“Kenapa lama sekali?” protesnya dengan wajah ditekuk. Aku memutar bola mata. Lekas kututup pintu dan aku menguncinya. “Besok kita resepsi! Tidurlah, nanti gak kuat di pelaminan!” omelku. Sudah paham betul arti rajukannya. Tak ada jawaban. Aku lekas ke kamar mandi untuk menggosok gigi dan mencuci muka. Kegiatan tersebut sudah menjadi bagian dari keseharianku. Kupandangi wajah pada cermin, kini terlihat berbeda. Hasil perawatan dengan beragam produk mahal itu, benar-benar ada hasilnya. “Ya Allah … kulit wajahku kok jadi glowing kayak gini, ya?” Aku mencubit-cubit pipiku sendiri. Ada rasa kagum, rasanya aku sedikit tambah cantik dari pada sebelumnya. Usai mencuci wajah dan gosok gigi. Aku lekas keluar dari kamar mandi dan berjalan berjingjit. Kuharap Pak Banyu sudah tidur dan tak menggangguku malam ini. Besok harus tampil prima di depan banyak orang. Sedikit lega ketika kulihat sepasang matanya sudah terkatup. Aku berjalan pelan mengitari tempat tidur lalu naik di sisi yang lain kin
“Aku titipkan dia padamu, Bang! Jaga dia!” Masih bisa kudengar suara Bara yang bergetar. Aku memalingkan wajah. Namun lekas aku mengambil tissue yang diantarkan Aluna. Dia berlari dari arah Ibu yang menatapku dengan pandangan yang juga berkaca-kaca. Lalu balik kembali ke tempat Ibu dan Bu Fera yang baru beberapa menit lalu mengantar Aluna mengambil makanan. "Cengeng!"Suara Imelda terdengar. Aku tal tahu kapan dia mendekat. Kini, dia sudah berdiri di sampingku sambil berkacak pinggang. Untung para tamu undangan yang mengucap selamat sedang terjeda. “Apa sih, Mel?” Aku melirik. Imelda tengah bersedekap sambil mencebik di sampingku. “Harusnya kamu itu kelihatan tegar di depan mereka! Pernah baca gak sih novel-novel online? Kalau ada mantan yang sudah nyakitin kamu, terus datang, jangan nangis. Pura-pura tegar!” omelnya. Persis ibu-ibu yang uang belanjanya tengah rebutan sama uang jajan beli koin KBM. Bawaannya ngomel-ngomel.Aku jadi terkekeh melihat ekspresi marahnya. “Ya kali tega
“Bersiaplah! Ada hal lain yang mau saya tunjukkan! Kita pergi ke lantai bawah sebentar!” tukasnya. “Hal lain?” Aku menoleh. “Hmmmm ….” Dia menjawab hanya dengan deheman dan anggukkan.. “Apa itu?” tanyaku. Dia tak menjawab, tapi mengambilkan kerudungku lalu mengangsurkannya. “Mari! Semoga kamu suka.” Aku menerima kerudung yang dia angsurkan. Lalu bangun dan mengikuti langkahnya yang sudah berjalan duluan. Kami menaiki lift untuk turun ke lantai satu. Di dalam lift hanya saling terdiam dan berdiri bersisian. Tiba-tiba saja tanganku dia genggam. Aku menoleh ke arahnya dan sedikit mendongak. Meskipun aku tinggi, tapi postur tubuhnya jauh lebih tinggi. Dia hanya menarik segaris senyum. Segaris doang, ya, bukan senyuman lebar tapi sudah terlihat membuat wajahnya makin … tampan. Sontak senyuman itu menular padaku. Ting!Entah kenapa, setiap waktu kebersamaan dengannya menjadi terasa singkat. Pintu lift sudah terbuka saja. Aku berjalan mengimbangi langkahnya yang cukup panjang. Beberap
Sepulangnya dari sekolah, aku mampir dulu ke apotek. Snoopy putih prestige masih setia menemaniku. Mobil sedan pemberian Pak Banyu, belum kupakai. Aku belum berlajar nyetir sendiri ke lapangan. Baru diberitahu tekhnik-tekhniknya saja. Aku membeli tiga buah tespeck. Kuturuti saran Imelda. Aku pun tak akan bilang dulu ke Pak Banyu, Bu Fera maupun siapapun. Sebaiknya aku memastikan dulu kalau beneran sudah ada janin dalam perut ini. Soalnya Pak Banyu sudah begitu berharap akan kehamilanku. Aku hanya takut mengecewakannya. Tiba di rumah, Aluna sudah duduk menungguku. Wajahnya sumringah, tersenyum cerah dan tampak seperti battery full charging hari ini. “Yeayyy, Unda pulang.” Dia menyambut kedatanganku.“Ya, Sayang? Kenapa? Pasti ada PR?” telisikku. Walau tubuh ini merasa agak meriang dan lemes. Namun, di hadapan Aluna aku ingin terlihat baik-baik saja. “No, No, No! My home work was done, Unda! Tapiii, Una punya ini! Mau main sama Unda!” Dia mengeluarkan satu buah benda berbentuk bulat
