38Gedoran di pintu dan teriakan Mama bernada D mayor mengusik ketenangan bersemediku di bilik termenung. Dengan terpaksa aku menuntaskan acara membersihkan raga dan keluar sambil berputar beberapa kali, melatih gerakan nari terbaru yang akan ditampilkan nanti malam di kafe. Belasan menit berlalu, aku tengah menikmati hidangan sarapan ketika mendengar suara beberapa motor mendekat dan diiringi teriakan orang-orang dari depan rumah. Aku sempat beradu pandang dengan Mama, sebelum kemudian aku berdiri dan jalan ke luar."Ken, kelas diundur satu jam lagi," ujar Willy yang tengah jalan mendekat. "Waalaikumsalam," sahutku. Willy spontan cengengesan. "Iya, assalamualaikum," imbuhnya. "Terus, ke sini mau ngapain?" tanyaku. "Nongkronglah," sahut Ijan yang menghampiri bersama Sandy. "Kalian pasti pengen numpang makan," tuturku. "Nggak, aku udah sarapan kok," jawab Sandy. "Tapi kalau mamamu maksa, aku nggak bakal nolak," sambungnya yang membuatku mengeluh dalam hati. "Pura-pura nolak. Bu
39"Sudah makan?" tanyanya tanpa berbasa-basi terlebih dahulu. "Sudah, Om," jawabku, terpaksa berbohong karena nafsu makan yang tadi menggelora tiba-tiba lenyap setelah berhadapan dengan beliau. "Kalau begitu, pesan minuman dan desert saja." Om Yoga mengangkat tangan kanan dan seorang perempuan segera mendekat. "Mau pesan apa, Kenzo?" tanyanya. "Ehm, es lemon tea, sama ini." Aku menunjuk ke gambar kue di daftar menu yang tersedia di meja. "Ada lagi?" "Nggak, udah cukup." Pria yang berpenampilan rapi itu memesan kue yang sama denganku. Pegawai restoran beranjak menjauh dan aku kembali tegang karena merasa ngeri berhadapan dengan pengusaha yang merupakan keturunan ketiga dari keluarga Ardana, salah satu grup perusahaan yang cukup terkenal. "Kamu pasti bertanya-tanya kenapa saya mengajak bertemu," tuturnya yang kubalas dengan anggukan. "Saya ingin menawarkan bisnis untukmu," lanjutnya sembari memandangiku saksama. "Dua bulan lagi ada acara gathering di perusahaan saya. Nah, saya i
40Sabtu siang hari ini kuhabiskan waktu dengan berlatih vokal di bawah arahan Mas Mono. Pria berkacamata itu mengajarkanku memperdalam teknik agar bisa memperhalus falsetto, hal yang selama ini belum dikuasai. Setelah lima jam lebih berlatih akhirnya aku menyerah dan memutuskan untuk berhenti serta beristirahat, sambil berbaring di kasur lipat yang berada di ruang tamu kontrakan Mas Fa. "Kamu tugas hari apa selain besok, Ken?" tanya Mas Mono yang tengah menyandarkan badan ke dinding. "Rabu, Mas," jawabku. "Berarti Selasa latihan lagi." "Tapi Selasa aku kuliah sampai jam tiga." "Ya, udah, kita ketemu di kafe aja." "Oke deh." "Sekalian latihan dance, Ken. Buat perform di acara gathering kantor papanya Aleea, kita harus tampil beda. Cari lagu yang bisa mancing penonton buat ikut bergoyang," timpal Mas Fa. "Dangdut," seloroh Bang Ali. "Nggak bisa aku, Bang. Kalau cengkok Melayu, aku bisa," jelasku. "Nah, cakep tuh. Melayu juga enak buat mancing nari. Cari yang musiknya full, j
41 Hari berganti hari dengan sangat cepatnya. Sabtu pagi ini aku turun dari rumah tepat pukul 6. Mengendarai motor dengan kecepatan sedang dan sangat berhati-hati agar bisa tiba di tempat tujuan dengan selamat. Bang Ali, Mas Fa dan Mbak Yeni telah tiba terlebih dahulu dan tengah mengetes peralatan musik. Seorang pria yang merupakan operator sekaligus pemilik alat-alat tersebut ikut membantu mereka menyesuaikan nada. Tak berselang lama Linda datang bersama Mas Steven. Mas Mono dan Kak Carol menyusul sambil membawa nasi uduk yang tadi dipesan Mas Fa. Kami bergantian sarapan agar tetap ada yang menangani peralatan, sebelum akhirnya siap untuk dimainkan sebagai ajang latihan. Seorang perempuan yang mengenakan kebaya merah muda, jalan menghampiri sambil memanggilku. Setelah dekat, barulah aku sadar bila orang itu adalah Bu Ardila. Penampilannya yang sangat berbeda daripada biasanya membuatku pangling. "Ken, bisa sekalian jadi pemandu acara?" tanya Bu Ardila. "Bisa, Bu. Tapi aku harus
