Samar-samar kudengar Edgar berkata bahwa kami akan pulang. Entah apa maksud perkataannya itu, aku tak dapat mendengar dengan jelas apa yang diucapkannya karena terlalu kesakitan pada kepalaku.
Kurasakan Edgar membawa tubuhku menaiki sebuah kapal yang di dalamnya ada beberapa orang berseragam TNI. Mereka langsung membantu Edgar yang menggendongku.
Edgar membawaku ke dalam kapal besar ini. Ia lalu membaringkan tubuhku di salah satu ranjang. Setelah membaringkanku, Edgar nampak berbicara pada seorang TNI. Lalu ia keluar bersama orang itu yang kutebak untuk menyelamatkan yang lainnya.
Kulihat seorang pria menghampiriku dan memeriksa detak jantungku dengan menggunakan sebuah stetoskop.
“Tarik napas, keluarin pelan-pelan,” perintahnya dengan suara yang sangat lembut. Aku menurut dan melakukan apa yang diperintahkannya.
Usai melakukan itu, ia lalu memasang infus di punggung tanganku. Rasa nyeri ketika ia menusukkan jarum, sudah tak dapat kuras
Suster itu terhenti sebentar, hal itu membuat kami penasaran dengan apa yang akan ia katakan. “Operasinya berjalan lancar!” lanjutnya seraya tersenyum senang. Sontak kami bertiga langsung bernapas lega mendengar ucapannya. “Syukurlah ....” desah Edgar senang seraya menatapku yang juga tersenyum bahagia. Terima kasih, Tuhan. Kau telah mengabulkan doa kami. Kuharap Carel akan segera pulih dan bangkit dari semua cobaan ini. *** Dua minggu kemudian. Aku sudah kembali sehat setelah dua Minggu lamanya aku dirawat di rumah sakit. Edgar tak pernah meninggalkanku sekali pun selama aku di rawat. Ia yang merawatku dengan tulus. Walau terkadang, aku sering bertingkah menyebalkan di depannya. Tapi hal itu tak urung membuatnya jadi marah kepadaku. “Akak!” panggil seorang bocah laki-laki berusia tiga tahun, ketika aku keluar dari kamar. Bocah itu langsung memeluk kakiku yang terekspos karena mengenakan rok selutut. “Alles!” sa
Pria dengan kemeja putih polos itu tampak tersenyum menanggapi gumamanku. Tunggu dulu, apa dia mendengar perkataanku? “Nggak apa-apa," ucapnya ramah. Aku berdiri mematung melihat respon dari pria tampan itu. Sungguh pria yang ramah dan lembut. Selanjutnya aku menuju lantai tiga untuk bergabung dengan mahasiswa baru. Menurut Edgar, akan ada sambutan dari kepala dewan Universitas untuk mahasiswa baru. Sebenarnya aku malas untuk ikut kegiatan ini. Tapi apalah daya, Papa pasti akan menanyaiku. Aku hanya tak ingin membuat Papa kecewa padaku. Tiba tiba terdengar ponselku berbunyi, ternyata Mama yang meneleponku. “Iya Ma?” “Hulya, ini ada wartawan telepon terus ke rumah nanyain kamu dan yang lainnya. Mereka bilang untuk diwawancara di acara tv,” ucap Mama dibalik telepon. “Duh, Hulya nggak mau kalo harus tampil di tv," sahutku. “Ya sudah, nanti Mama bilang Papa biar urus semua ini.” “Baik. Makasih, Ma!” Selalu
Segera aku turun dari motor Tian dan menghampiri Edgar dengan perasaan marah. Kutendang pintu mobil di dimana ia duduk. Hingga akhirnya ia keluar dengan wajah yang sama marahnya sepertiku. Ia berdiri di hadapanku sekarang. “Edgar! Keluar lo! Maksud lo apa nabrak nabrakin mobil lo ke motor Tian?” hardikku. “Udah lo mending diem, terus ikut gue!” Edgar menarik lenganku dengan keras dan membawaku masuk ke dalam mobil. Sebelumnya ia melepas helm yang kukenakan dan melemparnya pada Tian. Aku terpaksa menurut. Dan kulihat ia sedang berbicara sesuatu pada Tian. Aku tidak tahu apa yang sedang ia bicarakan. Yang kulihat, Edgar memberikan sebuah kertas pada pria itu. Selanjutnya ia memasuki mobil dan melajukan mobilnya bersama aku yang sudah ada di dalamnya. Lama kami terdiam selama perjalanan, tiba tiba ia membuka suara. “Lo kenapa emosi banget, sih?” tanya Edgar dengan tatapan lurus ke depan, fokus mengemudi. “Ya, lo ngapain nabrakin mobil lo
