34Malam menjelang menggantikan senja. Aku bergegas menunaikan salat Magrib, kemudian merapikan diri serta kembali menyemprotkan parfum ke seluruh tubuh. Aku berkaca dan bergaya sedikit, lalu mengembangkan senyuman yang kuyakini kian mempertegas ketampanan. Saat hendak menuruni tangga, aku sempat melirik ke ruang kerja dan terpaku kala melihat siapa tamu yang tengah mengobrol bersama Kang Rian. Sebelum pria paruh baya itu menyadari kehadiran, aku segera menuruni tangga sambil memegangi pinggirannya dengan erat. Sesampainya di lantai bawah aku melangkah menuju dapur dan menuangkan minuman untuk diri sendiri serta meneguknya hingga habis. Aku benar-benar ngeri bila nanti sang tamu turun dan akan mengomeli anaknya. Akan tetapi, setelah aku berada di dekat panggung barulah aku sadar bila tamu tadi datang bersama istrinya dan seorang perempuan muda yang kukenal sebagai kakaknya Nin, yaitu Kak Rita. Aleea melambaikan tangan dan aku bergegas menghampiri serta menyalami Tante Anita dengan
35Pagi ini seusai salat Subuh aku menyempatkan diri untuk berolahraga. Jalan kaki bersama Kai, sebelum kami berlari karena dikejar anjing liar yang terganggu dengan seseorang yang sialnya berada di belakang kami. Saat orang itu lari menerobos, aku dan Kai menoleh ke belakang serta spontan mengayunkan tungkai lebih cepat menjauhi anjing putih moncong kuning tersebut. Setelah tiba di ujung blok belakang barulah kami berhenti sambil bercekak pinggang dan mengatur napas yang ngos-ngosan. Pria yang tadinya berada di belakang itu juga ikut beristirahat sambil menyeka lehernya dengan tangan. "Sorry, kalian jadi ikutan lari," ucapnya sembari memandangiku. "Anjing itu kayaknya lagi sensitif, aku nggak ngapa-ngapain, cuma bersin dekat dia, ehh, langsung ngejar," sambungnya. "Kamu bersin kena dia kali," sahutku. "Nggak tau deh. Pokoknya dia langsung gonggong dan ngejar." Pria itu menegakkan tubuh dan mengulurkan tangan, kemudian berkata, "Kenalin, aku Rama.""Kenzo," jawabku sembari menjaba
36Suasana ramai di ruang terbuka ini membuatku gerah hingga membuka dasi dan satu kancing bagian atas kemeja agar angin bisa menembus ke kulit. Selain aku, anggota grup band yang berjumlah tujuh orang itu juga kegerahan, terutama karena kami tidak diberikan tenda dan hanya mengandalkan rerimbunan dedaunan yang letaknya tepat di atas panggung. Entah sudah berapa botol air minuman kemasan yang habis kuteguk, tetapi rasa kering di leher hanya terobati sedikit. Bila nanti konser di acara seperti ini, aku harus menyediakan topi lebar yang digunakan saat istirahat, kalau perlu bawa payung besar untuk melindungi diri agar kulit tidak gosong. Aku sadar diri tidak berkulit putih atau kuning langsat, tetapi kulit eksotis ini membuat tampilanku kian manis.Penyanyi pria yang bernama Lucas ternyata benar-benar tidak bisa menyanyi karena suaranya hilang akibat radang. Aku dan dua penyanyi perempuan lainnya bahu-membahu menggantikan tugas Lucas. Beberapa kali aku memancing interaksi penonton deng
37Tiga puluh menit kemudian aku sudah berada di motor yang mengarah ke kafe. Sementara Aleea membuntuti dengan mobilnya bersama duo dayang-dayang. Sesampainya di tempat parkir kafe, aku menitipkan motor beserta kunci dan helmnya. Kemudian segera memasuki mobil pada bagian penumpang di samping pengemudi. Ketiga gadis itu berbincang nyaris tidak ada putus-putusnya. Sementara aku hanya mendengarkan sambil mengusap wajah dan leher dengan tisu basah. Aku menyempatkan untuk menghidu aroma ketiak dan seketika tersenyum karena di sana masih tetap harum mewangi sepanjang hari. Tralala trilili. Setibanya di tempat tujuan, kami turun dan jalan berdampingan sambil bergenggaman tangan. Sekali-sekali kami berhenti dan memasuki toko yang menyediakan pakaian serta aksesori pria. Aku mengerjap-ngerjapkan mata ketika melihat angka yang tertera di satu kotak dasi, membatin bahwa harga yang tercantum itu setara dengan uang jajanku seminggu di luar bensin. Aku mengangkat alis ketika Aleea menunjuk ke
