Suara gemericik air shower masih terdengar ketika aku baru saja bangun. Rasa lelah terasa di sekujur tubuh. Pakaian masih berserakan tak karuan. Aku menarik selimut untuk membungkus tubuh polosku dan berjalan ke arah lemari. Derit pintu kamar mandi terbuka. Wajah segar suamiku muncul dengan rambut basahnya. Senyum terulas sekilas ketika dia melihatku masih bergulung dengan selimut. “Pak, hair dryernya rusak, loh!” tukasku seraya mengambil beberapa helai pakaian untuk hari ini ngajar. Ingat kemarin, pengering rambut gak fungsi. “Oh, ya?” “Hmmm … iya. Gimana, ya, Pak?” “Bingung banget, emang kenapa?” “Gak apa. Lupakan saja.” Aku memutar bola mata ke atas, lalu mencebik sendirian. Masa iya aku harus bilang malu kalau Bu Fera lihat rambutku yang basah? Namun tak lama kudengar kekehan dan sosok yang mendekat. Cup!Tanpa permisi, satu kecupan dihadiahkan pada pipiku. Wangi sabun dan shampoo yang menguar serta sentuhan tangannya pada pipi yang dingin membuatku gugup.“Nanti saya pinje
“Lah, enggak, Ma! Ini saja baru selesai rapat. Memangnya di sekolah gak ada?” tanyaku. “Astaghfirulloh … kata security, Una dijemput Mamanya! ” ucap Bu Fera terdengar kaget. Aku tertegun sejenak dan hati mulai menebak. “Sepertinya aku tahu siapa orangnya, Ma. Mama di mana?” tanyaku. “Ini di rumah. Tadi sudah ngasih tahu juga ke Banyu kalau Una gak ada di sekolahannya.” “Oh, oke, Ma!” Panggilan pun berakhir setelah aku mengucapkan salam. Segera kucari nomor Bu Misye. Aku tekan tombol panggil. “Pulang, yuk!” Imelda yang baru saja menyusul ke ruangan menepuk pundakku. “Duluan, gih! Ini masih ada urusan.” Aku menjawab tanpa menoleh padanya. Fokusku pada layar. Berharap Bu Misye segera mengangkat teleponku. “Ehm! Ehm! Pak Huda pulang bareng, yuk!” Beruntung ada Pak Huda. Secepat itu, Imelda sudah beralih fokus. Aku hanya melirik sekilas. Mereka pun tampak mengobrol sambil berjalan keluar. “Ck! Angkat dong!” Aku menunggu dengan cemas. Meskipun aku sudah menduga, tapi bisa jadi sal
Pov BaraSatu langkah, dua langkah, tiga langkah … Jinggaku menjauh. Pandanganku kabur, kukira hujan, padahal hanya sesak dari rasa rindu yang tertahan. Berulang kupejamkan mata, menghalau sesal. Andai dulu, andai nih, ya, dulu … ada keberanian sedikit saja, mungkin kini aku dan dia sudah bahagia. Ayo menolehlah, Jingga … menoleh ke sini. Andai kau menoleh … berarti sebetulnya kau pun sama. Cinta itu masih ada. Hanya … aku tahu. Kau adalah orang yang bertanggungjawab atas pilihanmu. Kamu pasti akan menyelesaikan semua apa yang telah kamu mulai. Satu …. Aku mulai menghitung dalam hati sambil menatap langkahnya dan lelaki yang dia sebut suami menjauh. Saling menggenggam, meremas hatiku yang pilu. Ck, kasihannya hidupku. Sudah duda, gak bisa move on pula. Sh*t!Dua …. Aku menambahkan hitungan lagi. Namun, dia tak menoleh juga. JIka sampai hitungan ketiga sama sekali dia tak menoleh padaku. Berarti aku memang beneran harus move on. Namun, jika dia melihat ke arah sini. Itu artinya …
“Iya, sistem pabrik di kita kebanyakan kontrak, Pak. Ngomong-ngomong Pak Huda kok bisa tahu nama lengkap saya, ya? Apa kita pernah bertemu sebelumnya?” tanyaku. Akhirnya kutuntaskan juga rasa penasaran tadi. “Bu Jingga pasti gak kenal saya, tapi saya kenal kok sama Bu Jingga.” Dia terkekeh sambil terus mengemudikan sepeda motornya. “Kenal di mana, ya, Pak?” Aku benar-benar penasaran dengan sosok guru matematika baru ini. Apakah di masa lalu kami penah bertemu? Kenapa dia saja yang ingat, sedangkan aku tidak?“Kita kuliah di kampus yang sama, beda fakultas saja. Hanya bedanya, Bu Jingga itu cantik dan pintar, jadinya semua orang kenal, kalau saya, biasa saja. Jadi cuma duduk manis di pojokan.” “Pak Huda suka berlebihan. Apa kita satu angkatan?” tanyaku lagi. Aku menggeleng kepala. Namun, entahlah benar atau tidak. Aku memang seperti tak pernah melihatnya.“Beda, Bu Jingga. Saya satu tingkat di atas Bu Jingga.” Aku pun hanya mengangguk-angguk saja. Pantas dia kenal aku, dia masuk leb
