Suara burung berkicau terdengar jelas di telinga Zehra. Perlahan, Zehra mengerjapkan matanya. Dengan segera Zehra beranjak dari baringannya lalu mengedarkan pandangannya mencari sosok pria yang semalam bersamanya. Namun, nyatanya Jovan sudah tidak ada karena jam sudah menunjukkan pukul setengah sembilan pagi. "Astaghfirullah, kenapa aku sampai ke siangan seperti ini, sih?" Zehra mengingat-ingat kejadian hangat tadi malam. Jovan jarang bermalam di tempat tidur Zehra, sebab Laura selalu saja mengganggu mereka. Untuk itu, Zehra begitu bahagia saat Jovan bisa bermalam dengannya. Bibir Zehra tidak luput dari senyuman saat teringat kisah manis semalam, bahkan Jovan kembali menyentuhnya di akhir pagi. Zehra tidak menolak, Zehra justru sangat senang karena dirinya memang mencintai pria dewasa itu. "Terima kasih, Om. Terima kasih atas malam indahnya. Walau sebentar lagi semua itu akan berakhir, tapi sekarang aku bahagia." Zehra mengusap perutnya yang tak bosan-bosan Jovan kecup semala
"Sudah sangat bagus, tinggal menunggu jabang bayi keluar, ya. Jenis kelaminnya sudah dipastikan, dia sungguh tampan. Saya selalu menghimbau agar Nyonya tidak sampai setres. Sebab, jika Nyonya setres, jabang bayi akan ikut setres." Zehra dan Jovan terus menatap layar besar yang memperlihatkan keadaan bayi mereka yang tengah bergerak-gerak. Jovan begitu bahagia karena sebentar lagi akan jadi seorang Daddy. Jovan sangat bersyukur bisa bertemu dengan Zehra dan akhirnya bisa merasakan bagaimana menjadi daddy. Jovan pun tidak khawatir lagi akan harta kekayaannya karena kini dirinya sudah memiliki penerus. "Terima kasih, Dok." Jovan meraba perut Zehra, lalu mengecupinya penuh cinta. "Terima kasih, Zehra." Zehra semakin sakit hati karena sebentar lagi dirinya akan meninggalkan Jovan dan menyerahkan bayinya pada Laura. Entah bagaimana perasaan Zehra saat ini, gadis malang itu hanya bisa berharap dirinya bisa ikhlas saat nanti menyerahkan putranya pada Laura. Ingin sekali Zehra mengata
"Kamu jangan banyak pikiran, Ra. Insya Allah semua ada jalannya." Dewi memijit kaki Zehra yang sedikit bengkak. Zehra tersenyum getir. "Iya, Mom. Aku ingin segera keluar dari ikatan ini. Aku ingin mencari siapa orang yang sudah memfitnah Daddy. Karena dialah kita seperti ini." Dewi menarik napasnya dalam. Dewi tahu bagaimana perasaan Zehra saat ini. Walau Zehra tidak langsung mengatakan, Dewi tahu jika saja Altan tidak difitnah, mungkin Zehra tidak akan mengalami hal menyedihkan itu. "Yakin akan ada kejutan indah untuk kita, Ra. Mommy yakin kamu pasti bahagia setelah ini." Zehra menarik kakinya, lalu memeluknya sang mommy dengan erat. "Aamiin, semoga hari esok lebih baik." Jovan menatap pelukan pilu ibu dan anak itu dengan berbagai pikiran. Perasaannya pada Zehra memang belum seperti cintanya pada Laura. Apalagi tahu Zehra benar-benar ingin segera terlepas dari ikatannya, Jovan akan mengubur dalam-dalam perasaan itu agar hidupnya juga hidup Zehra bisa damai. "Ra, bag
"Aarghh!!!" Zehra berteriak sekencang-kencangnya melepaskan sesak di dadanya yang teramat sakit. "Kenapa ini sakit sekali, hiks!" Zehra terus meremas dadanya. Bahkan Zehra begitu tak tahan menahan rasa sakit itu. Air matanya terus mengalir mengingat bayi yang sudah dilahirkannya kini harus ditinggalkan. Zehra juga harus melupakan pria dewasa yang sudah membuatnya jatuh hati. "Maafkan Mommy, Devane, hiks!" Zehra memegang lalu mengecup erat baju bayi laki-laki yang sudah disiapkannya sejak awal. Laura tidak membiarkan Zehra untuk bertemu terlebih dahulu dengan bayinya. Namun, atas izin Jovan, Zehra boleh memberikan nama untuk bayi mereka. Walau Laura menolak keras, pada akhirnya Jovan mempu membuat Laura tidak bisa lagi menolak nama bayi yang di berikan oleh Zehra. "Andrew Devano Robert." Jovan mengelus pipi lembut sang buah hati dengan hati yang teriris. "Anak laki-laki yang kuat dan rendah hati. Daddy harap kamu bisa menjadi pria yang bisa membuat wanitanya bahagia nanti.
