Waktu menunjuk angka sembilan malam, saat mobil memasuki kawasan rumah sakit yang telah disebutkan Rina, bersamaan panggilan telepon adik pertamaku itu mengalun. Akhirnya kabar yang kutunggu tiba."Bapak masuk ruang ICU, Mbak!" ujar Rina terisak. "Kami baru saja sampai." "Aku keluar kalau begitu." Rina menutup telepon sepihak. "Mas, jangan pergi sebelum Bulan kembali," ujarku sambil menangkupkan tangan ke depan dada tanda memohon. Azman menatap kakaknya minta persetujuan, sedang lelaki datar yang duduk depan kemudi itu terdiam sejenak lalu mengangguk.Dengan cepat aku membuka pintu ketika mobil telah terparkir. Aku bimbang antara menggendong Azmi atau tidak yang sementara terlelap."Biar aku yang antarkan Azmi masuk." Ini pertama kali lelaki dingin itu mengajakku bicara. Memang aneh, tapi tak apalah, kuikuti saja keinginannya. Baru saja keluar dari mobil dan memperbaiki posisi berdiri setelah duduk lama, dua sosok bayangan tergesa mendekat. Aku fikir Rina atau adikku yang lainnya
"M-maaf, Mas. Kirain Nailah." Tanganku refleks memutus sepihak sambungan telepon, rasanya ingin menutup wajah dengan panci karena malunya.Sambil menetralisir rasa grogi dan malu yang beraduk, gegas kaki menuju arah yang dimaksud. Samping kiri, kanan, dan belakang rumah sakit ini memiliki taman-taman minimalis. Selain mempercantik bangunan, juga berfungsi mengademkan mata, dan sekaligus obat terapi. Azmi dan Nailah yang main kejar-kejaran, langsung berlari mendekat setelah melihatku, sementara Rina, lelaki datar, dan Azman tampaknya bercerita serius. Ah, anak itu. Aku saja yang hampir seharian bersama mereka, hanya dua, tiga patah yang tersambung. Rina? Seperti sudah bertemu lama saja. Kuakui memang, adikku itu pandai bergaul, dinamis, dan supel. Sungguh berbanding terbalik dengan kakaknya yang introvert dan sedikit bicara. "Okey, kalau begitu. Kami pamit melanjutkan perjalanan," ucap Azman seraya berdiri, diikuti Abi Nailah bersamaan aku baru saja hendak bergabung. "Ingat, ya, Ma
"Hanya kamu yang mama anggap menantu, bukan siapa-siapa," ujar mama Mas Rio lagi mulai bernada tinggi. Kuperkirakan beliau sudah tahu tentang kemelut rumah tangga anaknya. Kepergianku yang tanpa pamit dan tanpa kabar sudah lebih dari kata cukup sebagai penjelasan, atau bisa saja banyaknya pendapat dari tetangga yang kadang tidak suka menjadi pemberitaan yang melebihkan. Ah, sudahlah, semua itu tak penting lagi bagiku sekarang."Nanti kita bahas, Ma. Makanlah dulu," ucapku menyodorkan sendok berisi bubur di atas nakas yang nampak belum disentuh sama sekali, sekaligus mengalihkan pembicaraan. Mengingat Mas Rio dan Marta moodku seketika lenyap, pun kadang otak tak bisa berpikir positif.Wanita paruh baya yang masih menampakkan sisa-sisa kecantikannya itu makan dengan lahap, sementara papa langsung meminta keluarganya memasak banyak sebagai syukuran kecil-kecilan.Selang tak berapa lama, tampak wajah Ibu Hajjah -mama Mas Rio- mulai agak fresh, mungkin karena makanan yang masuk ke perut
Tatap Mas Rio bagai magnet di wajahku, membuat kaki seketika kaku. Entah kenapa aku bersikap begitu, padahal diri merasa di posisi yang tak salah. Untung bapak dan calon mantan mertuaku masih serius dengan ceitanya, jadi tak memperhatikan suasana.Sementara belum menguasai pikiran, Rina menarikku masuk ke dalam, bersamanya sudah ada Azmi dalam gendongan. "Kenapa bisa bapak bersama calon mantan mertua dan suamimu. Mbak?" tanya Rina dengan kerutan alis sesampai di kamar. Tangannya cekatan melepas pakaian Azmi untuk mandi, waktu hampir menunjuk angka lima sore. Aku memindai setiap sudut kamar. Meski Andi -adik ke empatku- yang menempatinya sekarang, pengaturan tak ada perubahan. Foto pengantinku yang ukuran besar berbingkai masih tergantung di atas kepala tempat tidur. Mengingat kebahagian keluarga besarku pada saat itu, menciptakan gelenyar nyeri di aliran dada. "Ditanya kok melamun." Rina menyadarkanku dari peristiwa tiga tahun sebelas bulan yang lalu."Dia yang jemput tadi di rumah
