati. Hagan dibawa pergi, supir tadi dibunuh di tempat. Mobil diantar sesuai navigasi yan
Liara tidak tahu apa yang terjadi pada dirinya tadi. Hanya karena mendengar ancaman tak sungguh dari Tatiana, ia malah membongkar rahasia yang selama ini mati-matian dijaga.Oleh mulutnya sendiri, Liara mengumumkan bahwa Hagan adalah suaminya. Jangankan Tatiana, dirinya sendiri saja masih terkejut sampai detik ini."Kau sudah menikah? Kau sudah menikah tanpa memberitahuku?"Si adik marah. Liara bisa paham itu. Ia akan terima jika Tatiana akan mendiamkannya sampai beberapa hari nanti. Yang membuatnya sedikit cemburu adalah adiknya itu bersikap berbeda pada Hagan."Aku Tatiana, Kak. Maaf baru bisa menemuimu sekarang." Gadis remaja itu melirik sinis pada kakaknya.Setelahnya, Liara ditinggal berempat saja di sana. Usai hujan reda, Tatiana mengajak Hagan bicara berdua di tempat lain. Adiknya itu sama sekali tak tampak marah pada Hagan.Tatiana hanya memeluknya sekilas saat akan pamit tadi. Membuat Liara sediki
Liara melarang Hagan memanggil dokter atau membawanya ke rumah sakit. Mendadak alergi dengan dua hal itu, hingga Max yang sengaja diminta datang juga ia jauhi.Perempuan dengan wajah kuyu itu bersikeras tak ingn mendapat perawatan atau pemeriksaan apa pun. Hanya ingin istirahat.Hal itu membuat kepala Hagan nyaris pecah. Ia tak tega melihat Liara tampak pucat, lemas dan seperti kelelahan layaknya sekarang. Namun, ingin memaksa, ia juga tak bisa. Liara entah kenapa mudah sekali menangis sekarang."Aku hanya akan memeriksa beberapa hal." Max yang ikut-ikutan duduk di ruang TV berusaha merayu lagi. Ia juga cemas karena Liara terlihat tak bertenaga.Masih dalam posisi berbaring di sofa, yang ditanyai menggeleng. "Menjauh dariku!" teriaknya.Max belum hilang arah. Pria itu mengeluarkan sesuatu dari saku. Menaruhnya di meja. "Kau tahu cara menggunakan alat itu?"Melirik ke sana, Liara mengangguk. "Kau kira aku h
Hagan terbangun karena merasakan ada yang menggerakkan tangannya. Membuka mata, pria itu mendapati Liara sedang berusaha turun dari ranjang mereka."Ke mana, Liara?" Pria itu duduk, berusaha membuka mata sepenuhnya.Berjengit karena terkejut, Liara menoleh. "Aku lapar. Ayam gorengku tadi masih ada, 'kan?"Seminggu sejak pemeriksaan kemarin, artinya Liara sudah hamil enam minggu. Tidak banyak yang berubah pada perempuan itu, selain lebih sering mual di pagi dan malam hari dan jam makannya berubah.Tadi, sewaktu jam makan, Liara menolak. Hanya memasukkan nasi dan sayur sebanyak tiga suap. Sekarang, di pukul dua dini hari, perempuan itu malah terbangun karena lapar.Beruntung Hagan sudah mewanti-wanti Nia untuk tetap menyimpan ayam goreng tadi. Hagan hanya tinggal memanaskan sebentar, lalu menyajikannya pada sang istri.Pelan-pelan, meski masih sering ragu, Liara mulai terbiasa dengan kehamilan ini. Perempuan
