"Ini--" Aeera meletakkan sebuah kotak bekal di depan Alarich, "sarapanmu, Pak," lanjutnya. Pak' berarti mereka berada di kantor, tepatnya di ruangan Alarich itu sendiri. Setelah menyelesaikan masalah– tadi pagi, Alarich lebih dulu berangkat ke kantor. Sedangkan Aeera, dia beralasan menyiapkan bekal sarapan serta makan siang untuknya dan Alarich. Padahal sejujurnya, Aeera sedang menata hati dan diri. Sejak berurusan dengan Alarich, Aeera merasa jika dia tak pernah bisa lari dari masalah. Aeera sejujurnya lelah, tetapi Alarich mengatakan …- 'Aku rumahmu.' Kalimat singkat yang diucapkan suaminya tersebut berhasil membuat Aeera punya alasan untuk bangkit dari rasa lelahnya. Setelah meletakkan kotak bekal dan botol minum di depan Alarich, Aeera segera beranjak dari sana. Namun, baru satu langkah, tangannya mendadak dicekal–membuat langkah kaki Aeera tertahan seketika. Aeera menoleh, menatap tangan besar dan kekar yang mencekal pergelangannya kemudian menatap sayup ke arah pemilik tang
"Kak Karl, selingkuhan Aeera datang ke rumah Om dan Tante. Dia mengacau di san …-" Mendengar suara tersebut, Aeera begitu terkejut. Dia reflek mendorong Alarich untuk melepas bibirnya. Tadi, pria ini tiba-tiba menyambar bibirnya dan Aeera tidak bisa menghindar. Sedangkan Alarich, dia menyempatkan diri untuk menyapu lembut bibir ranum serta manis istrinya. Setelah itu baru melepasnya, langsung berdecak kesal–menggeram sembari menatap ke arah para pengganggu di depan sana. "Tidak bisahkah kalian mengetuk pintu?!" tegur Alarich dengan nada datar, membiarkan Aeera turun dari pangkuannya. Hell! Padahal jarang-jarang Aeera mau duduk di pangkuannya tanpa ada penolakan serta tak memberontak. Biasanya Aeera selalu mengeluh risih. Namun, sekalinya Alarich mendapatkan momen yang pas, seseorang hadir sebagi pengganggu. "Ma--maaf, Kak," cicit Nadien pelan, menatap gugup serta takut pada Alarich. Dia bisa merasakan kemarahan besar yang menguar dari diri Alarich, aura pekat yang mengerikan kelu
"Jadi itu yang namanya Leo?" sinis Alarich, menatap dingin ke arah Aeera. Namun, ketika Aeera menyuapkan makanan–dari kotak bekal sarapannya, Alarich dengan semangat menerima suapan tersebut. Oh God, masakan istrinya sangat enak, sangat enak dan begitu enak! Enak! Namun, harus Alarich akui jika memakan Aeera itu jauh lebih enak dan nikmat dibandingkan masakan Aeera sendiri. "Iya." Aeera menjawab setengah ketus, "sekali lagi Mas nanya, Mas dapat kulkas!" tambah Aeera, gemas sebab sudah enam puluh empat kali Alarich menanyakan hal itu. Aeera sampai bosan mendengarnya! "Humm." Alarich hanya berdehem dingin. "Dia berniat menikahimu," dongkol Alarich, mengadu pada Aeera; layaknya anak kecil yang mengadukan masalahnya pada Mommynya. "Leo hanya bercanda, Mas. Leo orangnya memang suka bercanda," jawab Aeera dengan stok kesabaran yang semakin menipis. Namun, jika dia lihat-lihat …- sikap menyebalkan suaminya ini ternyata cukup menggemaskan. Seperti pria yang tengah mencemburui wanitanya.
