Mada lega bisa meresmikan hubungannya bersama Nila. Dua orang itu saling pandang seraya tersenyum. Nila meraih tangannya mencium takzim sebagai suami. Dan Mada membalas mengecup kening penuh cinta kasih. Keduanya menoleh bersamaan saat pintu dibuka. Irwan dan Widya datang terlambat. Di saat status mereka sudah berubah menjadi sepasang suami istri yang sah. "Mau apa Papa ke sini? Nila sudah resmi menjadi istri saya." Tangan perempuan itu digenggam Mada seolah berkata tidak akan bisa dipisahkan. "Kami menikah atas persetujuan Mama." Cepat Irwan melirik bed pasien dan membelalak. "Ka-kamu sudah sadar, Ayu?" tergagap menanyakannya dan rasa tak percaya. Dingin Rahayu menatapnya. "Jangan mengatur anakku, Irwan." Bicara pelan namun tegas. "Kamu tidak tahu siapa dia, Ayu. Dia bukan perempuan baik-baik." Irwan menunjuk Nila, menghakiminya lagi tanpa peduli sedang di mana. Dan tanpa peduli orang lain melihat. "Betul. Nila itu seorang janda yang dicerai suaminya karna berselingkuh dan jual
Nila membuka mata tepat saat jam dinding menunjukkan pukul lima pagi. Melirik ke samping, tersenyum menatap lelaki tampan yang masih tampak pulas. Menyentuh pipinya, mengecup lembut dan lama, lalu menjauh sambil menahan senyum untuk tidak semakin mengembang lebar saking senangnya dia. Bisa tidur bersama dengan status sudah menjadi suami tanpa hawatir dosa lagi. Lebih dari itu, Mada adalah sosok pangeran gagah penyelamat hidupnya dari kekejaman orang lain. Nila hendak beranjak, tapi sekali lagi melihatnya. Sebelum benar-benar pergi dia memutuskan memeluk. Hangat terasa saat tubuh tanpa pakaian itu menempel. Kemudian menjauh lagi untuk membersihkan diri. Terkejut saat tangannya ditarik hingga tidak jadi berdiri. Jatuh duduk kembali. Menoleh pada Mada yang sudah membuka mata. "Mas?" "Mau ke mana?" tanyanya dengan suara serak has bangun tidur. "Mandi. Solat." "Nanti dulu. Sini baring lagi." Mada menepuk bantal di sisinya. "Enggak, Mas." Nila hendak beranjak tapi Mada menahannya lagi
"Memangnya Mama Mas setuju kalau ngadain resepsi pernikahan kita?" Dalam perjalanan Nila menanyakan hal tersebut. Masih ragu, bagaimana kalau Rahayu melarang? Dan jadi buruk sangka lagi, takut ibu mertua malu. Mada tersenyum dan menoleh. "Justru ini keinginan Mama juga." "Benar, Mas?""Ya, Sayang. Sebelum sama kamu aku bicarain ini lebih dulu dengan Mama." Mada ingat malam sebelum tidur, Rahayu mengobrol dengannya. Ingin mengetahui lebih banyak tentang Nila. Bagaimana awal mula bisa dekat, sampai menjalin hubungan di belakang suaminya. Mada menceritakan semua alasan dan tindakkan yang telah diperbuat, mulai memberi perhatian dan uang, sampai ... mencari-cari waktu mengajak berhubungan badan. "Anak Mama nakal." Dia sedikit menunduk menggaruk pelipis dan tersenyum tak enak saat mamanya mengatakan itu. Dia pun malu untuk menceritakan karna merupakan aib. Tapi, Rahayu memaksa, ingin tahu detail. "Namanya hilaf, Ma." "Hilaf kok berkali-kali. Itu bukan hilaf tapi nagih." Mada tertaw
"Pa, gimana? Mada malah akan merayakan resepsi pernikahannya. Mama menyayangkan sekali, kenapa dia harus dengan perempuan janda itu." Widya mengeluhkan lagi perihal putra tirinya tersebut. Masih tidak bisa menerima keputusan pemuda dewasa itu. "Anak itu, mentang-mentang memiliki warisan dari ibunya, jadi belagu." Irwan sama sangat menyayangkan. Bagaimana pun Mada anak kebanggaan baginya, wajar dia menginginkan nanti dapat pasangan lebih baik. Namun, baik versi dirinya dan Mada berbeda. Sangat bersebrangan. "Pa, kasihan Selin. Dia menginginkan Mada." Irwan duduk bingung menanggapi. Pernikahan Mada dan Nila sudah terjadi bahkan hendak dilaksanakan pesta, apa yang harus diperbuatnya lagi kalau sudah begini? Widya ikut mendaratkan tubuh di sisinya. "Pa, pokoknya Selin juga harus bisa menjadi istri Mada." "Mana bisa, Ma? Mada dan istrinya sudah menikah kantor, mau diapakan mereka?" "Buat Nila pisah, Pa." Pelan Widya katakan namun sangat berambisi untuk keduanya berpisah. "Tidak meng