Liara ingin menangis, tetapi ia tak bisa. Duduk memeluk lutut di sebuah bangunan yang entah di mana dan milik siapa, ia terus menatapi sosok pria yang terikat di kursi pesakitan di depannya.Liara tak tahu apa nama benda itu. Yang jelas, bentuknya seperti senter. Benda itu yang diarahkan salah satu pria berkaus hitam ke leher Hagan, hingga berhasil membuat suaminya itu jatuh tak sadarkan diri hingga sekarang.Tadinya hanya ada dua orang yang memintanya masuk ke mobil. Mata Liara ditutup, baru diizinkan melihat lagi saat tiba di tempat ini. LIma pria bertubuh tegap lainnnya menyambut mereka.Hagan didudukkan di kursi, lalu tangan juga kakinya diikat. Denagn cepat Liara menyadari apa yang terjadi. Seperti yang terakhir kali, mereka diculik.Perempuan itu takut. Ia ingin menangis karena Hagan tak kunjung sadar dan membayangkan akan diapakan mereka nantinya. Namun, Lira tak mau membiarkan air mata jatuh. Itu hanya akan membuat orang-or
Mustahil jika Liara baik-baik saja setelah semua yang dialami. Perempuan itu babak belur. Memar menghuni nyaris seluruh badan. Bagian paling parah, perempuan itu keguguran.Dokter menjelaskan itu pada Hagan beberapa jam lalu, saat akan mengambil tindakan kuretase.Janin Liara tak bisa selamat. Dipastikan karena si calon ibu mengalami banyak pukulan di daerah peut bawah dan panggul. Juga beberapa kali terjatuh dalam posisi salah.Hilang akal, nyawa Hagan seolah raib saat mendengar semua itu. Pria itu hanya mampu terduduk lemas di ruang tunggu selama istrinya menjalani tindakan.Habis. Hancur. Lebur tak bersisa. Hagan kehilangan dunianya dalam waktu sekejap.Anak yang begitu ia dambakan harus pergi, tanpa sempat dilahirkan atau bahkan berkembang lebih besar lagi. Patah. Mendadak dunia yang sebelumnya terlihat indah itu menjadi sungguh suram dan hampa.Di tengah duka yang juga dibalut kemarahan itu, Hagan men
Hagan yang sedang asyik melampiaskan amarah pada salah satu orang suruhan, diinterupsi Biru. Orangnya Orlando itu menariknya menjauh dari seorang pria yang wajahnya sudah bersimbah darah."Lakukan pekerjaanmu dengan baik, bajingan! Aku membayarmu bukan untuk melaporkan kegagalan!"Pria itu murka. Tak ada satu pun jejak yang bisa dipakai untuk menelusuri siapa dalang di balik apa yang menimpanya dan Liara kemarin.Hagan tak ingat nomor mobil yang mendatanginya dini hari itu. Ia tak ingat satu pun wajah mereka. Tempat yang dipakai untuk menyekap adalah bangunan lama yang sudah tidak digunakan dan tidak diketahui siapa pemiliknya.Hagan menyewa detektif. Yang paling andal katanya. Namun, dia tak mendengar satu pun kemajuan dari laporan orang itu. Padahal, ini sudah tiga hari berlalu.Sial. Sial. Sialan."Dengan begini, masalah tidak akan selesai, Tuan." Biru mengingatkan, meski setelahnya harus mendapat lempa
Menatapi batu nisan di hadapannya, Liara tak mampu berkata-kata. Perempuan itu merasa kepalanya seketika kosong.Demi membuktikan kebenaran ucapan Max, sedikit memaksa, perempuan itu minta diantar ke tempat ini. Lokasi peristirahatan terakhir Redrick.Max ternyata tidak berbohong. Itu memang makan Redrick. Nama adik tiri Hagan itu tertulis di keramik hitam itu. Tanahnya masih basah dan masih terdapat bunga tabur yang kelihatan baru."Kenapa bisa?" Liara bertanya lirih. Perempuan yang masih mengenakan pakaian rumah sakit itu mengusap nisan di sana. Wajahnya muram.Berjongkok di samping Liara, Max ikut-ikutan memasang ekspresi berduka. "Entah dari siapa, dia tahu di mana kau dan Hagan disekap. Dia sedang dalam perjalanan ke sana juga saat memberitahu aku dan Biru."Asumsi Max, mungkin, karena sagat kalut, Redrick mengemudikan mobilnya secepat yang dibisa dan karena kondisi emosinya itulah ia mengalami hilang kendali hing