"Kata Mamang ada parang di belakang tolong ambilin ya, Neng Hilma.""Iya, Kang. Tunggu, ya." Hilma tak berani meminta Ajat untuk masuk karena sang suaminya berada di atas. Ajat yang melihat gaya berjalan Hilma yang berbeda, hati pria itu sedikit berdenyut. Kemudian ia beristighfar, wajar mereka melakukannya karena kini sudah menjadi suami istri. Tak pantas bagi Ajat untuk mencurigai ataupun mempertanyakan hal yang bukan urusannya. Tapi tak bisa dipungkiri, pria itu masih suka berbeda perasaanya jika saat berhadapan dengan Hilma. Entah kapan rasa itu akan benar-benar hilang dari hati pria itu. "Siapa, Sayang?" tanya Zafar yang sedang menuruni tangga, mendengar perkataan pria itu membuat Ajat menghela napas sambil membenarkan pecinya. "Loh... Ajat? Ayo masuk!""Enggak, Kang makasih. Saya cuma mau ambil parang aja, kok.""Aa ini tolong!" Hilma sedikit beteriak, ia meminta sang suami untuk memberikan parang pada Ajat karena dia harus mengaduk masakannya. "Ini. Bapak masih di kebon, ya?
Zafar mau jika bawahannya itu adalah seorang lelaki, sehingga tak ada kesalahan pahaman di antara dia dan sang istri. Sedangkan sekarang belum juga mulai bekerja, bahkan mereka baru bertemu, tapi Hilma sudah cemburu dengannya. Pria itu semakin khawatir hubungannya dengan Hilma akan kembali renta karena hadirnya wanita itu di sana. Sedangkan nanti dia pasti akan selalu bersama dengan Santi karena sebuah pekerjaan. Malam selepas isya, pria itu menatap sang istri yang hanya diam. Ingin menjelaskan tapi dia rasa Hilma sudah tidur duluan. Baru saja semalam ia mereguk indahnya surga dunia, sekarang malah jadi seperti ini karena salah paham. Pria itu mengusap kepala sang istri yang sedang memunggunginya, dia kemudian mencium kepala Hilma. Dia yang ternyata belum tidur masih merasa kesal karena Zafar tidak menjelaskan siapa wanita tadi yang mengobrol dengannya. "Begini rasanya kalau istri lagi ngambek, ya. Padahal ketemu sama dia aja baru," ujar Zafar pelan. Mendengar itu Hilma membalika
"Kenapa memangnya kalau dia jadi orang kepercayaan kamu, Zaf?""Dia perempuan, Paman.""Memangnya kenapa? Kan dia pintar, buktinya dulu dia bisa mengembangkan pabrik kecil menjadi sebesar itu.""Terus kenapa kalau dia yang mengembangkan sekarang malah dibuang tak diterima lagi?"Hening.... Haji Burhan diam tak bisa menjawab pertanyaan ponakannya itu. Sedangkan Zafar menatap menunggu jawaban sang paman yang kekeuh meminta Santi untuk menjadi bawahannya. "Kenapa, Paman? Terus kan aku buka usaha di kampung ini, kenapa malah kampung sebelah yang mendapatkan pekerjaan? Orang kampung sini kan juga bisa.""Kamu gak ngerti, Zaf.""Ya gimana aku bisa ngerti kalau Paman gak ngomong apa-apa. Jelasin makanya coba, kenapa Paman maksa banget.""Ya karena dia anak Paman!"Prang.... Kedua pria itu seketika menatap ke belakang saat mendengar suara pecahan gelas, ternyata di sana istri Haji Burhan sudah berdiri di ambang pintu dengan tangan yang gemetar, mata yang sudah memerah menahan tangis. Meli
Santi menelan ludah menatap keduanya, ia pikir Zafar masih bujangan belum menikah, makanya dia sok akrab agar bisa lebih dekat. Tapi kini, dia merasa tersaingi dengan Hilma yang ternyata istri Zafar. Bukannya sadar, dia malah ada niat busuk di balik ini semua. "Oh iya, Aa, emang kamu beneran udah nerima dia? Bukannya maunya laki-laki, ya?" tanya Hilma sengaja, agar dia tidak besar kepala lagi karena ditunjuk oleh Haji Burhan. Zafar menatap wanita itu, dia masih tak habis pikir kenapa sang paman bisa menikah secara diam-diam sampai kini sudah mempunyai anak yang sepantaran dengan Hilma. "Maaf ya, Santi, karena pekerjaan ini berat, kamu di kerjakan di bagian pembagian barang aja, ya? Kalau untuk ngatur semuanya yang saya butuhkan laki-laki, karena ya... Jelas tenaganya lebih besar daripada kamu. Sekali lagi saya minta maaf, ya. Kamu bisa kembali lagi kalau bangunan sudah selesai."Zafar pamit tanpa menunggu jawaban dari Santi, ia menggandeng tangan sang istri, sedangkan Hilma diam m
