Huek!!
Itulah yang dirasakan Zehra setiap pagi. Namun, wanita muda itu tidak mengeluh sama sekali. Sebab, Jovan selalu ada dan siaga saat Zehra membutuhkannya. "Minum dulu, Ra. Kamu harus banyak minum untuk menggantikan cairan tubuh yang kamu keluarkan." Zehra hanya mengangguk dan mengambil segelas air putih hangat yang diberikan Jovan. "Terima kasih, Om." "Sekarang bagaimana? Apa masih pusing?" Jovan mengambil kepala Zehra, lalu memijatnya dengan lembut. "Aku sudah baikan, Om. Aku pengen tiduran saja." Zehra menatap Jovan antara haru juga tidak enak. "Om, terima kasih banyak." Jovan meraba tangan Zehra. "Untuk apa, Ra?" "Untuk semuanya." Jovan tersenyum tipis mendengar ucapan istri mudanya. "Aku yang seharusnya berterima kasih padamu, Ra. Kamu tahu? Aku belum pernah merasa sebahagia ini sebelumnya. Hidupku seolah bersinar semua setelah tahu aku akan jadi seorang Daddy. Maaf ya jika anakku sedikit nakal karena membuatmu harus seperti ini." Zehra menarik napasnya panjang. Sungguh, ucapan demi ucapan Jovan selalu saja membuatnya terharu. Zehra semakin dilema bagaimana nanti dirinya harus rela melepaskan pria dewasa itu juga anaknya. "Om, apa Om tidak kerja? Aku perhatikan sudah tiga hari Om enggak ke kantor." Jovan hanya tersenyum tipis mendengar pertanyaan Zehra. "Aku cuti satu minggu untuk jagain kamu." Mata Zehra terbelalak. "Apa??" Hati Zehra semakin dilema. Bagaimana pun dirinya menepis perasaan itu pada Jovan, Zehra tetap tidak bisa. Jovan termasuk suami idaman bagi Zehra. Selain prilakunya yang lembut, Jovan juga sangat perhatian dan pengertian. "Tapi kenapa harus begitu, Om?" Jovan menatap Zehra, lalu meraba perutnya yang masih rata karena baru menginjak usia 5 Minggu. "Sudahlah, kenapa juga kamu harus mikirin pekerjaanku? Tugasmu hanya menjaga anakku, Zehra. Pokoknya kamu harus sehat terus tidak boleh setres." Ada perasaan sedikit tergores mendengar kata 'anakku' dari mulut pria dewasa gagah dan tampan itu. Pasalnya, Jovan seperti menegaskan jika anak itu hanya milik Jovan dengan Laura yang dititipkan pada Zehra. Dengan segera Zehra menepis goresan yang mengenai hatinya itu agar tidak terlalu perih dirasakannya dengan sadar akan posisinya. "Boy, baik-baik di sana, ya." Jovan selalu saja tak cukup hanya satu dua kali mengecup perut Zehra, mungkin terlalu senang dan hal itu lah yang membuat Zehra semakin menginginkan Jovan. Percakapan Jovan dengan buah hatinya terhenti saat Laura datang. Suasana selalu saja menjadi canggung jika wanita pemilik Jovan sesungguhnya itu datang. Zehra bahkan harus mempersiapkan hatinya melihat sikap Laura pada Jovan yang sangat manja dan romantis. "Honey, kamu masih di sini?" ujar Laura menoleh pada Zehra sekilas. Terlihat sorot tidak suka dari wanita pemilik Jovan itu melihat suaminya selalu saja begitu betah di kamar Zehra. Zehra hanya bisa menarik napasnya dan sadar diri. Walau sebenarnya ingin sekali Zehra pergi daripada harus menyaksikan adegan romansa dua insan yang saling mencintai itu. "Iya, aku masih ingin bicara dengan anakku, Sayang." Laura memalingkan wajahnya tak suka. "Mommy besok mau ke sini. Apa yang akan kita katakan pada Mommy tentang Zehra?" Jovan langsung beranjak dari baringannya. "Besok Mommy mau ke sini?" Jovan menoleh pada Zehra setelah Laura mengangguk. "Jam berapa?" "Enggak