"Ka-kami tak pernah cerita kok tentang, Mbak, sungguh ... . Meski Mas Rio sering mendesak dan merayu dengan bermacam cara." Rina menaikkan jari telunjuk dan tengah membentuk V tanda bersumpah, tapi tak membuat hatiku iba atas dukungannya ke lelaki yang telah membuat kakaknya menderita. Terserah dia sajalah, berpendapat memang tak dibayar. "Awalnya tak percaya, tapi lama-lama mulai kasihan juga," tambah gadis yang baru wisudah sarjana itu. "Ck," decakku mengalihkan wajah ke luar jendela. Lelaki pemicu emosi jiwa tercepat itu telah sukses meraih poling suara terbanyak di keluargaku. Kenapa nggak ikut pemilihan pilkada saja dia?"Dia mengambil motor Mbak yang mulai kusam itu dan menggantinya motor baru, katanya semua tentang Mbak dia akan simpan baik-baik. Entah itu benar apa nggak, kami meleleh dibuatnya," lanjutnya lagi dengan suara iba.Kali ini tak menanggapinya. Aku pikir Rina hanya hanyut akan kamuflase kebaikan lelaki yang pandai berakting."Pak Haji dan Bu Haja juga sering ke s
Jam sembilan pagi aku berencana menunai janji ke rumah orang tua Mas Rio. Waktu segitu biasanya dia masuk kantor, jadi tidak bakal bertemu. Perjalanannya tak cukup sejam sampai di sana. "Bangun, Mbak." Aku mengumpulkan kesadaran setelah membuka mata.Entah jam berapa semalam baru bisa terlelap, ungkapan Rina yang meminta koreksi diri atas kehancuran rumah tanggaku terus terngiang, sekaligus menciptakan perasaan bersalah di sudut hati yang lain. Serasa egoku mulai runtuh.Mungkinkah aku yang kurang sabar menghadapi ujian rumah tangga itu? Layakkah diri pernah disebut istri jika tak pernah berusaha menjadi pendamping yang baik? Mungkinkah...? Arght, kenapa kalimat-kalimat adikku itu, seketika membuat kepala berdenyut? Tidak! Apapun itu, di sini aku yang jadi korban, terluka, dan tak dianggap. "Mbak!" lagi, suara Andi terdengar sambil menyodorkan HP yang sedang berdering. Jam sudah menunjuk angka dua belas siang, sebentar lagi Duhur."Oh, iyya, Mbak, aku tadi mau ke situ, tapi ketidura
"Jadi ...?" tanya pria egois itu ngambang dengan suara bergetar, pun raut memelas tanpa berkedip dan tanpa mengalihkan pandangan dariku Lebay! Dia pikir aku percaya?"Kelamaan! Buka pintunya!" sentakku mulai jengah. Dia mengusap wajah kasar dan menekan tombol samping kanannya, dia tampak frustasi.Cepat aku keluar setelah bunyi klik, lantas melangkah gesa ke depan mobil, saat bersamaan.Andi pun tiba. Untung anak itu tepat, kalau nggak, bisa saja aku jalan kaki sampai rumah bila ojek pun tak muncul. Begitulah saat emosi jiwa, kadang tenagaku lebih kuat dibanding sebelumnya."Kenapa sih, Mbak, marah terus sama Mas Rio? Padahal orangnya baik, kaya, ganteng lagi." E, e, ternyata anak seumur jagung ini juga sudah dicuci otaknya sama pria egois itu."Emang kamu dikasi apa bilang dia baik?""Pulsa dan jajan, Mbak, hampir tiap bulan malah." Ck! Selain dia egois, ternyata main sogok sama anak kecil. "Mas Rio-""Nyetir aja yang benar. Nggak usah bahas-bahas mas baikmu itu," ujarku memotong uca
Panggilan pertama dan kedua diabaikannya. Oke, tak ada alternatif lain, meski lambat chat jadi pilihan. [Balikin ponselku!] tulisku tanpal salam dan embel-embel lain. [Akhirnya ... Ambil sendiri] balasnya dengat emot tertawa dan tak pake lama. Kurang asem betul ini orang, gadi ditelponin nggak diangkat.[Taruh aja di tangga. Ntar Andi ke situ ngambilnya][Mesti kamu sendiri langsung jemput, baru aku lepas. Gimana kalau hilang? Banyak nomer-nomer penting di sini] balasnya lagi dengan mengirimkan gambar HPku yang sedang di utak-atiknya. Jadi menyesal tak memasangkannya pasword. [Apa maumu?] tulisku dengan dada naik turun. Sungguh lancang pria egois itu. Dia pikir aku masih seratus persen istrinya apa? [Pengen rujuk] balasnya dengan emot love berjejer. [Jangan mimpi!][Ayolah, Bulan. Beri aku kesempatan] emotnya lagi memelas.Arhgt! Bicara dengan lelaki ajaib seluruh jagad raya itu, senantiasa membuat jantungku bagai perang di sana. Bisa-bisa aku mati berdiri jika terus melayaninya.