Share

MENIKahi ARJUNA
MENIKahi ARJUNA
Penulis: Bu Dhe

1 Ngebet Kawin

 Tahun 1980an

"Buk, aku arep kawin (aku mau nikah)," perkataan Menik yang tengah membantu ibunya menyiapkan makan malam saat itu mengejutkan Bu Tina yang tengah meniup api di pawon.

"Ngopo tho nduk? Kawin opo? Kok kesusu?" (Ada apa Nak, nikah apa? kok terburu-buru?) Bu Tina berdiri menghampiri Menik yang sedang memotong sayuran.

"Kalau aku nggak nikah, mau ngapain, Buk? Sepantaran aku di desa ini udah pada nikah dan punya anak semua. Memangnya Ibuk mau anaknya dibilang perawan tua?" balas Menik sambil mengerucutkan bibirnya

"Ya kamu bisa sekolah lagi. Masuk perguruan tinggi sana. Atau ambil kursus jahit atau rias pengantin. Biayanya nanti bisa kita usahakan. Kamu kan baru 20, Nduk. Apa ndak sayang kalau mau cepet nikah?" Bu Tina membujuk Menik dengan lembut.

"Emoh aku Buk (tidak mau aku Buk). Aku mau cari duit aja. Atau nikah sama orang kaya biar nggak perlu kerja. Capek aku Bu, bantuin ibu tandur (menggarap sawah/ladang)," Menik bersikukuh.

"Kalau mau dapat duit ya kerja aja nduk. Kemarin katanya mau ikut Ajeng kerja di pabrik," kata Bu Tina.

"Iya mau Buk. Besok aku mulai ke pabrik. Katanya sih lumayan, Buk, tiap Minggu gajian," jawab Menik sambil senyum-senyum membayangkan akan memiliki penghasilan sendiri, sehingga bisa berbelanja sesuka hati.

"Lha yo bagus kalau begitu. Belajar dapat uang sendiri, biar Ndak ngerepotin Mbakyu-mu terus," Bu Tina ikut senang melihat anaknya dapat pekerjaan.

"Ya beda tho, Buk. Jatah dari Mbak Murni itu kudu tetep ada," Menik tidak senang mendengar perkataan Bu Tina itu.

Bagi Menik dia punya hak untuk dapat sangu, uang saku, dari kakaknya yang sudah bekerja. Apalagi suaminya pegawai negeri.

"Yo jangan begitu nduk. Mbakmu sudah punya keluarga sendiri. Sebentar lagi bakal ada anak yang harus dibiayai. Jangan minta-minta terus sama mbakmu. Mendingan kerja dapat duit sendiri," Bu Tina memberi nasihat pada anaknya yang nomor dua itu.

"Iya iya, Buk. Mbak Murni itu enak ya Buk, suaminya kan pegawai juga kayak Bapak. Nanti tua dapat pensiunan," Menik mengungkapkan rasa irinya.

"Gaji pegawai itu Ndak seberapa Nduk. Lihat bapakmu. Puluhan tahun jadi pegawai baru dua kali aja Bapak naik pangkat, naik gajinya juga nggak seberapa," bela ibunya.

"Lha itu pak Narji sudah bisa beli mobil sendiri Bu. Katanya pak Narji masuk kerja barengan sama Bapak 'kan? tapi kok Pak Narji udah lebih tinggi pangkatnya dari Bapak?" Menik mengungkapkan ketidaksenangannya.

"Hush, kalau ngomong hati-hati," ibunya memperingatkan.

"Lha ya bener tho Bu. Katanya, pak Narji itu bayar orang pangkat buat bantu dia juga naik pangkat, Buk," Menik tak mau kalah.

"Wes ora sah diteruske. Ora becik ngomongke uwong (sudah jangan dilanjutkan, tidak baik menggunjingkan orang)," ibunya berdiri mengambil wajan dan mulai memanaskan minyak.

"Tapi Bu, selama aku belum gajian kan nggak papa kalau aku masih minta Mbak. Ke pabrik kan juga perlu ongkos, Buk, lagian uang saku yang bapak kasih juga sedikit. Nggak cukup," Menik masih mencari alasan agar Bu Tina tidak mempermasalahkan jika ia kedapatan meminta uang saku pada kakaknya.

"Lha memangnya kamu buat apa aja uang yang bapak kasih? Kamu makan juga di rumah, pergi keluar selalu diantar jemput sama Naryo," ibunya tidak habis pikir.

"Yaa buat beli make up lah Bu. Beli bedak, lipstik, baju, kan aku nggak mungkin keluar pake pakaian yang itu-itu aja," jawab Menik beralasan.

"Jadi perempuan harus pinter ngatur keuangan. Beli seperlunya saja. Jangan boros. Bapakmu masih ada tanggungan adik-adikmu," kata ibunya sambil mengaduk nasi di dalam periuk.

"Mangkanya aku mau kawin aja bu. Sama orang kaya. Kalau aku nikah sama jutawan kan aku bisa kasih uang banyak ke bapak sama ibuk. Jadi aku nggak ngerepotin siapa-siapa," Menik melanjutkan sambil terus mengupas bawang.

"Jutawan opo?" 

"Ya pokoknya jutawan, Buk," jawab Menik.

"Mau dapat jutawan dari mana? Wong di desa kayak gini," kata ibunya tidak setuju.

"Mangkanya aku sering pergi sama Naryo, ke kota biar gaul," jawab Menik.

"Walah, yang realistis aja, Nduk. Memangnya kamu itu mau nikah sama siapa? Naryo?" Tanya Bu Tina.

"Ora buk (tidak buk). Emoh aku (tidak mau aku). Naryo itu gayanya terlalu nyentrik, Buk. Memang kaya, anak tunggal juragan tebu, tapi aku juga mau cari yang ganteng lah, Buk. Kalau nggak dapet yaa sama Naryo juga nggak papa," Menik tidak ingin membayangkan dirinya menikah dengan Naryo yang kebanyakan gaya tapi dengan wajah pas-pasan.

"Lha terus ngopo kok nangdi-ndi jaluk diterke Naryo? (Terus kenapa kemana-mana minta diantarkan Naryo?)" Tanya Bu Tina tidak senang mendengar perkataan Menik.

Bagi Bu Tina pantang jika seorang wanita dekat dengan lelaki tanpa ada tujuan yang serius ke depannya.

"Yaa daripada berangkat sendiri kan, Bu, enakan ada yang nganterin, gratis. Nggak perlu keluar ongkos," jawab Menik sekenanya.

"Wes ora usah aneh-aneh. Kalau memang nggak serius sama Naryo jangan keluar-keluar berduaan. Ga penak disawang tonggo (tidak enak dilihat tetangga)," kata bu Tina sambil geleng-geleng kepala.

"Wong aku Ndak pacaran kok Buk sama Naryo. Dianya aja yang kegeeran. Aku mau nikah sama orang kaya. Yang ganteng, Yang punya pangkat," kata Menik.

"Sopo?" (Siapa?) Tanya ibunya dengan nada lelah.***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status