Share

MOAM# 07. Perasaan Jovan yang sebenarnya

Huek!!

Itulah yang dirasakan Zehra setiap pagi. Namun, wanita muda itu tidak mengeluh sama sekali. Sebab, Jovan selalu ada dan siaga saat Zehra membutuhkannya.

"Minum dulu, Ra. Kamu harus banyak minum untuk menggantikan cairan tubuh yang kamu keluarkan."

Zehra hanya mengangguk dan mengambil segelas air putih hangat yang diberikan Jovan. "Terima kasih, Om."

"Sekarang bagaimana? Apa masih pusing?" Jovan mengambil kepala Zehra, lalu memijatnya dengan lembut.

"Aku sudah baikan, Om. Aku pengen tiduran saja." Zehra menatap Jovan antara haru juga tidak enak. "Om, terima kasih banyak."

Jovan meraba tangan Zehra. "Untuk apa, Ra?"

"Untuk semuanya."

Jovan tersenyum tipis mendengar ucapan istri mudanya. "Aku yang seharusnya berterima kasih padamu, Ra. Kamu tahu? Aku belum pernah merasa sebahagia ini sebelumnya. Hidupku seolah bersinar semua setelah tahu aku akan jadi seorang Daddy. Maaf ya jika anakku sedikit nakal karena membuatmu harus seperti ini."

Zehra menarik napasnya panjang. Sungguh, ucapan demi ucapan Jovan selalu saja membuatnya terharu. Zehra semakin dilema bagaimana nanti dirinya harus rela melepaskan pria dewasa itu juga anaknya.

"Om, apa Om tidak kerja? Aku perhatikan sudah tiga hari Om enggak ke kantor."

Jovan hanya tersenyum tipis mendengar pertanyaan Zehra. "Aku cuti satu minggu untuk jagain kamu."

Mata Zehra terbelalak. "Apa??"

Hati Zehra semakin dilema. Bagaimana pun dirinya menepis perasaan itu pada Jovan, Zehra tetap tidak bisa. Jovan termasuk suami idaman bagi Zehra. Selain prilakunya yang lembut, Jovan juga sangat perhatian dan pengertian.

"Tapi kenapa harus begitu, Om?"

Jovan menatap Zehra, lalu meraba perutnya yang masih rata karena baru menginjak usia 5 Minggu. "Sudahlah, kenapa juga kamu harus mikirin pekerjaanku? Tugasmu hanya menjaga anakku, Zehra. Pokoknya kamu harus sehat terus tidak boleh setres."

Ada perasaan sedikit tergores mendengar kata 'anakku' dari mulut pria dewasa gagah dan tampan itu. Pasalnya, Jovan seperti menegaskan jika anak itu hanya milik Jovan dengan Laura yang dititipkan pada Zehra. Dengan segera Zehra menepis goresan yang mengenai hatinya itu agar tidak terlalu perih dirasakannya dengan sadar akan posisinya.

"Boy, baik-baik di sana, ya." Jovan selalu saja tak cukup hanya satu dua kali mengecup perut Zehra, mungkin terlalu senang dan hal itu lah yang membuat Zehra semakin menginginkan Jovan.

Percakapan Jovan dengan buah hatinya terhenti saat Laura datang. Suasana selalu saja menjadi canggung jika wanita pemilik Jovan sesungguhnya itu datang. Zehra bahkan harus mempersiapkan hatinya melihat sikap Laura pada Jovan yang sangat manja dan romantis.

"Honey, kamu masih di sini?" ujar Laura menoleh pada Zehra sekilas.

Terlihat sorot tidak suka dari wanita pemilik Jovan itu melihat suaminya selalu saja begitu betah di kamar Zehra. Zehra hanya bisa menarik napasnya dan sadar diri. Walau sebenarnya ingin sekali Zehra pergi daripada harus menyaksikan adegan romansa dua insan yang saling mencintai itu.

"Iya, aku masih ingin bicara dengan anakku, Sayang."

Laura memalingkan wajahnya tak suka. "Mommy besok mau ke sini. Apa yang akan kita katakan pada Mommy tentang Zehra?"

Jovan langsung beranjak dari baringannya. "Besok Mommy mau ke sini?" Jovan menoleh pada Zehra setelah Laura mengangguk. "Jam berapa?"

"Enggak tahu. Mommy cuma bilang besok mau ke sini," ujar Laura lagi sambil masih berdiri seolah tak nyaman berada di kamar itu, padahal semua yang terjadi adalah keinginannya.

"Mungkin aku pergi dulu ke rumah sakit, Om, bagaimana? Aku juga ingin jenguk Daddy. Apa Nyonya mengizinkan?"

Jovan menoleh pada Laura. Entah mengapa Laura semakin acuh tak acuh dengan Zehra setelah menikahkan gadis itu dengan suaminya. Mungkin Laura ingin bilang menyesal, tapi nasi sudah menjadi bubur dan tidak mungkin bisa kembali pada semula. Apalagi kini Zehra sudah mengandung anak suaminya.

"Terserah kamu saja, jika itu memang yang terbaik." Laura menarik tangan Jovan untuk pergi dari kamar Zehra. "Sekarang kita ke kamar, yuk! Aku rindu kamu, Honey. Aku punya gaya baru untuk bersenang-senang dan aku pastikan kamu akan ketagihan."

Jovan menatap Laura sejenak, lalu menoleh pada Zehra yang memalingkan wajahnya jika Laura sudah berbicara tentang hal intim dengan blak-blakan di depan Zehra seolah sengaja. "La, malam ini kan giliran aku tidur di kamar Zehra."

"Kamu tidak bisa menolak, Jo! Kamu sudah seharian bersama Zehra, pokoknya setiap malam kamu harus bersamaku." Laura menarik tangan Jovan dengan kuat dan tidak peduli pada Zehra.

"Ya Allah ... kenapa rasanya sakit sekali?" Zehra meremas seprei melepaskan perasaannya yang sesak.

Jovan menepis tangan Laura sedikit kencang. "La, kamu enggak egois gitu, dong! Kita sudah sepakat jika aku akan tidur bersama kalian bergantian. Dan malam ini giliran aku tidur di kamar Zehra, bukan?"

Laura menatap Jovan dengan penuh selidik, wanita itu pun menggelengkan kepalanya dengan sendu. "Jangan katakan kamu sudah nyaman dengannya, Jo? Apalagi sampai kamu mengatakan jatuh cinta pada gadis itu."

Laura semakin menatap Jovan yang Laura rasa sikapnya sudah sangat berbeda. Laura merasa Jovan tidak seperti dulu yang selalu mengalah dan menurut padanya. Jovan yang sekarang cenderung tak peduli lagi pada Laura.

"Jawab, Jovan!" sentak Laura, membuat pria itu memejamkan matanya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status