Pov 3[Mas, tolong! Kamu masih bisa akses admin sosial media Mbak Misye ‘kan?] Pesan diterima oleh Huda. Nomor tersebut tak asing. Dia adalah manager Bu Misye yang dulu sempat menginterviewnya. Pertemuan secara virtual tersebut dikarenakan dengan dirinya yang melamar menjadi admin sosial media Misye. Dulu … sebelum akhirnya berubah kedudukan jadi mata-mata.[Saya akan coba. Sudah lama saya gak ngakses lagi, Mbak.] Huda menjawab pesan tersebut. [Tolong bentu lagi kerjakan sekarang, ya! Genting! Pantau akun-akun yang mungkin menandainya dengan kabar miring. Saya masih hectic. Masih cari ahli IT juga buat handel berita-berita yang mungkin berseliweran.] Huda tak paham, apa yang Mbak Vina maksudkan. Namun, tak urung juga dia lakukan. Dia tetap menurut dan mencoba mengakses akun official Misye yang memang beberapa waktu lalu dia pegang. Walaupun hatinya dipenuhi seribu tanya. Memangnya ada kejadian apa? “Kamu gak masuk lagi, Bestieee! Ya sudah deh, ya! Semoga lekas sembuh Alunanya.” Hu
Pov Banyu“Saya bilang pergi! Pergi! Tak akan pernah bisa saya memaafkan kamu jika sampai cucu saya kenapa-kenapa gara-gara ulah kamu! Pergi!” Mama memekik cukup kencang. Aku baru saja mendorong pintu ruangan rawat ketika Misye dan Mama tengah bersitegang. “M--Mas!” “Tolong jangan buat keributan!” “Aku … hanya ingin bertemu Aluna, Mas! Kata ART kamu, Aluna sakit panas.”Aku terdiam. Kulihat wajahnya tampak penuh kesungguhan. Kulirik wajah Mama, tapi dia tampak menggeleng dengan raut wajah yang menentang. Namun, aku tahu … Misye memang salah. Namun, dia tetap ibunya. Dia juga rela bertaruh dengan karir dan kehidupannya. Setidaknya aku tahu, naluri seorang Ibu yang dia miliki, belum mati.“Masuklah! Jangan buat gaduh!” Aku bergeser, sengaja memberinya jalan. “Makasih, Mas.” Misye menyeka air mata. Tetap terlihat kuyu, meskipun sebagian wajahnya ditutup masker. Tatapan matanya sayu. Semangat yang biasanya membara pun, kini tak ada. Rambutnya yang biasanya modis, kali ini disisir pun
“Setidaknya, kini Una sudah mau makan dengan lahap lagi, Jen! Sudah juga gak takut ketemu orang juga, alhamdulilah.” Satu bulan sudah aku mengajak Aluna rutin kontrol ke seorang psikolog. Meskipun belum maksimal hasilnya, tapi sudah terlihat progres yang cukup baik. Aku tersenyum ketika baru saja selesai sesi konsultasi dengan Jeni. Sebuah rumah di kawasan Karawang Kota dijadikannya kantor. Beruntung dapat antrian awal, jadinya bisa lebih dulu selesai sebelum jam makan siang. ”Ya Alhamdulilah, Jingga. Kamu juga jangan kebanyakan pikiran, ya! Noh kasihan yang dalam perut!” tukasnya seraya melirik perutku yang sudah menyembul dari balik gamis. Aku tersenyum sambil mengusap perutku. Biasanya dia akan nendang. Tuh 'kan bener? “Insya Allah.” Hanya itu yang kuucapkan. Kugamit tangan Una dengan hangat. Aku ingin dia tahu, kalau ada aku untuknya. Dia tak sendirian. Meskipun kini dia masih jadi pendiam, tapi setidaknya … dia sudah sedikit tenang. Berbeda seperti awal-awal, melihat Mang Par
“Mohon perhatian parkes semuanya! Kita kedatangan teman baru, nih! Nyonya Indra, nih … Eh, namanya siapa, ya, Bu! Lupa saya, inget nama suaminya saja ….” Mbak Riva terkekeh ringan sambil menepuk bahu seseorang. Perempuan yang sudah lama tak pernah bertemu denganku dan kini ada dalam satu ruangan yang sama. Hanya saja, kenapa dia dipanggil Nyonya Indra dan bukan Nyonya Bara? Apakah mereka?Pikiranku yang tengah menerka-nerka, kembali terfokus padanya. “Salam kenal semuanya! Saya Rani.” Pandangan matanya beredar, lalu berhenti ketika sepasang manik hitamnya bersitatap denganku. Senyumannya yang tadi terkembang, perlahan redup. Berubah menjadi tarikan garis bibir yang hanya, datar. Mbak Riva mempersilakan Rani berbaur bersama kami. Dia tampak memilih tempat yang masih kosong. Kami pun bersiap di atas matras masing-masing dan mengambil posisi. Untuk kelas senam yoga yang kuikuti khusus para bumil yang sudah masuk trimester tiga. Mbak Riva terdengar mengarahkan. “Easy pose! Siap!” Kam
