Laila menatap punggung Azzam yang berlalu setelah membuang buket bunganya. Tanpa menatap nya dan tanpa berpamitan, Azzam berlalu meninggalkan Laila.Gadis itu pun berdiri dengan hati yang masygul lalu berjalan keluar dari halaman tengah. Saat melewati sudut kolam tempat buket bunga itu dibuang, Laila menoleh sesaat. Ada rasa bingung menyapa hatinya. Sesaat Laila tergoda ingin mengambil buket bunga mawar itu dan menyimpan nya di vas kaca berisi air. Buket bunga mawar itu terlalu indah untuk dibuang begitu saja. Tapi entah kenapa jika Laila mengambil bunga mawar itu dan memelihara nya, dia merasa seakan-akan mengkhianati Amelia. Akhirnya Laila terbengong beberapa saat dan melihat buket bunga itu. Setelah menimbang-nimbang baik buruk nya, Laila memutuskan untuk melanjutkan langkahnya meninggalkan buket bunga itu begitu saja. Gadis itu dengan langkah gontai berjalan di koridor hotel. Mendadak ponselnya berdering. Laila tersenyum saat melihat siapa yang menelepon nya. Dokter Marzuki.
Seluruh mahasiswa yang diterima di akademi kebidanan sedang berbaris di depan asrama mendengar kan kata-kata dari ibu asrama saat mendadak Amelia merasa perut nya mual dan dia pun muntah. "Hoek! Hoek!"Laila menatap ke arah Amelia dengan terkejut. Bahkan beberapa mahasiswa Akbid juga menatapnya penuh keheranan. "Kamu kenapa, Mel?" bisik Laila cemas. Amelia hanya menggeleng kan kepalanya dan tersenyum samar. Wajahnya pucat. "Kamu bohong ya? Kamu pasti sakit. Kamu pucat dan mual-mual?" tandas Laila lagi. Amelia tidak menjawab apa-apa. Dia bahkan terus mual-mual di barisannya. Salah seorang dosen perempuan mendekatinya dan menatapnya tajam. "Siapa nama kamu?"Amelia menatap dosen itu dengan wajah takut-takut. "Ada apa, Bu?" tanya Amelia mengekerut. "Kamu ikut saya, sementara mahasiswi lain harus tetap di sini dan mendengarkan pengarahan dari ibu asrama!"Ibu dosen yang tadi bernama Bu Yanik itu menatap kami secara bergantian lalu memandang tajam ke arah Amelia. "Ayo Amelia, ikut
Seluruh mahasiswa yang diterima di akademi kebidanan sedang berbaris di depan asrama mendengar kan kata-kata dari ibu asrama saat mendadak Amelia merasa perut nya mual dan dia pun muntah. "Hoek! Hoek!"Laila menatap ke arah Amelia dengan terkejut. Bahkan beberapa mahasiswa Akbid juga menatapnya penuh keheranan. "Kamu kenapa, Mel?" bisik Laila cemas. Amelia hanya menggeleng kan kepalanya dan tersenyum samar. Wajahnya pucat. "Kamu bohong ya? Kamu pasti sakit. Kamu pucat dan mual-mual?" tandas Laila lagi. Amelia tidak menjawab apa-apa. Dia bahkan terus mual-mual di barisannya. Salah seorang dosen perempuan mendekatinya dan menatapnya tajam. "Siapa nama kamu?"Amelia menatap dosen itu dengan wajah takut-takut. "Ada apa, Bu?" tanya Amelia mengekerut. "Kamu ikut saya, sementara mahasiswi lain harus tetap di sini dan mendengarkan pengarahan dari ibu asrama!"Ibu dosen yang tadi bernama Bu Yanik itu menatap kami secara bergantian lalu memandang tajam ke arah Amelia. "Ayo Amelia, ikut
Dengan berlari, dia menuju ke kamar asramanya. Mendadak dia terkejut saat baru saja membuka kamar asramanya karena dia melihat Putri sedang membuka lemari baju milik Amelia. "Putri, apa yang kamu lakukan?" tanya Laila kaget. Putri pun nyaris terlompat mendengar suara Laila dari belakang tubuh nya. Pandangan nya nanar menatap Laila, sedangkan Laila terkejut saat melihat Putri beberapa lembar uang berwarna merah, biru dan ungu di tangan gadis itu. Putri masih saja terdiam dan justru dengan santai mengunci pintu lemari mungil milik Amelia. "Put, uang siapa itu?" tanya Laila dengan to the point karena Putri yang masih terdiam. "Ini uang ku sendiri, La!" seru Putri yakin sambil memasukkan uang di dalam genggaman nya ke dalam saku."Heh, jangan bohong kamu, Put!" seru Laila mencekal tangan Putri yang hendak berlalu melewati nya. "Lepaskan tanganku, La!" Putri menepis tangan Laila kasar. Lalu dengan cepat berlalu dari hadapan Laila. Gadis itu menatap lemari di sebelah kanan nya dan kepe