"Karl, Aeera pulang lebih dulu," adu Audriana pada putranya, menatap khawatir pada Alarich. Dia takut sekali karena masalah Nadien dan Aeera, imbasnya pada hubungan pernikahan putranya. Alarich menatap dengan kening mengerut ke arah Mamanya. "Pulang?" beonya. Aeera pulang lebih dulu? Hell, pasti telah terjadi sesuatu dengan istrinya. Audriana mengangukkan kepala, berniat menjelaskan tetapi Nadien lebih dulu bersuara."Ini salahku, Kak Karl. A--aku yang menyebabkan Aeera pergi. Ha-harusnya aku tak di sini," cicitnya dengan nada bergetar dan lirih, menundukkan kepala secara dalam. Seperti biasa, Nadien selalu memperlihatkan raut muka sedih untuk menarik simpati Alarich dan keluarganya. "Aku hanya meminta maaf ka-karena aku yang menyebarkan foto itu. Tapi … Aeera sepertinya sangat marah, Kak. Aku benar-benar meminta maaf," lanjutnya, berkata lebih mendayu dan lebih menyentuh. "Nak, ucapan Nadien itu benar. Nadien tadi hanya meminta maaf, tetapi Aeera tiba-tiba marah. Dia pergi begit
"Apa Kak Karl lupa jika Kakak pernah menaruh perasaan padaku?! Kakak bahkan pernah mengajakku berpacaran dan menikah!" Alarich menatap datar ke arah Nadien. "Oleh sebab itu kau harus membiasakan diri untuk menjaga jarak denganku."Nadien menyunggingkan senyuman manis di bibir. "Karena Kak Karl takut jika perasaan itu muncul lagi pada Kakak? Kakak takut jatuh cinta padaku lagi?" ucapnya dengan percaya diri. Alarich menaikkan sebelah alis, menatap aneh namun tetap dengan mimik wajah yang flat. "Ini alasan kenapa kau harus menjaga sikap dan menjaga jarak, kebaikanku … kau salah artikan," ucap Alarich terkesan lembut meskipun datar. Bagaimanapun Nadien adalah adiknya, dan perempuan ini sudah tak punya siapapun di dunia ini. "Kembalilah ke rumah. Mengenai Ara, aku akan membujuknya untuk berbaikan denganmu," tambah Alarich, segera masuk dalam mobil lalu beranjak dari sana–mengendarai mobil dengan kecepatan tinggi. ***Aeera mendengkus mendengar tutorial memanjakan suami yang sedang Dewa
"Ka--kami akan menyingkirkan kaca ini untuk Tuan Karl," ucap manager cafe tersebut dengan gugup dan takut-takut. Demi apapun! Kaca ini yang bermasalah, tetapi dia dan seluruh stafnya yang dalam bahaya. "Ah, tidak perlu, Pak. Ti--tidak perlu," jawab Aeera cepat, yang sudah berada di sebelah Alarich–sengaja memeluk lengan pria tersebut secara cukup erat sebab takut Alarich yang sudah seperti banteng mengamuk menyeruduk orang-orang di sini.Cukup manager di divisi Aeera yang menghilang entah kemana, jangan ada korban lainnya lagi. Yah, sampai saat ini Aeera tak pernah mendengar kabar mengenai Aldi lagi. Bahkan Salwina, si staf baru yang songong dan pernah mengaku menjadi istri dari Alarich. "Mas Alarich, tolong jangan bikin masalah. Kendalikan emosimu! Kasihan orang-orang yang lagi makan di sini, jadi nggak bisa ngunyah gara-gara takut sama kamu," peringat Aeera, diam-diam mencubit perut Alarich. Dia berjinjit sedikit, berbisik pada suaminya–memperingati serta menegur Alarich. "Jika
"Kau sedang apa?" tanya Alarich, berjalan masuk ke dalam kamar dengan langkah santai–menjinjing paper bag di kedua tangan. Aeera menggelengkan kepala. "Tidak ada, Mas," jawab Aeera gugup, cengengesan untuk menutupi kepanikannya. Syukur refleksnya sangat bagus–buru-buru menyimpan dress seksi tersebut di bawah bantal. "Mas ingin tidur atau …-" Aeera sejenak menghentikan ucapan, menoleh ke arah paper bag dengan mata memicing. 'Aduh, firasatku nggak enak nih. Apa beneran yah aku dijadikan tumbal proyek?' batin Aeera, gugup dan panik meskipun dia tak tahu apa isi dari paper bag tersebut. "Tidur? Aku banyak pekerjaan, tidak sempat untuk tidur lebih awal," ucap Alarich, berkata datar namun termasuk nada yang santai bagi pria itu. Dia mendekati istrinya, mengeluarkan empat kotak berukuran sedang dari paper bag tersebut. "Pekerjaan apa, Mas? Aku … maksudku apa aku bisa membantu supaya pekerjaan Mas cepat selesai?" tanya Aeera, cukup pelan dan bernada hati-hati. Dia cukup kasihan pada suam
"Pak, ini kopi …-""Bian, ambilkan kopiku," titah Alarich secara dingin, tanpa menoleh pada siapapun–fokus pada laptop canggih di depannya.Baik Aeera maupun Bian, keduanya sama-sama kaget. Bian kaget sebab biasanya Big Boss-nya tersebut selalu melakukan banyak cara agar Aeera di dekatnya. Namun ini berbeda, Alarich seperti menghindar. 'Segitunya Mas Alarich.' batin Aeera, mendengkus pelan lalu menyerahkan dokumen tersebut pada Bian. "Pak, mengenai pertemuan dengan CEO Sinem'Grub …-" Aeera tetap berusaha profesional walau Alarich kembali merajuk padanya. Namun, lagi-lagi perkataannya dipotong oleh Alarich. "Bian yang akan menemaniku." Alarich lagi-lagi dengan cepat memotong, "urus dokumen penting proyek kemarin. Pergilah," lanjutnya bernada dingin, melirik sekilas pada Aeera lalu dengan cuek memalingkan wajah ke arah laptop. Sikapnya benar-benar dingin, cuek dan seperti orang asing. Sengaja! Alarich terlalu malu pada insiden tadi pagi. Perkiraannya meleset. Seharusnya Aeera bangun