"Ya udah kalau gitu, aku mau pulang sekarang.""Oh iya tunggu, ya." Haji Burhan ke dalam untuk mengambil kunci, kemudian dia tak sengaja melihat Santi yang sedang menangis sambil memeluk guling. "Kenapa semua orang selalu tidak pernah menganggap aku ada. Aku kan juga mau jalan-jalan pake mobil Bapak. Mereka jahat!"Hati seorang ayah mana yang tidak kasian melihat anaknya yang menangis cuma karena ingin jalan menggunakan mobil. Haji Burhan masuk ke dalam kamar sang putri kemudian duduk di sampingnya. "Kamu mau ikut sama Zafar?" tanya Haji Burhan pelan sambil mengusap kepala Santi. Sontak wanita itu mendongak menatapnya. "Emang boleh? Aku nanya aja gak di denger.""Ya gak papa kalau mau ikut. Tapi mereka bukan mau jalan-jalan, tapi mau beli bahan-bahan doang, kalau emang kamu mau jalan, kan bisa nanti sama Bapak, ya?""Ah Bapak kelamaan, paling juga gak jadi mulu.""Ya udah terus kamu maunya gimana?""Kan tadi aku udah ngomong, Bapak!" Wanita merengek. "Ya udah, kamu boleh pergi. Be
"Enak baksonya?" Hilma mengangguk. Dari ujung matanya dia melirik Santi yang tengah menatap dirinya dengan raut wajah yang terlihat kesal. Wanita itu kembali menikmati bakso, merasa tak peduli dengan Santi yang sedari tadi seperti menginginkan perhatian suaminya. Meskipun Santi adalah anak Haji Burhan, Hilma tidak akan segan untuk menyingkirkan dia jika berani mendekati suaminya. Dari sejak awal perilaku Santi sudah bisa Hilma tebak, selalu mencari kesempatan untuk mendekati suaminya itu. "Nanti ya, Neng, ini masih ada sepuluh porsi lagi yang mau di bikin, kasian anak kecil yang beli, antri, ya.""Loh kan aku dari tadi pesannya, kok malah dia dih yang di duluin!" kata Santi tak Terima. "Kan Neng baru aja pesan, sedangkan tadi udah duluan anak ini. Maaf, ya.""Memangnya gak bisa gitu buatin dulu, cuma satu doang, kok.""Baksonya baru masuk, jadi yang ini pas banget tinggal sepuluh porsi lagi.""Ishh!" Santi menghentikan kaki, dia menatap sinis pada Hilma yang tampak tidak memperdul
Sedangkan di rumah Haji Burhan, Santi tak henti-hentinya pura-pura menangis untuk mendapatkan simpati sang ayah. Bahkan dia mengadu yang tidak-tidak tentang Hilma untuk membuat sang ayah tidak menyukai istrinya Zafar itu. "Aku yakin, Yah, pasti dia yang minta Zafar untuk segera pergi. Dia itu iri sama aku, karena aku anakmu.""Udah, ah... Ayah tau kok Neng Hilma itu anak yang baik, mana mungkin sih berbuat begitu sama orang lain.""Jadi Ayah nyalahin dia? Jelas-jelas dia sudah nindas aku hari ini, bahkan aku sampe diketawain sama orang-orang karena jatuh kesandung kaki dia."Haji Burhan diam, dia mulai terhasut oleh ucapan anaknya itu, tapi di sisi lain dia juga ragu, masa iya Hilma yang dikenal sopan dan baik hati berbuat seperti itu, bahkan pada anaknya sendiri. "Sudah... Biar ayah bicara sama Zafar, untuk ngasih tau biar dia lebih menjaga sikap istrinya itu."Santi mengangguk sambil mengusap air mata, dalam hatinya ia puas, jika perlu ingin sekali dia melihat Hilma dimarahi oleh
Zafar memancing untuk istrinya itu berbicara, padahal dia sudah tau pasti yang sedang Hilma pikirkan adalah Haji Burhan. Pria itu menggenggam tangan sang istri lembut, kemudian menciumnya. "Aku tau, kamu mikirin ucapan Paman, kan? Sudah aku bilang, gak usah dimasukin ke hati, jangan terlalu dipikirkan. Dia begitu pasti karena hasutan Santi.""Tapi kenapa dia jahat banget, A. Santi itu dari awal datang seperti tak suka sama aku. Apalagi kalau kita lagi berdua, terlihat jelas raut wajah sinisnya.""Maklumin aja, mungkin karena dia baru menikmati hidupnya sebagai anak dari Paman, dulu kan dia sembunyi-sembunyi dari warga, ya sekarang mungkin dia sudah bebas berperilaku. Dan itu lah sifat aslinya.""Apa mungkin juga dia suka sama kamu, A?"Mendengar penuturan sang istri, Zafar terdiam memandangnya. Ia mengingat kejadian saat pulang dari masjid tadi, seseorang menghadangnya saat di jalan, yang ternyata dia adalah Santi. Karena kebetulan wanita itu ada di sana, Zafar turun dengan niat ing