Hallo, terima kasih sejauh ini masih membaca. Happy reading!
Amanda tampak cemas mendengar pembicaraan Wisnu dan Ujang. Dia segera menghampiri suaminya itu dengan raut bertanya-tanya. “Ada apa, Mas?!” “Tidak, apa. Mama mungkin kecapekan, jadi dia pingsan tadi,” ucap Wisnu dengan tenang sambil mengambil kunci mobilnya. “Ya Allah, Mama! Bagaimana keadaannya?” “Kita akan lihat ke sana sekarang.” Wisnu menggandeng tangan Amanda dan mengajaknya bergegas keluar untuk melihat Moana yang dibawa ke rumah sakit. Di perjalanan Amanda tak henti mencoba menghubungi Marina, tapi tidak diangkatnya pula. Amanda jadi bertambah cemas. Tadi pagi, Moana baik-baik saja dan tidak ada tanda bahwa dia kelelahan atau sakit. Tiba-tiba sore ini dia harus dibawa ke rumah sakit? Oh Tuhan, seharusnya Amanda tidak pernah percaya kalau mamanya itu selalu mengatakan keadaannya baik-baik saja. “Kenapa mama tambeng sekali, kalau tidak boleh capek-capek harusnya dia tidak capek-capek! Kalau sudah begini semua jadi khawatir kan?” Sepanjang jalan Amanda menggerutu sendiri. A
Wisnu masih terjaga sambil memeriksa ponselnya. Dia meminta Purwa untuk beristirahat agar orang tua itu tidak sakit di saat seperti ini. Ketika itu Moana terbangun. Wisnu yang mengetahuinya segera bangkit dari duduk dan memeriksa kondisi Moana. “Aku merasa sudah baikan, Wisnu!” tukas Moana sembari tersenyum lemah menatap menantunya yang sangat perhatian itu.Wisnu menyeret tempat duduknya agar bisa menemani Moana yang terjaga dan tidak bisa kembali tidur itu.Karena kKondisi Moana sudah membaik setelah menjalani transfusi darah, Wisnu kemudian menyampaikan rencana yang sudah disepakati Purwa dan Dirja. Terkait memajukan jadwal pernikahan mereka menjadi besok, kemudian jika kondisi memungkinkan Moana langsung diterbangkan ke Jakarta malam harinya.Bagi Wisnu, musuh yang paling berbahaya adalah waktu. Saat Moana menyampaikan keberatannya memajukan jadwal pernikahan, Wisnu masih memberinya pengertian agar menyetujui apa yang sudah dibicarakan sebelumnya.“Dokter Irham sudah meminta kaw
Rombongan keluarga Dinata sudah sampai di bandara internasional Jakarta dan langsung di jemput mobil pribadi. Wisnu berjalan menggandeng Amanda, Purwa mendorong kursi roda Moana, sementara Ujang dan Marina berjalan di belakang diikuti beberapa asisten yang membawakan barang mereka. Dirja hanya bisa mengantar mereka sampai bandara saja kemudian langsung bertolak ke Surabaya karena harus mengurus hal penting lainnya.“Apa mama akan menjalani pemeriksaan besok?” tanya Amanda yang sudah bersiap tidur itu. Dia lelah sekali karena harus sibuk membantu mengurusi pernikahan mamanya seharian tadi.“Iya, lebih cepat lebih baik,” jawab Wisnu.“Menurut Mas Wisnu bagaimana?”Amanda sebenarnya masih bertanya-tanya tentang kepastian penyakit Moana. Bukankah beberapa waktu yang dokter Ramon menyatakan bahwa dirinya belum dalam taraf sirosis, artinya penyakitnya itu belum terlalu parah. Tapi kenapa sekarang justru terlihat serius?“Mama itu hanya sedikit stress dan kepikiran pernikahan kemarin, jadi d
Amanda melihat semua orang jadi tegang karena tiba-tiba Moana tidak tahan untuk menyuarai istri Mirzha yang sudah seenaknya menyuruh-nyuruh dan mengatakan bahwa dirinya adalah pembantu. Dia kemudian mencoba mencairkan suasana.“Tidak apa, kok. Bu titik sedang sakit, Kang Ujang dan Damar sedang ada repot,” tukas Amanda tersenyum pada mamanya. lalu dia beralih lagi pada Annisa dan berkata, “Oh, ya! Kau lebih suka minum air putih Annisa? Itu bagus, sebentar aku akan ambilkan!”Amanda seolah tidak mempermasalahkan dan berbalik mengambilkan minuman lagi. Wisnu akhirnya bangkit dan mengikuti Amanda.Purwa mengelus bahu Moana, dia memang sedikit sensitif jika sudah menyangkut putrinya. Sementara Mirzha Nampak tidak enak, istrinya itu berulah dengan membuatnya malu di depan Purwa dan istri.“Aku bantu, ya?” Wisnu menghampiri Amanda.“Ish, masa Pak Wisnu suguhin minuman ke tamu? Udah sana, biar aku saja!” Amanda menolak.“Tapi Pak Wisnu tidak mau Nyonya Wisnu kecapekan, sini!” Wisnu mengambil