Pov Misye [Mbak, sudah beberapa hari ini, Bu Jingga gak masuk sekolah. Dia lagi hamil dan kondisinya lemah.] Aku membaca sederet pesan yang dikirimkan oleh informanku.[Ada lagi yang lain, Huda?] [Baru itu saja, Mbak. Hanya saja menurut saya ini peluang kamu, Mbak. Bukannya kamu sempat membahas ingin menggugat hak asuh anak?] Huda, namanya. Seorang buruh pabrik yang habis kontrak dan tak sengaja bertemu denganku dalam kondisi butuh uang. Ayahnya sakit-sakitan, Ibunya tak kerja dan dia memiliki tanggungan yaitu adik-adiknya. [Apa menurut kamu, saya akan menang kalau mengajukan gugatan?] Aku mengiriminya lagi pesan. Dalam beberapa hal, Huda cukup bisa diunggulkan. [Setahu saya, Mbak. Dalam pasal 105 KHI menyebutkan bahwa pemeliharaan anak yang belum mumayyiz atau belum berumur 12 tahun merpakan hak ibunya. Jadi, mumpung Aluna masih kecil, Mbak Misye jauh berhak menjaganya dari pada keluarga mantan suami Mbak Misye.] Aku tersenyum menatap sederet kalimat yang dikirimkan Huda. Tak
Tak lama, aku dirawat di rumah sakit. Hanya tiga hari. Kini aku sudah diperbolehkan pulang, tapi tetap masih harus bedrest. Kandunganku lemah, kata dokter. “Pak, Una mana?” Lirihku ketika suamiku membantuku berpindah ke tempat tidur. Rasanya kangen, tiga hari tak bertemu dengan gadis kecilku. “Pak lagi?” omelnya lirih. Ah, iya lupa. Papa, itu yang sudah kami sepakati ketika Pak Banyu tahu aku hamil. Tapi kan mirip, ya? Bapak sama Papa, cuma beda huruf depannya saja. Namun, ya sudahlah … “Iya, deh, iya … Papa, Una mana?” Aku mengulangi pertanyaan. “Kamu makan dulu, ya! Saya suapi.” Dia malah mengambil mangkuk berisi bubur yang sudah tersedia di sana dan tak menjawabku. Bi Sesa yang menyiapkannya sepertinya. “Tadi suruh nanya pake Papa, sudah ditanya pun gak dijawab pula.” Aku merajuk sambil membuang muka. Kudengar helaan napas Pak Banyu. Lalu dia memalingkan mukaku agar menghadapnya. “Saya cuma tak mau kamu sedih, Nda.” Mimiknya tampak serius. Dia pun sudah mulai membiasakan mem
Pov Banyu“Banyu, pikirkan caranya? Kita gak boleh membiarkan Aluna ikut dengan Misye!” Mama menatapku. Kami berdiri di lorong rumah sakit karena Jingga masih dirawat di dalam, kandungannya lemah.“Hanya saja, umur Aluna masih di bawah 12 tahun.” Aku bergumam seolah bicara pada diri sendiri. “Ya, Mama tahu. Kita satu poin kalah dari Misye. Namun, Mama yakin … masih ada jalan lain.” Mama tampak berpikir. Aku juga terdiam dan merenung.“Pergilah, temui pengacara, Banyu! Lakukan apapun agar hak asuh itu tak akan jatuh padanya. Andai dia Ibu yang baik, Mama juga gak akan sekhawatir ini. Hanya saja … sepertinya, dia hanya menjadikan Aluna sebagai alat. Mungkin dia baru sadar setelah kamu yang memberikan Jingga mahar satu milyar itu. Dia sadar, kamu adalah pohon uang.”“Oke, Ma. Setelah Jingga keluar dari sini. Akan kutemui pengacara.” “Tidak, Banyu. Pergillah sekarang! Waktu kita tak banyak. Misye itu licik dan satu lagi, dia pandai melihat peluang!” “Baik, Ma! Aku pergi! Tolong jaga Ji
Pov MisyeAluna, dia memang putriku. Bahkan kegemarannya ternyata sama sepertiku. Dia suka musik, dia juga pintar seperti hmmm … Mas Banyu. Aku akui, otak Mas Banyu lebih dari pada aku, hanya saja sayang, kadang dia terlalu lurus. Masih terbayang ekspresi Aluna ketika kuajak jalan-jalan dan kujanjikan banyak hal. “Wah jadi nanti Una bisa masuk tivi, Ma?” Bola matanya berbinar. “Tentu! Selama kamu mau tinggal bareng Mama.” Aku mengusap rambutnya. Aluna rupanya cukup mandiri dan memang sangat tidak merepotkan. Dalam hal ini, aku cukup berterima kasih pada Mas Banyu dan Nenek Tua itu. Rupanya dia menjagakan putriku dengan baik. “Wah Una boleh main games terus sama yutub, Mama?” Sepasang matanya berbinar. “Tentu!” “Horeee! Kalau ada Unda, pasti gak boleh. Cuma boleh dipinjaim HP sebentar sama Unda atau Oma. Nanti disimpan lagi.” “Kasihannya anak Mama. Kalau sama Mama, boleh banget, Sayang. Nanti Mama beliin HP khusus buat Una. Jadi kalau Una mau maen games dan nonton yutub, Una bisa