Sakha berbalik. Tak mampu menatap wajah Tabitha yang tampak kesakitan karena ucapannya. Tapi mengapa? Mengapa Tabitha harus menunjukkan ekspresi menyedihkan itu, yang membuat Sakha merasa bersalah? Sungguh tak adil. Tabitha berkali-kali membuat Sakha tampak seperti tokoh antagonis yang merusak hidup wanita itu. Padahal, jika Tabitha mau sebentar saja melihat dari posisi Sakha, maka yang terjsdi pun sebaliknya. Sakha juga menjadi korban dari sikap Tabitha yang berubah-ubah. Jika dibuat perbandingan, mungkin saja Sakha-lah yang paling banyak menerima rasa sakit. Namun, ini semua bukan tentang siapa yang paling tersakiti yang boleh bertindal sesukanya. Jika dunia berputar dengan hal-hal itu sebagai pondasinya, mungkin sejak dulu tidak akan pernah ada namnya kedamaian. Sebab, setiap korban yang merasa paling tersakiti akan selalu bertindak semena-mena. "Sakha, tunggu sebentar," tahan Tabitha lagi saat Sakha sudah benar-benar membuka pintu. Angin malam berembus masuk, membuat Tabitha m
"Semalam, kita nggak pakai kondom," kata Sakha begitu blak-blakan setelah ia dan Tabitha selesai sarapan. "Aku... lagi nggak di masa subur. Tenang aja," balas Tabitha yang sesungguhnya tetap juga khawatir. Saat masih menikah, selama empat tahun itu, mereka berusaha menghadirkan satu janin untuk bisa tumbuh di rahim Tabitha, tetapi tak kunjung berhasil. Tabitha bahkan sudah nyaris putus asa dan memanfaatkan keadaan itu untuk menggugat cerai Sakha, walau masalah sesungguhnya bukan hal itu. Namun, bukan hal yang mustahil jika kali ini mereka mendapatkan jackpot hanya setelah mereka melakukannya sebanyak dua kali malam tadi, kan? "Kita bercinta dalam keadaan tanpa ikatan, Bee. Kamu yakin tetap bisa tenang?" tembak Sakha yang kini sudah berpindah posisi. Piring-piring kotor sudah Sakha tumpuk dan bawa ke kitchen sink untuk ia cuci. Sementara Tabitha tetap duduk di tempatnya karena Sakha tidak mengizinkannya untuk bergerak setelah pagi tadi saat bangun tidur Tabitha mengeluh kakinya be
Pembicaraan serius tentang nasib hubungannya dengan Sakha tadi terputus begitu saja sebelum mencapai kesepakatan karena ponsel Sakha berdering nyaring, menampilkan nama Pramudya. Sakha langsung beranjak pergi dari dapur untuk mengangkat telepon dari atasannya di kantor itu dan tidak kelihatan berkeliaran di lantai satu rumah itu hingga dua puluh menit kemudian. Saat Sakha akhirnya muncul, pakaiannya sudah berganti menjadi lebih rapi. Laki-laki itu mencangklong dua tas berbeda yang Tabitha tahu isinya laptop dan kamera. "Kamu mau ke mana?" "Meeting sama orang kantor. Hari ini mau pilih-pilih foto yang mau dipamerkan nanti." "Di kantor?" Sakha mengernyit. "Iya. Memangnya di mana lagi?" "Kemarin kamu meeting dari rumah." Sakha tertawa kecil saat bisa menebak kalau Tabitha tidak ingin ditinggal sendirian di rumah. "Kamu butuh space buat mikir soal apa yang kita bicarakan tadi. Harus udah punya jawaban sampai aku pulang sore nanti—" "Kamu meeting dari pagi sampai sore? Kok lama?"
