Setahun kemudian, Hari ini malam Minggu, Laila berdiri di samping seorang ibu bersalin yang sedang berteriak kesakitan karena sedang mengalami pembukaan fase aktif* di jalan lahirnya. Dengan lembut, Laila memeriksa kontraksi perut dan setelah yakin ibu bersalin tersebut kontraksi nya sudah hilang, gadis itu memeriksa denyut jantung janin dengan Doppler yang dipegang nya. Suara jantung janin yang keras menunjukkan angka normal di mesin Doppler itu membuat Laila tersenyum.Saat ini Laila mendapat tugas praktek di salah satu rumah sakit negeri. Dan Laila telah bertekad untuk tetap bersemangat sampai akhir, menemani dan membantu bidan senior yang sedang bertugas dinas malam saat ini. Laila menunjukkan angka di Doppler pada bidan senior yang berdiri di samping nya. Bidan itu mengangguk. "Denyut jantung bayi sehat, kontraksi perut masih kurang aktif hang, Bu. Sekarang sudah waktu nya untuk periksa dalam. Mari diperiksa dulu."Pasien itu dengan mendesis menahan sakit di perut nya berusa
"Mas, aku telat tiga bulan. Aku bingung sekali karena setelah aku melakukan tes kehamilan, hasilnya positif ..."Hening sejenak lalu terdengar suara isak tangis lebih keras dari arah kamar Rina yang setengah terbuka itu. Laila seolah membeku di depan pintu kamar Rina. Badannya gemetar dan jantung nya berdebar kencang. Hilang sudah rasa lelah dan kantuknya setelah semalam dinas dengan pasien yang membludak. Gadis itu mematung di depan pintu kamar Rina, bingung dengan langkah apa yang sebaiknya dilakukan nya. Lama Laila menunggu apa yang akan dilakukan oleh Rina, sedangkan dia sendiri juga tengah "Mas, aku takut sama orang tuaku. Kamu mau kan menghadap orang tuaku bersama-sama. Kita harus menghadap orang tuaku, Mas! Aku ... takut. Hiks, hiks."Hening sejenak. Hanya helaan nafas Rina yang terdengar begitu putus asa. "Yang, kenapa kamu diam? Bicaralah dengan jelas. Apa yang harus aku lakukan sekarang?! Aku bingung. Pikiran ku benar-benar buntu," sambung Rina lagi.Gadis itu lalu menya
"Rina, berhenti! Jangan gil* kamu!"Laila dengan cepat menepis tangan kanan Rina yang sedang memegang cutter.Cutter itu terjatuh begitu saja di lantai. Rina terdiam dan menundukkan kepalanya saat Laila menyentuh bahunya dengan khawatir. "Rin, apa tangan mu sakit? Maaf kalau tadi aku terlalu kasar saat menepis ...,""Aku sudah hancur, Laila ..."Suara Rina begitu lirih terdengar. Kepala gadis itu tetap menunduk dengan rambut yang kusut masai. Laila terdiam. Sebenarnya dia tahu kalau telah lancang karena menguping percakapan temannya, tapi hal itu dilakukan nya karena dia sudah melihat Rina yang nyaris melakukan hal yang berbahaya, dan Laila tidak mau jika sahabat nya sampai melakukan hal yang lebih bod*h lagi. "Rin, aku tahu perasaan kamu. Aku akan membantu kamu untuk melewati hal ini," ujar Laila tulus. Suasana menjadi hening sejenak."Kamu tadi sudah menguping sampai mana?""Aku telah mendengar kan semuanya, Rin. Maafkan aku. Tapi aku akan ada selalu ada untuk kamu," sahut Laila
Tubuh Laila seakan membeku, dan Laila yakin bahwa Rina pun merasakan hal yang sama. "Bu, tapi Bu ..." Suara Rina nyaris seperti anak tikus yang terjepit saat melihat mata Bu Yanik melotot padanya. "Saya tidak bisa melakukan konsultasi laporan pasien sekarang. Urusan kamu lebih penting. Ayo ikut saya ke ruang periksa!" instruksi Bu Yanik terdengar tegas dan dingin. "Ba-baiklah, Bu," sahut Rina dengan suara lirih. Rina pun mengikuti Bu Yanik berjalan menuju ke ruang periksa. Ruang periksa yang dimaksud di sini adalah ruangan untuk melakukan ujian tahap atau ujian praktek. Ada sederet bed yang berfungsi untuk memeriksa pasien hamil saat ujian pemeriksaan kehamilan, patung-patung dan boneka peraga untuk ujian persalinan maupun perasat lain. Mata Rina dan Laila bertatapan saat Rina melewati teman nya itu menuju pintu keluar ruang dosen. Pandangan mata Rina seolah menyiratkan permintaan tolong pada Laila agar terlepas dari situasi seperti ini, tapi Laila pun tidak bisa berbuat apapu