tahu. Mommy cuma bilang besok mau ke sini," ujar Laura lagi sambil masih berdiri seolah tak nyaman berada di kamar itu, padahal semua yang terjadi adalah keinginannya. "Mungkin aku pergi dulu ke rumah sakit, Om, bagaimana? Aku juga ingin jenguk Daddy. Apa Nyonya mengizinkan?" Jovan menoleh pada Laura. Entah mengapa Laura semakin acuh tak acuh dengan Zehra setelah menikahkan gadis itu dengan suaminya. Mungkin Laura ingin bilang menyesal, tapi nasi sudah menjadi bubur dan tidak mungkin bisa kembali pada semula. Apalagi kini Zehra sudah mengandung anak suaminya. "Terserah kamu saja, jika itu memang yang terbaik." Laura menarik tangan Jovan untuk pergi dari kamar Zehra. "Sekarang kita ke kamar, yuk! Aku rindu kamu, Honey. Aku punya gaya baru untuk bersenang-senang dan aku pastikan kamu akan ketagihan." Jovan menatap Laura sejenak, lalu menoleh pada Zehra yang memalingkan wajahnya jika Laura sudah berbicara tentang hal intim dengan blak-blakan di depan Zehra seolah sengaja. "La, malam ini kan giliran aku tidur di kamar Zehra." "Kamu tidak bisa menolak, Jo! Kamu sudah seharian bersama Zehra, pokoknya setiap malam kamu harus bersamaku." Laura menarik tangan Jovan dengan kuat dan tidak peduli pada Zehra. "Ya Allah ... kenapa rasanya sakit sekali?" Zehra meremas seprei melepaskan perasaannya yang sesak. Jovan menepis tangan Laura sedikit kencang. "La, kamu enggak egois gitu, dong! Kita sudah sepakat jika aku akan tidur bersama kalian bergantian. Dan malam ini giliran aku tidur di kamar Zehra, bukan?" Laura menatap Jovan dengan penuh selidik, wanita itu pun menggelengkan kepalanya dengan sendu. "Jangan katakan kamu sudah nyaman dengannya, Jo? Apalagi sampai kamu mengatakan jatuh cinta pada gadis itu." Laura semakin menatap Jovan yang Laura rasa sikapnya sudah sangat berbeda. Laura merasa Jovan tidak seperti dulu yang selalu mengalah dan menurut padanya. Jovan yang sekarang cenderung tak peduli lagi pada Laura. "Jawab, Jovan!" sentak Laura, membuat pria itu memejamkan matanya.Ting! Tong! Jovan dan Laura menoleh pada arah suara. Tak lama dari suara bel, mata Jovan dan Laura terbelalak mendengar suara wanita yang mereka kenal sudah memasuki rumah mereka. Sontak Laura dan Jovan panik karena mereka pikir sang mommy baru akan datang besok. "Jo, La, kalian dimana sih?" "Apa yang akan kita lakukan, Jo?" Jovan sendiri masih bingung dan panik karena mereka belum memberi tahu perjanjian mereka dengan Zehra. "Aku juga bingung, La. Kenapa Mommy datang sekarang? Bukankah Mommy akan datang besok?" Zehra yang hendak mengambil minuman hangat pun berdiri mematung melihat wanita paruh baya yang tengah sibuk dengan handphonenya. "Ya Allah, apa dia mommynya Om Jovan?" Zehra segera memberikan tubuhnya untuk kembali ke kamar, namun, langkahnya terhenti saat wanita paruh baya itu memanggilnya. "Tunggu!" Zehra memejamkan matanya mendengar suara hill yang dikenakan wanita itu semakin mendekatinya. Mau tidak mau, Zehra kembali membalikkan tubuhnya menghadap wan
