Pov Rio ArindraJantung seakan berderap seperti mau perang ketika mama memintanya melepas jilbab dan aku disuruh memasang kalung di leher wanita tak elok di mata itu. Memang aku tak pernah melihatnya bertelanjang kepala, bahkan wajahnya saja tak pernah kuperhatikan seksama selain ketika bertengkar, berdebat, dan saat-saat emosi jiwa membuncah. Ah, kenapa ada desir aneh saat berjarak beberapa jengkal dengannya? Ternyata di balik pakain tak kekinian itu dia memiliki keindahan alami tanpa menggoyangkan isi dompet. Arght! Harum tubuhnya mulai memorandakan ketenanganku, juga melengserkan persepsi buruk kepadanya. Dia jauh lebih dari wanita yang kupuja.Pertengkaran hebat terjadi saat kami pulang dari mama. Marta membanting foto pernikahanku dengan sahabatnya karena cemburu. Entah kenapa tiba-tiba saja membawa bingkai yang menyimpan momen bersejarah itu. Selain ingin menggantungnya di dinding sebagai jaga-jaga tidak tersingkapnya kebobbrokan rumah tangga akibat ulahku ke keluarga besar. Ju
Pov Rio Arindra"Mas fikir Bulan akan kembali? Nggak usah buang-buang waktu menunggunya. Kalau aku saja sahabat dikhianati, apalagi kamu yang memang nggak pernah berbuat apa-apa." Marta terus mengomel melihat kamar Bulan telah selesai direnov. Aku membuatnya lebih luas, unik, dan menyambungkan ke taman belakang. Wanita yang telah tersakiti itu paling suka tanaman. Aku mengetahuinya, saat sering tak sengaja setiap pulang dari kantor dan sehabis makan masakannya, terihat dari jendela kamarku dia menanam dan merawat sayur-sayuran jangka pendek. Daun sop, tomat, Cabe, kacang panjang, tersusun rapi beserta bunga. Setelah menyirami tanamannya dia akan menghabiskan sore menatap kilauan cahaya matahari berwarna keemasan sampai lenyap di ufuk barat. Ah, baru kini kusadari, tempat itu sangat damai setelah mengikuti kebiasaannya, itupun setelah dia tiada.Bertambah-tambahlah rasa sesal ini menekan, mengetahui tanaman itu sepenuhnya dia belum nikmati dan pergi. "Mas tak boleh ke mana-mana!
POV Rio Arindra[Dengar-dengar, mbakmu sudah punya anak, ya?] pesanku pada Rina.Informasi Andi membuatku sangat penasaran. Apalagi pertemuan dengan seorang bocah laki-laki yang sangat mirip denganku di acara ultah anak cabang perusahaan di daeran Tenggara bagian Sulawesi kian membuat harapku besar, sekaligus takut pada waktu bersamaan dengan cerita Andi. Meski tipis aku berharap bocah itu anakku dari Bulan. Namun, takut jika Bulan punya anak dan bukan dariku. Berarti? Bulan telah termiliki di sana dan perkataan Marta yang selalu menjelekkan sahabatnya benar. Wanita yang membuatku rindu setengah mati itu benar-benar pergi karena menghianati? Arght! Masalah yang kian menumpuk mulai tak menormalkan otakku.[Mas mau tahu pasti? Atau sekedar pingin cari kabar saja?][Tentu][Okey! Rina sudah percaya sama, Mas Rio. Karena melihat kesungguhan Mas selama ini][Maksudnya?][Bapak ada di rumah sakit sekarang, mungkin Mbak Bulan datang besok. Jangan sia-siakan kesempatan ini kalau Mas benar-b
Keesokan harinya setelah acara Rina, aku, Reta, dan Mas Gading berencana ke Pare-pare. Kami sudah susun akan berangkat sore agar bisa melihat semburat cahaya merah di balik pulau kecil, yang berdiri di tengah laut pantai Senggol. Sungguh indah moment-moment itu, apalagi sambil makan ubi goreng ditemani sarebba -minuman khas Bugis, yang berbahan jahe, gula merah, santan, dan susu- maka hidup terasa nikmat.Kenapa hatiku terasa ngilu mengingat kota kenangan itu? Mungkinkah karena pernah hampir dua bulan, hanya berputar-putar saja tanpa tujuan membuat lukaku terkuak? Duh, Mas Rio ... Mengingat betapa tersesatnya aku atas perlakuanmu dulu, selalu menciptakan perih di hati. Meski diri telah mencoba menerima segala maafmu sekarang tapi tak memungkiri selalu sesak mengingat masa-masa indahmu dengan wanita pujaanmu, sekaligus masa terdownnya seorang wanita yang berusaha menjadi istri sholehah sekaligus anak berbakti. "Jadi berangkat?" Reta menyadarkanku dari kungkungan masa-masa terpuruk.