"Yu, sakit perut kamu sudah semakin sering?" tanya Juleha yang baru saja muncul dari pintu kamar mandi ruang bersalin puskesmas membuat Laila terkejut. "Lho, Juleha? Kalian akan melahirkan bersamaan? Wah, Alhamdulillah. Semoga lancar ya proses persalinan nya," ujar Laila tulus seraya menurunkan kan tangan nya. Laila merasa Ayu dan Juleha tidak akan mau bersalaman dengannya tapi hal itu tidak menjadi masalah baginya. Juleha pun tidak kalah kaget melihat wajah Laila. "Kamu kok di sini sih? Bikin kaget saja!" cetus Juleha, menatap penuh rasa penasaran pada Laila dan Ayu bergantian. Laila hanya tersenyum. "Hm, aku memang sudah ijin pada kepala puskesmas untuk membantu persalinan di sini. Jangan cemas, aku sudah terlatih kok, insyaallah, tiga bulan lagi jadwalku wisuda. Jadi aku sudah resmi jadi bidan, Ju."Juleha melengos. "Aku tidak peduli dengan kapan kamu lulus. Kamu mau kesini karena mau pamer kalau kamu berhasil kuliah kan? Beda dengan kami yang sekarang justru akan menjadi emak
Laila seketika terbatuk dan tersedak nasi yang dimakan nya. "Uhuk ... Uhuk ...!"Dokter Marzuki langsung membukakan tutup botol air mineral milik Laila lalu mendekatkannya ke arah gadis itu. "Kenapa kamu, Mbak?" tanya Dokter Marzuki agak panik. Laila menyedot air mineral di botol nya lalu menghela nafas dalam-dalam. 'Heh, kok dokter yang nanya sih? Harusnya aku dong yang nanya kenapa hari ini pertanyaan nya aneh banget?" tanya Laila dalam hati. Setelah Laila tidak terbatuk-batuk lagi, dokter Marzuki menatap Laila lalu mengulangi pertanyaannya. "Jadi, apa kamu sudah punya pacar, La?" "Nah itu dia!" sahut Laila seraya meletakkan garpu dan sendok nya ke mangkuk. Gadis itu lalu menyedekapkan kedua tangannya di depan dada, membuat dokter Marzuki mengerutkan keningnya. "Apa maksudmu, La?""Dokter, selama ini kan Dokter nggak pernah sekalipun bertanya saya dekat dengan siapa atau saya pacaran dengan siapa kan? Kok sekarang mendadak dokter tanya siapa pacar saya? Jelas saja kalau saya
Dokter 82"Ada apa, Dokter?""Yasmin kecelakaan, La. Saya mau pulang dulu!" ucap dokter Marzuki tanpa menyentuh makanannya sama sekali. Dokter Marzuki berdiri dari kursi nya lalu menuju ke penjaga kantin untuk membayar makanan nya, Laila mengikuti dari belakang. "Dokter, saya ikut!" ujar Laila seraya berusaha mensejajarkan langkahnya dengan dokter Marzuki. Dokter Marzuki melirik sejenak, sibuk menimbang-nimbang. "Baiklah. Lagipula kamu di sini hanya sebagai tenaga tambahan saja. Bukan karyawan puskesmas dan semua pasien sudah partus," sahut Dokter Marzuki. Wajah Laila berseri lalu dia segera bergegas mengemasi tas nya. ***Kondisi Yasmin rupanya lebih parah dari yang diperkirakan oleh Laila dan dokter Marzuki. Anak dokter Marzuki yang sekarang berusia sembilan tahun itu mengalami beberapa luka terbuka sehingga harus masuk ke ruang operasi dan mengalami pemasangan pen.Dokter Marzuki merasa lemas saat dokter UGD di rumah sakit umum daerah itu mengatakan bahwa Yasmin membutuhkan
"Dokter, benarkah apa yang dokter katakan barusan?"Dokter Marzuki kaget dan seketika menarik tangannya dari pipi Laila. Pipi keduanya memerah saat saling beradu pandang. Jantung Laila berdebar kencang kedua tangan dan kakinya panas dingin. Tapi dia tidak ingin melewatkan momen saat dokter Marzuki baru saja mengatakan cinta padanya. "Dokter? Kok diam? Tolong dong jawab pertanyaan saya?""Kamu ... sudah bangun tidur sejak kapan?" Dokter Marzuki justru bertanya balik. "Saya sudah bangun sejak mobil ini berhenti di halaman rumah saya.""Kalau begitu, ayo turun dari mobil, La. Kamu pasti sudah ditunggu oleh orang tua kamu." Dokter Marzuki masih berusaha mengalihkan pembicaraan nya. "Saya tidak akan turun kalau dokter belum menjawab pertanyaan saya. Dari tadi lho dokter selalu mbulet kalau menjawab pertanyaan saya, padahal saya sudah satset menjawab pertanyaan dari dokter Marzuki," sahut Laila mengerucutkan bibirnya. Dokter Marzuki tampak menyerah. Dia juga harus segera menurunkan Lai