Laura semakin tidak suka karena Elvira malah perhatian pada Zehra. "Aku tidak rela suamiku terus bersamanya, Mommy El juga kenapa harus perhatian seperti itu sih?" Laura terus bergerutu dalam hatinya. "Jika menunggu Zehra melahirkan, kelamaan. Aku harus mencari cara untuk menyingkirkan bayi itu." "Bagaimana, enak? Apa masih mual?" Zehra tersenyum senang penuh arti pada Elvira. "Nyonya, ini enak sekali. Terima kasih banyak, Nyonya. Perutku sudah tidak terasa mual." Elvira menoleh pada Beti, lalu kembali pada Zehra. "Sebelumnya saya minta maaf, apa kamu ... punya suami?" Jantung Zehra kembali berdetak tak karuan. "Punya, Nyonya. Tapi dia kerja dan tidak bisa pulang kapan saja. Jadi saya ikut Bi Beti dulu karena tidak punya keluarga lagi." "Saya sudah izin sama Nyonya Laura juga Tuan Jovan, Nyonya," sahut Beti. Elvira mengangguk mengerti. "Baiklah, aku hanya berpikir suami mana yang begitu kejam membiarkan istrinya menderita sendiri. Aku masih ingat dulu saat aku hamil Jovan,
"Om, sebaiknya Om cepat ke kamar Nyonya Laura. Aku takut Nyonya Elvira atau Nyonya Laura datang ke sini." Jovan menatap Zehra begitu sendu. "Kamu yakin tidak apa-apa?" Zehra menunduk bingung. Sejujurnya hatinya terus gelisah jika harus seperti itu. Zehra tidak bisa hidup tenang dengan keberadaan Laura atau pun Elvira. "Om, aku rasa sebaiknya aku tidak tinggal di sini. Apalagi Nyonya Elvira mau ke sini terus. Hubungan kita bisa saja tercium oleh Nyonya Elvira nanti, bukan?" Jovan menatap Zehra sejenak. "Kamu benar, Zehra. Aku akan bicarakan ini pada Laura nanti. Sekarang kamu tidurlah." Zehra tersenyum getir merasakan perhatian dari Jovan. Perhatian yang seharusnya tidak membuatnya nyaman. Sebab, kenyamanan itu hanya akan membuatnya semakin sakit hati. "Iya, Om. Terima kasih." Jovan mengelus perut Zehra, lalu membungkukkan tubuhnya mengecup perut itu. "Daddy mohon kamu baik-baik ya di sana. Jangan buat Mommy mu sakit." Zehra menghela napasnya panjang menetralkan
"Berani kamu melanggar perjanjian kita, Zehra!" "Laura!" Jovan menahan tangan Laura yang hendak menampar Zehra. "Apa yang kamu lakukan?" Laura menurunkan kepalan tangannya. Untuk mengatakan jika Zehra mencintai Jovan, Laura yakin itu bukan yang terbaik. Laura malah takut jika Jovan pun memiliki perasaan yang sama dan akan berakibat fatal jika tahu Zehra pun mencintai Jovan. Laura memilih pergi dari villa itu untuk menetralkan emosinya. Jovan menoleh pada Zehra yang terdiam merutuki kecerobohannya karena sampai Laura tahu apa yang dirasakannya. "Zehra, kamu baik-baik saja?" Zehra menepis tangan Jovan yang hendak menyeka air matanya. Zehra tidak ingin perasaannya pada Jovan semakin dalam karena perhatian pria itu padanya. Sebab, semua itu hanya akan membuat hatinya sakit. Walau pada kenyataannya, Zehra tidak akan bisa terus menghindar dari Jovan. "Zehra, ada apa?" Jovan menatap Zehra bingung karena Zehra tidak seperti biasanya. Zehra tersenyum kecut melihat Jovan yang
Jovan semakin membuat Zehra mengeluarkan suara indah memabukkan itu dengan sentuhan yang semakin liar pada bagian tubuh Zehra yang lain. Sungguh Zehra semakin jatuh cinta pada pria dewasa itu. Selain perhatiannya, Jovan juga begitu pandai membuatnya terbuai dalam surga dunia yang diciptakannya. Sejenak pikiran Zehra gamang membayangkan bagaimana nanti dirinya harus melepaskan pria seperti Jovan. Ingin sekali Zehra egois. Namun, Zehra sadar diri karena Jovan pun tidak mencintainya dan hanya melakukan kewajibannya sebagai seorang suami pada Zehra. Walau Jovan dan Zehra hanya menikah kontrak, tapi Jovan memang selalu bersikap adil pada kedua istrinya. "Terima kasih, Zehra. Terima kasih karena kamu sudah membuat pagiku indah," ucap Jovan dengan mengecupi wajah Zehra. "Tolong bangunkan aku di jam 10 nanti, karena jam siang ini aku ada meeting." Zehra hanya mengangguk mengiyakan, setelah itu Zehra melihat Jovan terlelap setelah melepaskan hormon lelahnya. Pandangan Zehra belum teralih