42Aku tidak menjawab dan akhirnya menutup aplikasi novel online ungu kesukaan. Selanjutnya aku berdiri dan memutar tubuh ke kanan serta kiri hingga tulang berbunyi. "Abang mau pulang duluan, ya, Ma," pintaku. "Iya, ingetin Khanza buat ngaji," sahut Mama. "Entar sekalian Abang anterin ke masjid." "Kai kalau lagi nyantai, nanti anterin ke sini pas Abang berangkat. Mama mau ngerjain pesanan orang, di sini nanti tinggal Mbak Titin sendirian karena Papa mau pergi." Aku mengangguk mengiakan dan merunduk untuk menyalami Papa dan Mama. Kemudian aku melambaikan tangan pada Mbak Titin yang membalas dengan senyuman lebar dan memamerkan giginya yang bertumpuk-tumpuk. Beberapa belas menit berselang aku sudah berbaring di kasur. Niat untuk beristirahat sebentar akhirnya berlanjut sampai sore. Aku terbangun karena panggilan dan gedoran Kai. Bergegas aku bangkit dan terperangah sesaat ketika melihat jam dinding yang sudah menunjukkan pukul 4 sore. Aku bergegas berdiri dan jalan ke luar. Menya
43"Kamu ganti baju di kamar Kakak." Aleea menunjuk ke kamar yang berada di seberang tangga. "Ehm, di kamar mandi aja deh. Kagok aku kalau masuk ke kamar orang," tolakku. Benar-benar tidak enak hati kalau harus memasuki kamar orang lain saat penghuninya tidak berada di tempat."Nggak apa-apa, Mama udah ngizinin," ungkapnya.Aku hendak menolak lagi, tetapi Aleea telanjur mendorongku hingga tiba di depan pintu bercat abu-abu gelap tersebut. Aleea membuka benda besar itu dan menyalakan lampu menerangi ruangan yang cukup luas.Seketika aku terperangah melihat interior ruangan. Tanpa sadar aku melangkah memasuki kamar dan berhenti di tengah-tengah. Tatapan terarah ke dinding di mana tiga buah gitar elektrik yang kuketahui berharga mahal tergantung rapi. Aku mengedarkan pandangan ke sekeliling dan kembali berdecak saat menyaksikan belasan poster band rock luar negeri yang disusun dengan artistik. Sepertinya Kak Devan adalah seorang pemusik. Hal itu terlihat jelas dari hiasan di meja belaj
44Suasana di grand ballroom hotel bintang lima di kawasan Jakarta Selatan ini sangat ramai. Aku dan Aleea berkeliling dari satu meja stand ke tempat lain untuk mencicipi semua hidangan yang mewah dan enak. Sementara Mama Anita berkumpul bersama rekan-rekannya sesama pebisnis. Sesuai permintaan beliau, mulai saat ini aku memanggilnya dengan sebutan Mama. Hal itu membuatku bahagia karena artinya beliau telah memberikan restu buatku dan Aleea. Tugas terberat masih menanti dan aku akan berjuang sampai titik nada penghabisan demi mendapatkan restu dari Om Yoga. Sebab aku adalah anak gembala, ehh maksudnya penyanyi, jadi harus sampai titik nada dan bukan darah. Lagi pula terdengarnya sedikit menyeramkan, darah penghabisan, seakan-akan tengah berada di medan pertempuran.Tepukan di pundak kanan membuatku refleks menoleh. Senyuman langsung mengembang di wajah kala mengenali siapa yang telah menepuk dan mengajakku bersalaman. "Ibu, kok bisa ada di sini?" tanyaku pada perempuan bergaun mera
45Aku tersenyum, kemudian mengangguk. "Itu koreografernya Linda. Dia bilang, aku harus berani tampil beda karena lirik lagunya juga seksi.""Dan aku suka." "Thanks." "Tapi kalau bisa, jangan nari kayak gitu lagi depan orang." "Maksudnya?" "Khusus di depanku aja." Aku menggigit bibir bawah untuk menahan tawa, tetapi akhirnya gelak itu menyembur juga. Demikian pula dengan Aleea. Mata sipitnya hingga tersisa segaris dan membuat tampilan wajahnya kian lucu. "Udah, ya. Sekarang aku beneran mau pulang. Udah mau jam sebelas." Aku menunjuk ke benda besar di dinding kiri. Aleea tidak menjawab dan hanya mengangguk. Kami saling beradu pandang sesaat, sebelum sama-sama melangkah ke luar dan baru berhenti di dekat motor. Aku menarik helm dari gantungan dan memakainya, sebelum menaiki motor serta memasukkan kunci ke tempatnya. "Besok malam aku ke kafe," ucap Aleea. "Emangnya dibolehkan?" tanyaku. "Maksa aja pergi, mau ngajak Nin dan Maia." "Tapi kalau nggak dibolehkan jangan maksa. Hari