38Gedoran di pintu dan teriakan Mama bernada D mayor mengusik ketenangan bersemediku di bilik termenung. Dengan terpaksa aku menuntaskan acara membersihkan raga dan keluar sambil berputar beberapa kali, melatih gerakan nari terbaru yang akan ditampilkan nanti malam di kafe. Belasan menit berlalu, aku tengah menikmati hidangan sarapan ketika mendengar suara beberapa motor mendekat dan diiringi teriakan orang-orang dari depan rumah. Aku sempat beradu pandang dengan Mama, sebelum kemudian aku berdiri dan jalan ke luar."Ken, kelas diundur satu jam lagi," ujar Willy yang tengah jalan mendekat. "Waalaikumsalam," sahutku. Willy spontan cengengesan. "Iya, assalamualaikum," imbuhnya. "Terus, ke sini mau ngapain?" tanyaku. "Nongkronglah," sahut Ijan yang menghampiri bersama Sandy. "Kalian pasti pengen numpang makan," tuturku. "Nggak, aku udah sarapan kok," jawab Sandy. "Tapi kalau mamamu maksa, aku nggak bakal nolak," sambungnya yang membuatku mengeluh dalam hati. "Pura-pura nolak. Bu
39"Sudah makan?" tanyanya tanpa berbasa-basi terlebih dahulu. "Sudah, Om," jawabku, terpaksa berbohong karena nafsu makan yang tadi menggelora tiba-tiba lenyap setelah berhadapan dengan beliau. "Kalau begitu, pesan minuman dan desert saja." Om Yoga mengangkat tangan kanan dan seorang perempuan segera mendekat. "Mau pesan apa, Kenzo?" tanyanya. "Ehm, es lemon tea, sama ini." Aku menunjuk ke gambar kue di daftar menu yang tersedia di meja. "Ada lagi?" "Nggak, udah cukup." Pria yang berpenampilan rapi itu memesan kue yang sama denganku. Pegawai restoran beranjak menjauh dan aku kembali tegang karena merasa ngeri berhadapan dengan pengusaha yang merupakan keturunan ketiga dari keluarga Ardana, salah satu grup perusahaan yang cukup terkenal. "Kamu pasti bertanya-tanya kenapa saya mengajak bertemu," tuturnya yang kubalas dengan anggukan. "Saya ingin menawarkan bisnis untukmu," lanjutnya sembari memandangiku saksama. "Dua bulan lagi ada acara gathering di perusahaan saya. Nah, saya i
40Sabtu siang hari ini kuhabiskan waktu dengan berlatih vokal di bawah arahan Mas Mono. Pria berkacamata itu mengajarkanku memperdalam teknik agar bisa memperhalus falsetto, hal yang selama ini belum dikuasai. Setelah lima jam lebih berlatih akhirnya aku menyerah dan memutuskan untuk berhenti serta beristirahat, sambil berbaring di kasur lipat yang berada di ruang tamu kontrakan Mas Fa. "Kamu tugas hari apa selain besok, Ken?" tanya Mas Mono yang tengah menyandarkan badan ke dinding. "Rabu, Mas," jawabku. "Berarti Selasa latihan lagi." "Tapi Selasa aku kuliah sampai jam tiga." "Ya, udah, kita ketemu di kafe aja." "Oke deh." "Sekalian latihan dance, Ken. Buat perform di acara gathering kantor papanya Aleea, kita harus tampil beda. Cari lagu yang bisa mancing penonton buat ikut bergoyang," timpal Mas Fa. "Dangdut," seloroh Bang Ali. "Nggak bisa aku, Bang. Kalau cengkok Melayu, aku bisa," jelasku. "Nah, cakep tuh. Melayu juga enak buat mancing nari. Cari yang musiknya full, j
41 Hari berganti hari dengan sangat cepatnya. Sabtu pagi ini aku turun dari rumah tepat pukul 6. Mengendarai motor dengan kecepatan sedang dan sangat berhati-hati agar bisa tiba di tempat tujuan dengan selamat. Bang Ali, Mas Fa dan Mbak Yeni telah tiba terlebih dahulu dan tengah mengetes peralatan musik. Seorang pria yang merupakan operator sekaligus pemilik alat-alat tersebut ikut membantu mereka menyesuaikan nada. Tak berselang lama Linda datang bersama Mas Steven. Mas Mono dan Kak Carol menyusul sambil membawa nasi uduk yang tadi dipesan Mas Fa. Kami bergantian sarapan agar tetap ada yang menangani peralatan, sebelum akhirnya siap untuk dimainkan sebagai ajang latihan. Seorang perempuan yang mengenakan kebaya merah muda, jalan menghampiri sambil memanggilku. Setelah dekat, barulah aku sadar bila orang itu adalah Bu Ardila. Penampilannya yang sangat berbeda daripada biasanya membuatku pangling. "Ken, bisa sekalian jadi pemandu acara?" tanya Bu Ardila. "Bisa, Bu. Tapi aku harus