“Una gak mau Unda. Una mau Mama.” Kalimat yang Aluna ucapkan tadi, entah kenapa terus menerus terngiang. Meskipun memang, sekarang Una sudah mau kuajak main lagi, pastinya setelah kubujuk dan baik-baikin. Namun, tetap saja ada rasa yang tak bisa kujabarkan dengan kata-kata. Kalimatnya tadi terus-menerus terpikirkan olehku. “Sudah, jangan terlalu dipikirkan.” Pak Banyu yang baru saja pulang dan tengah melepas kemejanya menimpali aduanku. “Iya, sih, Pak. Namanya juga anak-anak. Hanya saja entah kenapa, tetap kepikiran.” Aku bicara sambil memlihan baju ganti untuk Pak Banyu di lemari. “Kita fokus pada acara resepsi dulu. Sudah dekat.” Aku menoleh padanya. Benar, resepsi sebentar lagi. Bahkan Bu Fera sudah mulai sibuk memberikanku jadwal perawatan di sebuah salon ternama. “Iya, Pak. Hanya saja … Mama itu kok rasanya berlebihan. Masa iya harus perawatan ekstra sih, Pak?” Aku menatap padanya. “Ikutlah saja. Mama gak suka dibantah.” Pak Banyu tak memiliki solusi. “Gak biasa pergi ke
Ah, kan … jadi rindu Ibu. Rasanya hidupku sudah cukup disibukkan keluarga baruku ini sampai jarang sekali mampir ke tempat Ibu untuk sekadar sarapan bersama. Kalau Una tak lagi minta dianter, pengen rasanya mampir. Sepeninggalnya mereka. Aku mengeluarkan kotak kado dari Pak Huda. Segera kubuka karena penasaran dengan isinya. Aku membukanya cepat-cepat, takut Imelda dan Pak Huda yang tengah pergi sarapan ke kantin, keburu datang. “Wah buka kado, nih?” Suara seseorang terdengar dari ambang pintu. Ketika kumenoleh rupanya Bu Rima baru datang, staff TU di sini. “Pagi, Bu Rima!” “Pagi, Bu Jingga!” “Wah, nasi uduk, nih!” Aku melirik pada piring yang dibawa staff TU itu. “Iya, Bu Jingga! Pesanan Pak Miftah.” Dia meletakkan piring di atas meja Pak Miftah yang masih kosong. Lalu berpamitan kembali meninggalkanku di ruangan ini. Kertas kado bermotif bunga yang membungkus kotak ini pun akhirnya berhasil kubuka. Ada kardus yang membungkus lagi isi di dalamnya. Aku membuka penutup dus. “C
Setelah pertemuanku dengan Tante Vamela, aku langsung pulang. Malas juga masuk ketika film sudah dimulai, Imelda dan Pak Huda sudah masuk duluan.Gak apa, Imelda dan Pak Huda berdua juga. Toh tempat duduk yang dipilih pun bukan di pojokkan. Jadi, semoga saja mereka aman. Aku pulang membawa boneka panda besar untuk Aluna. Semoga saja dengan cara seperti ini, perlahan hatinya kembali mau menerimaku lagi. Aku tak marah dengan kelakuannya kemarin yang katanya memilih Mama dari pada Unda. Dia masih kecil. Pikirannya masih rawan dipengaruhi.Namun, jujur … aku hanya khawatir, khawatir jika sering bertemu dengan Bu Misye, dia akan mendoktrin pikiran Aluna agar gadis kecil itu membenciku. Apalagi kesan ibu tiri, biasanya tak ada baik-baiknya.“Sudah pulang, Jingga?” Bu Fera yang tengah duduk sambil menonton televisi menoleh ketika aku masuk. Kugendong boneka panda sebesar orang dewasa. “Iya, Ma. Kebetulan tadi beli ini dulu, jadi ketinggalan masuk ke bioskopnya sama Imelda. Pulang saja lah,
“Kenapa lama sekali?” protesnya dengan wajah ditekuk. Aku memutar bola mata. Lekas kututup pintu dan aku menguncinya. “Besok kita resepsi! Tidurlah, nanti gak kuat di pelaminan!” omelku. Sudah paham betul arti rajukannya. Tak ada jawaban. Aku lekas ke kamar mandi untuk menggosok gigi dan mencuci muka. Kegiatan tersebut sudah menjadi bagian dari keseharianku. Kupandangi wajah pada cermin, kini terlihat berbeda. Hasil perawatan dengan beragam produk mahal itu, benar-benar ada hasilnya. “Ya Allah … kulit wajahku kok jadi glowing kayak gini, ya?” Aku mencubit-cubit pipiku sendiri. Ada rasa kagum, rasanya aku sedikit tambah cantik dari pada sebelumnya. Usai mencuci wajah dan gosok gigi. Aku lekas keluar dari kamar mandi dan berjalan berjingjit. Kuharap Pak Banyu sudah tidur dan tak menggangguku malam ini. Besok harus tampil prima di depan banyak orang. Sedikit lega ketika kulihat sepasang matanya sudah terkatup. Aku berjalan pelan mengitari tempat tidur lalu naik di sisi yang lain kin