Moana berjalan menatap rumah keluarga yang kini sudah tidak ditempati lagi itu. Banyak kenangan yang dia miliki di rumah tersebut. Sepuluh tahun dia menjadi menantu keluarga Dinata dan tingal bersama-sama. Hatinya kemudian menjadi sedih mengingat ibu mertua dan sudara iparnya ternyata sudah pergi meninggalkan dunia ini.“Ada proyek besar-besaran di sebelah sana tanpa memperhitungkan untung ruginya bagi lingkungan. Karena itu kawasan ini menjadi langganan banjir. Setelah ibu meninggal, rumah ini seperti kehilangan kharismanya. Banjir membuat banyak barang kenangan kami rusak, termasuk foto-foto kita”Purwa menjelaskan pada Moana saat mereka melangkah ke dalam rumah keluarga Dinata yang lama.“Oh, sayang sekali. Dulunya di sekitar sini sangat asri dan jauh dari polusi kendaraan. Baru juga 24 tahun ya?”“Jangankan 24 tahun, 24 jam saja kalau kita tidak mengikuti perkembangan dunia, kita sudah jadi manusia purba.”Purwa terkekeh sambil menggandeng lengan Moana masuk ke dalam. Terlihat Ama
Moana mengutarakan keinginanya untuk bisa bermalam di rumah lama Dinata. Rumah ini membuatnya rindu pada banyak kenangan yang dia habiskan dulu ketika menjadi istri Purwa. Dan dengan tanpa penolakan Purwa mengiyakan.“Aku akan minta Ujang mengirim makanan, anak-anak juga harus diberitahu ini,” tukas Purwa hendak beranjak. Namun Amanda dan Wisnu sudah terlihat datang.“Sudah hampir maghrib, tidak balik, Ma?” tanya Amanda pada Moana.“Mamamu mau menginap di sini, kau tidak keberatan kan?” tanya Purwa.“Oh, bagaimana Mas?” Amanda menatap suaminya, biasanya Wisnu masih ada yang di kerjakan di ruang kerjanya meski itu di rumah. Karena itu Amanda meminta pendapatnya dulu.“Kalau kau juga mau menemani Mama, tidak apa kok!” tukas Wisnu mengundang senyum manis istrinya. Amanda memang selalu manis, kecuali jika menyangkut cemburunya itu.“Terima kasih, Mas!”“Ya udah, kita siap-siap Maghrib dulu,” tukas Moana pada yang lain.“Tapi aku enggak ikut, baru tadi pagi dapet!” bisik Amanda pada Wisnu.
Untuk sesaat Annisa tidak bisa berkata apa-apa. Apalagi Wisnu menatapnya tanpa ekspresi seolah membicarakan tentang sebuah pekerjaan, bukannya tentang perasaan.Apakah pria ini juga bersikap begitu pada Amanda? Sedingin inikah sikapnya pada semua wanita?Tidak! Seingat Annisa, Wisnu selalu lembut dan hangat pada istrinya.“Anda mau memutasi saya?” Annisa tergagap, nyalinya yang ciut jadi semakin menciut. Dia menyesal sudah memberanikan diri mengungkapkan perasaannya itu. Biasanya Wisnu sangat mengistimewakannya dan akan mendengar apapun yang disampaikannya.“Aku bertanya padamu, apa kau mau pindah?” ucap Wisnu masih dengan nada santainya. Menampakan sikap bossy yang sesungguhnya. Gaya bahasanya lugas dan tidak bertele-tele.“Ke-kenapa harus pindah, Pak?” Annisa masih tergagap.“Barangkali kau kurang nyaman.” –bekerja bersama orang yang membuatmu jatuh cinta. Kalimat yang terakhir itu hanya ada di kepala Wisnu. Annisa wanita yang cerdas, pastilah dia tahu apa maksud ucapan Wisnu yang
Amanda selesai dengan cepat karena tidak ada kesulitan yang berarti. Dia teringat tantenya yang berencana akan membuka butik di Jakarta lalu merasa tidak ada salahnya jika membantunya. Sekarang dia pergi ke tempat di mana Nola memarkir mobilnya. Tapi dia tidak menadapati mobilnya di sana.‘Ke mana Nola?’ batinnya bertanya dan hendak menghubunginya.Dari arah samping seseorang menghampiri.“Amanda?” sapa seorang pria.“Oh, Edwin?” Amanda terkejut.Edwin adalah teman seangkatannya tapi di semester ke lima Edwin mengajukan cuti karena dia lebih fokus pada kontrak sebuah stasiun televisi terkait program kesehatan. Edwin menjadi salah satu host-nya.“Kau belum selesai juga skripsi?”Edwin menatap map yang dipegang Amanda dan menyimpulkan bahwa Amanda masih ribet dengan tugas akhir.“Haha, iya. Apa kau akan melanjutkan kuliahmu?”“Sepertinya, tapi mungkin aku ambil yang daring saja. Biar bisa tetap lanjut program TV-nya.”“Wah, hebat kamu, Ed! Aku juga sesekali nonton acaramu kok!”“Bagaima