“Iya Mamang juga sama, penasaran pengen ikut. Katanya pelanggan tokonya rata-rata para cewek cantik.” Mang Parmin malah terkekeh. Aku pun tertawa sambil berjalan menuju toko kue yang baru buka itu. Selain penasaran rasa kue yang kata Mang Parmin enak, juga penasaran sama sosok yang katanya pernah viral karena status duda ganteng yang disematkan padanya. Cuma pengen tahu, gantengan mana sama Papanya Unda? Toko kue tersebut tak terlalu besar. Hanya kisaran tiga kali empat. Berada di dekat salah satu area podomoro yang sudah berdiri sejak beberapa tahun silam. Keluar dari mobil, hembusan angin pesawahan terasa menerpa wajah.Di wilayah yang aku lewati sekarang masih tersisa area-area pesawahan. Hijau terhampar selang-seling dengan bangunan perhotelan, restoran dan deretan pemukiman. Kotaku tumbuh pesat semenjak dua kawasan industri besar cukup mendominasi di area barat kabupaten ini. Mengubah hutan-hutan menjadi bangunan-bangunan kokoh. Perlahan peradaban berubah seiring dengan berubahn
Pov 3Bara menghela napas panjang, lalu melirik ke arah Jingga. Setelah itu gegas beranjak dan mengajak Jingga keluar dari kamar Mama. Ya, di kamar itulah setiap hari Mama menghabiskan waktu. Pekerjaannya hanya menangis dan meratap. Sikapnya yang biasanya dominan, kini tak ada lagi. Sikap angkuhnya yang dulu sudah menghancurkan mimpi Bara untuk hidup bersama Jingga, kini sudah hancur lebur bersama keputusan pahit dari Papa. Lelaki itu lebih memilih istri mudanya. “Makasih, Jingga.” “Sama-sama.”“Mungkin ini akan jadi pertemuan terakhir kita.” Bara mengusap wajah dan menghentikan ucapan. Sengaja, ingin melihat reaksi Jingga. Beribu kali sudah ikhlas. Bara tak semudah itu move on … nama Jingga masih memenuhi relung istimewa dalam kalbunya.Bara menertawakan dirinya sendiri yang begitu bodoh. Masih saja terkenang, padahal perempuan di depannya sudah jadi istri orang. Bahkan Jingga tampak sudah bahagia. Mungkin tak ada lagi sedikitpun tentang Bara tersisa dalam benak memorinya.Ada rasa
Pov Bu FeraAku pun hendak membuka paket itu ketika Mang parmin kembali muncul, “Paketan lagi, Mang?” Lelaki dengan kaos partai warna kuning itu terkekeh, “Bukan, Bu! Itu ada tamu.” Mang Parmin bicara . “Tamu?” “Iya, Bu! Perempuan! Katanya mau ketemu Ibu.” Aku urung membuka paketan yang dibeli Banyu. Lekas bangun dan mengikuti langkah Mang Parmin ke arah luar. Daun pintu terbuka ketika tampak seorang perempuan dengan dress selutut dan rambut digerai tengah berdiri di teras. Dia tampak tengah mengedarkan pandangan ke sekitar rumah dengan matanya yang tampak sembab. “K--Karissa?” Suaraku tersekat. Terdiam sejenak. Ini seperti mimpi. “M--Mama? Mama sehat?”Dia tersenyum dan berhambur memelukku. Aku bergeming. Kuusap punggung lembutnya. Lebih dari sepuluh tahun, bukanlah waktu yang singkat. Selama itu juga aku mencoba mengobati rasa sesak. "Mama sehat, Risa! Mama sehat.” Aku sekuat tenaga menahan agar air mata ini tak tumpah. Harusnya, harusnya aku bahagia. Dia akhirnya kembali se
“Ma, tadi di ruang tengah ada perempuan! Dia siapa?” Aku melirik ke arah Mama dan Jingga. Ya, aku pun tadi terlupa jika ada Mbak Karissa. Rasa panik mendengar teriakan jingga membuatku mengabaikan dia. Dia, yang sudah membuat Mama murung selama beberapa tahun lamanya. Kukira dia tak akan kembali. Bahkan satu lebaran sekali pun tak pernah dia datang. “Ah iya, nanti Mama kenalkan ke kamu. Dia hmmm … kakaknya Banyu.” “Mas Banyu punya Kakak?” tanya Jingga lagi disela rint*hannya. Kini dia sudah terbiasa memanggilku, Mas. Tapi hanya di depan Mama saja. Kalau berdua, bertahan dengan sebutan Papa. Gak apalah, setidaknya gak terlalu kaku seperti awal-awal. “Ceritanya panjang! Biar nanti-nanti saja Mama jelaskan!” “Huuu! Huuu! Iya, Ma.” Jingga menjawab berselang dengan rint*hannya. Aku sesekali menoleh ke arah mereka. Ada perasaan yang tak bisa dilukiskan dengan kata-kata. Seolah dejavu ketika dulu Misye hendak melahirkan Aluna. Kualihkan pandangan lagi ke jalanan yang ramai lancar. Ber