"Keadaan bayinya sangat sehat ya, Nyonya, Tuan. Bayinya juga sudah memasuki trimester akhir dan semuanya dinyatakan bagus." Jovan tersenyum bahagia mendengar penuturan sang dokter. "Terima kasih banyak, Dokter." Jovan menoleh pada Zehra, lalu meraba perut buncit itu dengan sangat bahagia. Sayang, Jovan tidak bisa mendapatkan kebahagiaan itu dari Laura, wanita yang dicintainya. Padahal Jovan berharap jika Laura lah yang mengandung anaknya. Namun, nyatanya Laura lebih mengkhawatirkan keadaan tubuhnya jika harus mengandung anaknya daripada membahagiakan dirinya. "Zehra, terima kasih karena kamu sudah menjaga anakku dengan baik." "Sama-sama, Om. Dia juga anakku, Om." Zehra mengusap lembut perutnya, namun, sedetik kemudian Zehra menghentikan usapan itu saat sadar apa yang akan terjadi padanya nanti. Jovan pun menatap Zehra dengan sendu. Pria dewasa itu tahu jika sebenarnya Zehra tidak rela jika nanti harus merelakan anaknya pada Laura. Jovan sangat mengerti bagaimana perasaan
"Om, kok Om di sini?" Jovan tersenyum manis mendengar pertanyaan yang selalu terlontar dari istri mudanya. Dan pertanyaan itu seolah Zehra sadar diri jika dirinya bukan pemilik Jovan seutuhnya. Entah mengapa hati pria dewasa itu semakin tersentuh oleh kedewasaan Zehra. "Aku merindukanmu, Zehra." Zehra menatap Jovan begitu dalam. Begitu bahagia hati Zehra mendengar ucapan Jovan yang mengatakan jika pria itu merindukannya. Namun, Zehra tidak ingin terlalu ke geeran karena biasanya Jovan memang bilang seperti itu, tapi nyatanya cinta pria itu hanya untuk Laura, istrinya. "Tapi bukankah seharusnya Om masih di kantor?" Jovan meraih pinggang Zehra, lalu menarik tubuhnya hingga wajah mereka begitu dekat. "Sudah kukatakan aku merindukanmu, Zehra." "Tapi--" Zehra tak bisa lagi mengatakan apapun karena Jovan sudah menempelkan bibirnya pada bibir tipis Zehra. Jovan terus mendalami apa yang dilakukannya pada benda seksi itu. Pria itu memang begitu tergoda akan tubuh Zehra yan
Jovan tak banyak bicara dan hanya langsung membersihkan diri tanpa ingin mengatakan apapun pada Laura. Tentu saja membuat Laura semakin yakin jika Jovan pun memiliki perasaan lain pada Zehra. Laura tidak akan membiarkan Zehra menempati posisinya karena jika itu terjadi, reputasinya mungkin tidak akan sebagus sekarang, menantu kesayangan dari pemilik perusahaan besar, Royal Company group. "Kamu lihat saja, Zehra. Aku tidak akan tinggal diam dan membiarkan kamu menempati posisi di hati suamiku." Laura berdecak kesal karena satu pesan yang mengharuskan dirinya segera pergi. "Kenapa harus sekarang, sih? Jika aku pergi, Jovan pasti kecewa dan aku yakin dia pasti menemui Zehra lagi." Handphone Laura akhirnya berdering karena mungkin pesan yang tidak kunjung di balas wanita seksi itu. "Iya, iya. Aku berangkat sekarang!" Jovan menatap Laura yang sudah menatapnya setelah menutup panggilan teleponnya dengan emosi. Terlihat helaan napas kasar dari pria bertubuh tinggi besar itu. Laura in