Setelah satu jam setengah perjalanan, mobil memasuki kota. Debar entah di dada begitu nyata menyaksikan semua tempat yang pernah kusinggahi, bahkan yang hanya tertangkap mata saja. Oh, kenagan itu begitu nyata antara manis dan pahit bergumul di memoriku, betapa rasa ini syahdu tak terelak.Pare-pare ... Ada kerinduan kokoh di sisi hati, tentang semua kenangan manismu. Namun, sisi lainnya ada benci yang bersarang rekat akibat sebuah luka."Move on, lah, Bebz! Hidup itu dinikmati, bukan ditangisi." Reta menyadarkanku dari lamunan dengan sedikit tepukan di bahu. Walau ada rasa bimbang, tetap jua mengikuti langkah dua bersaudara itu menyusuri pantai Senggol di antara kafe mini dan warung-warung khas daerah.Semua berjalan sesuai rencana. Reta dan Mas Gading menikmati matahari tenggelam sambil berselfia ria. Sedang aku melaluinya dengan seporsi makanan khas Bugis sambil mengulik setiap jengkal kenangan indah yang telah terserak, ah, sesak selalu saja merajai ketika memandang pulau yang sep
Entah ini sore ke berapa kali, aku masih setia duduk di bawah pohon jambu air yang berbuah lebat belakang rumah. Sebahagian dahannya menjuntai di atas pengairan persawahan. Aku mengibaratkan diri ini buah yang jatuh ke air itu. Terbawa arus, berbaur dengan buih, terbentur di bebatuan, dan tak tahu di mana kan tersangkut. Mungkin saja buah itu kan membusuk hingga habis tak tersisa. Atau akan ada seorang yang kebetulan lewat, dan menjadikan pelepas dahaga. Andai ada pilihan, aku ingin buah itu tetap di pohon saja, tanpa melalui proses ranum, masak, jatuh, lalu tak bersisa sama sekali. Harapan yang sangat mustahil. Rasanya malu sekali hati mengharap pada sesuatu yang tak mungkin terjadi.Sehari setelah Reta dan Mas Gading bertolak pulang dan jatuhnya bapak dari tangga saat menggendong Azmi naik rumah, membuatku masih tertahan di sini. Bukan! Bukan karena merawat orang tua yang memicu jiwa seakan nelangsa, atau menghitung masa iddah yang tinggal hitungan jam lagi.Tapi telepon dari Si
43.Belajar Melupakan Dendam"Apakah Mas yang merapikan semua ini?" tanyaku melihatnya sejenak, lalu kembali fokus ke isi lemari. "Iyya. Tidak suka?" Aku memilih diam. Meski sebenarnya ada perasaan entah. Di sini aku dapat menilai lelaki itu siap sedia menampakkan sisi kebaikannya pada seseorang yang dicintai. "Aku memperbaiki rem motormu dua hari yang lalu, makanya jadi begini." Bola mataku memindai wajahnya lagi sejenak untuk mencari keseriusan di sana. Nampaknya dia tidak sedang beracting seperti dulu. Jadi? Yang dikatakan Rina tentang roda dua itu benar? Sekarang gara-gara itu dia masuk rumah sakit? Sebegitu dalamkah penyesalan ayah dari putraku selama ini? Sampai segitu-gitunya? Arght! Jujur ... Kebimbangan mulai menekan jiwaku. Sejak netra ini melihat langsung dia memukul Marta di lapangan malam itu, expektasiku seakan bergeser. Mungkin memang dia telah berubah. "Ijinkan aku memperbaiki kesalahan, Bulan," tegurnya saat aku memilih diam. "Pertemukan aku dengan Marta," ujark
"Azmi sebaiknya PAUD di sini saja." Ibu mendekat saat aku melipat mukena. Entah ke berapa kali permintaan itu beliau lontarkan. Aku tahu, itu bentuk pelarangannya agar putrinya tak kembali lagi ke tanah rantau, mengingat statusku telah menjanda. Beliau memang sangat mengkhawatirkan nasib putrinya yang malang ini. "Bulan pernah melewati masa-masa tersulit dibanding ini, Bu," jawabku memberi beliau keyakinan."Lagian, aku belum bisa berpisah sama Azmi, Bu. Kecuali kalau dia sudah besar.""Sebaiknya kamu pindah saja ke sini lagi."Dert ... Dert ...Panggilan telepon menghentikan percakapan kami."Kamu di rumah, kan? Mbah mau ke situ." Suara wanita sepuh di balik telepon nomor Nailah, seketika membuatku tiba-tiba panik. Bukan kerena lelaki dingin itu saja penyebabnya. Tapi, kulkas sedang kering dan aku belum sempat belanja ke pasar."S-simbah sudah di mana sekarang?" jawabku gagap efek panik. "Masuk lorong." "Oo, iyya, Mbah. Bulan tunggu," kataku menutup telepon sepihak, lalu gegas b