Setelah mengirimkan hasil pekerjaan yang ditugaskan oleh atasannya melalui email, Tabitha bingung mau melakukan apa lagi agar tidak bosan. Ia sudah mengulang-ulang rutinitas yang sama selama tiga hari terakhir ini hingga kebosanan menghantuinya. Jika Tabitha masih terus terjebak pada kegiatan yang sama sampai cutinya habis dua hari lagi, Tabitha pasti sudah akan gila.'Kamu masih harus banyak istirahat, Bee. Nggak boleh banyak kegiatan berat yang hanya akan semakin memperlambat proses pemulihan kamu. Sabar sedikit bisa kan? Cuma tinggal beberapa hari lagi kamu udah bisa kerja di kantor lagi kayak biasanya,' kata Sakha saat Tabitha merengek kepada laki-laki itu agar dibolehkan pergi keluar pagi tadi.Tabitha menatap ponselnya yang sepi. Pesannya untuk Sakha yang terkirim dua jam yang lalu masih belum terbaca. Sepertinya, meeting yang Sakha hadiri berlangsung lebih lama dari perkiraan laki-laki itu yang katanya akan pulang sebelum jam empat sore. Sementara sekarang sudah pukula setengah
Jona sudah menunggu di lobi saat Tabitha memasuki gedung kantornya diikuti Sakha yang bersikeras mengantar wanita itu sampai ke ruang kerjanya. Tabitha sudah menolak diantar sampai ke dalam karena ia tidak ingin rekan kerjanya heboh, tetapi Sakha tidak peduli. Laki-laki itu beralasan ingin memastikan Tabitha benar-benar selamat sampai tujuan. Katanya, "Biar aku bisa tenang, Bee. Ini kan hari pertama kamu kerja lagi, masih pakai alat bantu buat jalan dan belum benar-benar terbiasa. Aku nggak mau kamu kesusahan." Kekhawatiran Sakha sangat berlebihan. Menurut Tabitha pribadi, perlakuan Sakha terhadapnya yang overprotektif itu hanya akan menghambat proses pemulihan kakinya. Tetapi memang dasar Sakha keras kepala. Alasan yang Tabitha utarakan itu menurut Sakha hanya akal-akalan wanita itu saja yang gatal ingin bertingkah pecicilan. "Duh, akur banget pasangan baru yang lagi kasmaran kedua. Silau mata gue," ejek Jona sembari pura-pura muntah saat matanya menangkap gestur Sakha mengelus
Pesan berisi hal serius yang dikirimkan Tabitha pagi tadi membuat Sakha tidak bisa fokus memilah foto-foto. Kemarin, Sakha dan tim yang ditunjuk oleh Pramudya agar membantu Sakha mempersiapkan pameran memang sudah mensortir banyak foto, tetapi untuk keputusan finalnya—foto mana saja yang akan dipamerkan—ada di tangan Sakha. Sakha sebenarnya sudah akan menyinggung masalah 'itu' dan meminta Tabitha menjelaskan sedetail-detailnya, tetapi Sakha sengaja menunggu waktu. Ia perlu mempersiapkan diri untuk mendengar jawaban Tabitha. Salha pikir Tabitha juga belum siap membicarakannya karena mereka kemarin sepakat akan menikmati waktu berdua dulu sebelum memikirkan masalah lain yang membutuhkan momen yang pas dan juga berbekal pikiran yang jernih. "Apa lagi masalahmu, Sakha? Bukankah kamu sudah mendapatkan mantan istrimu kembali? Tapi kenapa kamu malah murung?" Cecaran pertanyaan Pramudya yang tiba-tiba muncul itu membuat Sakha ingin kabur saja. Sakha malas meladeni bosnya yang belakangan in
"Kenapa, Tha? Makanannya nggak enak? Nggak sesuai selera lo ya?"Pertanyaan beruntun dari Haga menyentak Tabitha dari lamunannya terkait balasan Sakha yang meminta Tabitha menunda membicarakan masa lalu. Padahal, tadinya Tabitha sudah yakin sekali setelah obrolannya dengan Jona."Tha? Are you okay?" tegur Haga lagi karena Tabitha malah melanjutkan lamunannya tanpa menjawab apa-apa."Oh, nggak. Maksud gue, bukan makanannya yang nggak enak. Gue... gue juga baik-baik aja, tapi gue cuma lagi kepikiran sesuatu," balas Tabitha dengan agak terbata sebelum Haga salah paham.Dua jam sebelum jam makan siang tadi, Haga mengirimkan pesan tentang ajakan makan siang dan Tabitha langsung menyetujuinya. Tabitha perlu memastikan bahwa pertemanannya dengan Haga yang baru terjalin itu tidak rusak hanya karena kecanggungan menyebalkan beberapa waktu lalu karena Sakha."Yakin?" Haga memastikan."Iya, gue nggak papa. Nih, gue makan," ringis Tabitha yang kemudian menyuapkan satu sendok penuh makanan ke dala
"Kamu tadi ketemu Albert?"Pertanyaan yang dilontarkan Sakha membuat Tabitha urung menyuapkan sesendok nasi ke dalam mulutnya."Iya. Dia cerita kalau tadi aku makan siang bareng Haga?" Tabitha balas bertanya dengan nada santai meski dalam hati ia khawatir Sakha akan marah seperti beberapa waktu lalu.Sakha mengangguk. Ekspresi di wajahnya tetap datar. "Dia lebih khawatir soal kita berdua balikan, actually."Tabitha meringis. Tadinya, Tabitha tidak ingin menyinggung tentang obrolannya dengan Albert yang tidak terlalu mengenakkan hati. Namun, karena Sakha yang lebih dulu membahasnya, Tabitha rasanya jadi ingin menceritakan keluh kesahnya."Soal pesan balasan yang kamu kirim tadi—""Makan dulu ya, Bee. Kita bahas nanti setelah di rumah. Abis ini aku harus ketemu penanggungjawab gedung tempat pameran digelar nanti. Nggak papa, kan?"Tabitha mengangguk-angguk, kemudian melanjutkan makan malam dengan tenang. Sakha pun juga melakukan hal yang sama. Tak lebih dari dua puluh menit kemudian, ke