Sore ini aku sudah berada di kampus untuk mengikuti kegiatan malam akrab atau yang biasa disebut dengan makrab. Dan sesuai pembicaraan tadi malam, Edgar harus ikut acara makrab ini agar aku dapat ikut.Dengan terpaksa, aku mengikuti perintah Papa dan Mama, padahal aku ingin menikmati masa masa menjadi maba di sini tanpa gangguan darinya.“Hulya!”Suara seorang pria yang sontak membuat aku dan Edgar yang tengah berjalan bersama menoleh. Ternyata itu Tian, ia melambaikan tangannya lalu secepat kilat berlari ke arah kami.“Mau ke aula bareng, nggak?” ucapnya dengan terengah-engah ketika sudah ada di hadapan kami.“Nggak!” Edgar menjawab dengan cepat lalu menuntun tanganku untuk memasuki kampus.Aku menahannya dan melepas genggaman tangannya. “Lepas!”Aku melihat keterkejutan di wajahnya kala aku menolaknya.“Gue mau ke kelas sama Tian, Gar!” ucapku sebelum ia membuka mulu
Aku, Tian, Monic dan dua orang teman kami yang beranama Riki dan Sinta akhirnya memasuki gedung fakultas kedokteran.Karena di kelompok kami ada dua orang pria dan tiga orang wanita, maka Tian yang memimpin dan Riki mengawasi dari belakang.“Semuanya, kalo ada yang liat bendera kasih tau ya!” seru Tian. Ia memegang senter dan mengarahkan ke lorong kampus yang gelap ini.“Oke!”Kami berjalan menyusuri lorong kampus, tepat di kiri dan kanan kami adalah ruang laboratorium dan ruang praktek kedokteran.Suasana di sini begitu sunyi dan gelap. Aura mencekam begitu terasa, dan kurasakan hawa dingin mulai menyergap tubuhku.“Lo ngerasa dingin gitu gak, sih?” tanyaku pada Sinta yang berjalan di sebelahku.Sinta hanya diam dan menggeleng pelan. Matanya menatap lurus ke depan, aku tak bisa dengan jelas melihat wajahnya karena gelap.Sedangkan, Monic berjalan bersama Tian di depan. Monic nampak bergelayu
Sinta menundukkan kepalanya sambil tertawa cekikikan, persis seperti suara Mbak Kun. Kuberanikan diri mendekatinya diikuti dengan Edgar yang sudah bersiap di sebelahku.“Sin ...” ucapku tertahan kala Sinta tiba-tiba mengangkat kepalanya dan mendelik ke arahku.Aku menyurut mundur kala melihat mata Sinta yang hanya terlihat bagian putihnya itu.“Siapa kalian?! Kenapa kalian mengganggu di sini?!” ucap Sinta yang suaranya berubah menjadi berbeda dari sebelumnya.Edgar dengan cepat berdiri di depanku untuk melindungiku. “Semuanya, cepat keluar! Lapor sama Dian!” ucap Edgar panik.Kudengar Tian, Riki dan Monic segera berlari ke ujung lorong dan menuruni tangga. Sementara aku memilih tetap di belakang Edgar. Tidak mungkin aku meninggalkannya di sini bersama Sinta yang tengah kerasukan. Aku takut terjadi sesuatu pada keduanya.“Edgar! Kita harus cepet bawa Sinta turun. Gue takut dia kenapa-napa!” pani
Dengan ragu aku sedikit memiringkan tubuhku membelakangi Edgar. Dan dengan perlahan, kuangkat baju bagian belakangku. Kini terpampanglah punggungku yang polos di hadapan Edgar.“Cepet kompres, kok diem?” tanyaku karena tak mendengar jawaban apa pun darinya. Sungguh, aku sangat malu sekarang!“Iya, punggung lo memarnya lumayan parah,” sahutnya kemudian.Perlahan kurasakan dingin dan ngilu di bagian punggungku kala Edgar mulai menempelkan handuk yang di dalamnya sudah terdapat es batu.“Ah, ngilu banget, Gar!” desisku sambil meremas ujung sprei.“Sssst! Ucapan lo ambigu banget, sih! Nanti kalo orang pikir kita aneh-aneh di sini gimana?” protesnya yang langsung membuatku terdiam.Memangnya ada yang salah dengan perkataanku?“Lo harus sering sering olesin obat dari dokter. Kalo nggak bisa, gue bisa bantu, kok!” ucapnya kemudian, tangannya masih sibuk mengompres bagian punggungku
“Makasih, ya!” ucapku setelah melepaskan pagutan bibir kami.Kulihat Edgar tampak mematung ketika aku melakukan hal itu. Sedetik kemudian ia menyadarkan dirinya lalu menjauhkan kepalanya, ia menatapku tak percaya.“Udah berani nyosor nyosor? Ini di rumah loh!” tukasnya sambil menyentuh bibirnya yang baru saja bersentuhan dengan bibirku.“Kan nggak ada yang lihat!” jawabku santai. “Sudah, ah, gue mau tidur!”“Wah! Lo itu benar-benar nggak bisa ditebak, ya? Di kampus, lo jutek banget sama gue. Tapi sekarang? Lo nyosor duluan!” ocehnya yang membuatku pusing mendengarnya.“Lo cerewet banget, sih, jadi lo maunya gue jutekin lo terus gitu ya? Oke, gue kabulin!”“Eh, jangan!”“Mangkanya, jangan cerewet!”Edgar nampak terdiam memikirkan sesuatu. “Hulya ...” panggilnya.“Hmmm,” sahutku tanpa menoleh padanya.