Lelaki itu terus berjalan mendekat. Melihat Nila tampak ketakutan, Mada menggenggam erat tangannya. Kemudian menatap tajam Ibra yang telah berani datang dan kini sudah berada di hadapan. "Apa kabar?" Alih-alih mengucapkan selamat dia menanyai mantan istrinya. Mada merasa seperti mimpi melihat dia melenggang bebas. Sungguh kejutan luar biasa di hari bahagianya. "Kalau ditanya itu dijawab." Selin masih di dekatnya meminta Nila menanggapi ucapan Ibra. Tapi perempuan itu tetap bungkam. Ibra maju lebih dekat. "Aku bukan monster, gak usah setakut itu," ucapnya seraya tersenyum tetap mentapnya lurus. Sejak datang tak henti tertuju padanya. Nila melihat lagi sekilas dan kembali menunduk. Ibra mungkin di mata orang lain tampak ramah, tapi ... yang terlihat Nila senyumnya merupakan seringaian dingin. Pun di penglihatan Mada. Sama. Kini Ibra teralih padanya. "Pebinor yang sukses." "Pergi dari sini." Tekan Mada mengusir. "Jangan membuat kekacawan." "Santai. Gue datang memang untuk melihat. S
Mada menjauhkan tubuh itu, Ibra terhuyung menabrak rak di belakangnya. Kemudian cepat berdiri tegap lagi. Menoleh, beberapa barang terguling dan membetulkannya asal. "Jangan coba-coba sentuh Nila lagi." Mada memperingati keras. Direngkuh tubuh istrinya yang ketakutan."Wow, pencuri yang takut dicuri," tanggap Ibra dengan senyuman menyebalkan. Dia kini berbeda dari terakhir mereka bertemu di pengadilan, memelas memohon ampunan. Sekarang berlagak santai namun tengik. "Lo bakal berurusan dengan polisi lagi kalau terus mengganggu istri gue." "Laporkan saja," tantangnya. Tak takut sama sekali. Mada terheran. Ibra lalu mendekat, kepalanya sampai miring memperhatikan wajah Nila berusaha berpaling dan bersembunyi di dada suaminya sekarang. Ibra membenci pemandangan tersebut. Betapa wanita itu manja dan bergantung terhadapnya. Pun dengan lelaki itu, begitu melindungi kuat. Melihatnya Ibra terkekeh muak. "Sebegitu cintanya terhadap mantan istri gue." "Perempuan sebaik Nila memang pantas d
Ibra mematung menatap poto pernikahannya bersama Nila yang masih terpajang di dinding. Setelah berbulan-bulan perpisahan, masih membiarkan. Diraih pigura berukuran sedang tersebut. Menyentuh wajah ayunya. Ada harap ingin kembali. Tetapi perempuan itu sudah milik orang lain. Menjadi istri teman sendiri. Ibra benci mengingatnya. Poto tersebut kemudian diletakkan kembali di tempat asal. Dia tidak akan menghilangkannya. Tidak akan. "Aku akan membuatmu kembali di sisiku," ucapnya menekan dengan rasa menggebu. Kemudian berpindah dalam kamar, membuka lemari menatap baju-baju Nila yang masih rapi dan utuh. Perempuan itu pergi tidak membawa satu pun. Dia mengambilnya satu mencium sisa aroma tubuh Nila penuh kerinduan dengan mata memejam. Juga merasa nelangsa. Andainya masih ada akan dipeluk erat di dada. Malam berlalu berganti pagi. Tetapi Ibra masih tidur. Dengan setumpuk baju-baju Nila yang tengah dipeluk. Semalam dia mengeluarkannya dalam lemari. Demi mengobati rasa ingin menyentuh ter
"Mada sudah menikah. Secinta apapun kamu sama dia, kamu tidak boleh mendekatinya lagi." Rahayu mengatakan hati-hati takut menyinggung perasaan Selin. Gadis itu tersenyum tipis, dalam hatinya merasakan begitu pahit. Meski diucapkan lembut sama saja sangat menyakiti. Artinya dia sudah tidak diberi kesempatan sama sekali. "Nila memang hanya perempuan biasa. Tapi dia bisa menjadi istri yang baik buat Mada. Juga menyayangi saya." Selin mencengkeram kuat setir, sudah teringat potongan percakapan bersama ibu Mada sewaktu ia mengunjunginya tempo hari. Benci saat Rahayu malah menyanjung Nila dan melarang jangan dekat lagi dengan putranya. Sekarang perempuan itu baru keluar dari tempat kerja Mada. Tersenyum puas sudah bisa mengantarkan bekal makan siang dan menemaninya. Lalu masuk dalam taksi online yang tengah menunggu bersama Rahayu di dalamnya. "Sudah?""Sudah, Ma. Maaf, kalau agak lama." "Gak apa-apa Nila, Mama tahu Mada pasti minta ditemani dulu." Nila pun mengangguk seraya tersenyu