Laila menghela nafas kesal. "Tidak seberapa katamu? Aku tetap tidak terima. Kalau kamu tidak mau menegurnya langsung, ayo kita lapor kan pada ibu asrama!" cetus Laila tegas. Laila segera menarik tangan Amelia untuk keluar dari kamar asrama melangkah dengan cepat menuju ke kamar ibu asrama. Suasana ruang asrama saat itu sedang sepi. Beberapa penghuni asrama ada yang sedang makan siang di kantin, di warung, di ruang makan asrama, ada pula yang sedang belajar di perpustakaan kampus. Putri dan Rina tidak tampak di kamar asrama, sehingga Laila memilih untuk mengadukan kejadian Amelia pada ibu asrama untuk "mengadili"nya. Pintu kamar ibu asrama diketuk dan Laila mengucap salam. Tak lama kemudian pintu dibuka dari dalam oleh ibu asrama.Kedua gadis itu menatap ke arah ibu asrama. Tampak wajah Amelia yang ragu untuk masuk kedalam kamar ibu asrama. "Ada apa, Amel? Laila?" tanya ibu asrama menatap kedua anak asuhnya itu. Amelia menelan ludah dengan ragu, tangannya menarik tangan Laila aga
Laila tersungkur ke lantai dan Amelia segera memeluk nya. "Astaga, La, bibir kamu terluka. Ayo ikut aku ke ibu asrama!" seru Amelia cemas. Tangannya terulur mendekati pipi Laila. Semua mahasiswi yang ada di depan kamar mawar, mulai berkerumun mengundang anak-anak dari kamar lain untuk mengerubungi dan melihat kejadian itu. "Apa kamu tahu, Mel, La! Kalian selama ini terlalu sok cakep, sok kaya, sok punya pacar. Aku muak mendengar semua cerita kalian. Enak sekali hidup kalian seperti tidak pernah hidup susah! Dan sekarang, kalian memfitnah aku mencuri uang Amelia yang nggak seberapa itu pada ibu asrama. Tarik kembali laporan kalian pada ibu asrama! Kalian jahat! Awas saja kalau sampai aku nggak bisa lulus atau sampai keluarga ku malu! Aku akan membalas ketidakadilan ini!" seru Putri lagi. Dia merengsek ke arah Laila yang masih bersimpuh di lantai depan kamarnya. Karena ada sebuah rencana yang sedang dia lakukan saat ini untuk menjebak Putri agar tidak sengaja mengakui perbuatannya.
"Terimakasih. A-aku juga ingin minta maaf karena saat Putri menceritakan tentang uang yang hilang itu, aku terima mentah-mentah tanpa aku konfirmasi pada kalian. Kalian mau kan memaafkan dan kembali berteman denganku?" tanya Rina penuh harap. "Hm, yang lalu biarlah berlalu. Tidak usah dibahas lagi. Tapi memangnya Putri ngomong apa aja ke kamu, Rin?" tanya Laila. Walaupun dia sudah memaafkan kejadian kemarin, tapi dia penasaran juga dengan apa yang dikatakan Putri pada Rina, sehingga Rina juga menjauhi mereka. Rina menghela nafas sejenak. "Putri bilang kalian sombong, pelit, suka pamer tapi nggak mau ngasih kue atau jajan sih. Lalu dia bilang kalau Laila sudah memfitnah nya mengambil uang Amelia. Itu aja. Sekarang aku tahu, yang salah itu dia, bukan kalian," sahut Rina lagi. Laila tersenyum. "Sudahlah. Jangan dibicarakan lagi. Aku harap hal ini sudah selesai, Rin. Semua berhak mendapatkan kesempatan kedua, termasuk Putri. Jadi kalau dia mau makan atau belajar bareng kita, lebih baik
Wajah Laila memang langsung memucat saat melihat dokter Marzuki yang membawa selembar kertas undangan pernikahan di tangannya."Itu ... Undangan untuk siapa, Dokter?" tanya Laila dengan menahan segala rasa cemburu dan cemas yang ada di hatinya. Dokter Marzuki mengangkat surat undangan pernikahan yang ada di tangan nya dan memperlihatkan nya pada Laila. "Oh ini. Ini untuk saya. Tadi saat mau jalan ke kantin, ada bidan yang memberikan undangan ini untuk saya," sahut Dokter Marzuki, membuat Laila nyaris melompat bahagia."Oh, syukur lah kalau begitu," ucap Laila tanpa sadar. Dokter Marzuki tampak mengerutkan keningnya lalu tertawa kecil seraya menoleh ke arah Laila. Sepertinya dokter Marzuki tahu kenapa Laila bertingkah seperti itu, tapi lelaki itu justru pura-pura tidak tahu dan menatap Laila dengan jenaka. "Emangnya kenapa, La? Kamu kok kayaknya seneng kalau saya mendapatkan undangan pernikahan?" tanya Dokter Marzuki tersenyum simpul. Laila tersipu. "Uhm, mitosnya kalau sering dat