"Jangan katakan kamu berubah karena wanita itu, Jo!" "Hentikan, Laura. Jangan menyalahkan orang lain untuk menutupi kesalahanmu. Mungkin aku yang baru sadar jika sebenarnya kamu tidak benar-benar mencintaiku." Laura menggelengkan kepalanya. "Kamu jahat, Jo! Kamu berubah karena wanita itu, bukan?" Elvira menggelengkan kepalanya mendengar Laura menyebut wanita lain. Elvira mengira sikap Jovan berubah karena kepincut wanita lain. Laura pun semakin berakting kembali saat melihat sang ibu mertua melihat mereka bertengkar. "Jo, Apa yang kamu lakukan pada isterimu?" "Mommy." Jovan mengusap wajahnya bingung. Jovan bingung harus bagaimana menjelaskan semuanya pada Elvira. Sebab, Elvira memang sangat menyayangi Laura, juga keadaan memang memojokkan Jovan. "Mom, aku bisa jelaskan." "Apa yang ingin kamu jelaskan, hah? Kamu selingkuh dan menyakiti istrimu, Jo? Kamu sadar dengan apa yang kamu lakukan padanya? Laura baru saja bertaruh nyawa untuk melahirkan keturunanmu. Tapi i
"Maaf, Nyonya. Keadaan Tuan Altan semakin memburuk. Dan kondisinya akan semakin memburuk lagi jika tidak segera melakukan operasi donor jantung." "Daddy, hiks!" Zehra menatap sang daddy yang terbaring semakin lemah. Tak ada yang bisa mereka lakukan selain hanya menangis dan meratapi nasib itu. Zehra menyeka air matanya. "Nyonya, bagaimana? Apa operasinya bisa secepatnya dilakukan? Keadaan Tuan Altan sudah tidak memungkinkan untuk bertahan lagi." "Astaghfirullah, apa yang harus aku lakukan? Semua harta Daddy sudah dibekukan. Darimana aku bisa mendapatkan biaya untuk operasi donor jantung Daddy?" Zehra keluar ruangan sang Dady, lalu duduk di bangku tunggu pasien dengan menyenderkan tubuhnya yang lelah. Dengan pikiran kusutnya, Zehra beranjak mengambil beda pipih miliknya. "Aku coba hubungi Uncle Jack lagi, deh. Semoga Uncle Jack kali ini aktif dan membantuku membiayai operasi Daddy." Sekian detik Zehra kembali menunggu panggilannya diangkat, namun, nyatanya pemilik nome
"Kita ke rumah sakit? Siapa yang sakit, Sayang?" Laura tak menghiraukan pertanyaan dari Jovan. Wajahnya begitu bahagia saat Zehra mengatakan bersedia melakukan perjanjian gila dengannya. Laura langsung membawa Jovan menemui Zehra agar apa yang direncanakan cepat terkabul. "Duduk, Sayang," ucap Laura pada Jovan dengan senyum cerianya. "Ini Zehra. Jadi, aku ...." Jovan begitu marah mendengar ucapan demi ucapan dari mulut Laura. "Kamu gila, Laura!" sentak Jovan, membuat Zehra pun meremas jari-jarinya karena takut mendengar sentakan itu, apalagi saat Jovan menolaknya dengan jelas. "Aku tidak akan pernah melakukannya, Laura. Laura mencekal tangan Jovan untuk menghentikan langkah pria itu. "Honey, tunggu!" Jovan menatap Laura begitu tajam. "Kamu gila, Laura. Kamu lebih rela suamimu menikah lagi daripada kamu merelakan pekerjaanmu dan mengabulkan keinginanku? Kamu tidak mencintaiku, La. Cintamu hanya sebatas ucapan saja!" Laura memeluk Jovan dari belakang saat sang suami henda
"Mommy, Bagaimana keadaan, Daddy?" Dewi, daddy dari Zehra sedikit terkejut karena Zehra tidak jadi dibawa pulang oleh Jovan. "Zehra, kamu tidak jadi ikut suamimu, Nak?" Zehra menghela nafasnya, lalu duduk di samping sang mommy. "Besok mereka ke sini lagi. Tuan Jovan memintaku untuk menemani Mommy dulu malam ini." Dewi mengangguk mengiyakan walau masih belum rela jika sang putri harus menjadi istri kedua dari Jovan. Apalagi saat tahu jika nanti Zehra harus memberikan anaknya pada Laura. Namun, Dewi pun tak bisa berbuat apa-apa untuk melarang sang putri melakukan semua itu karena mereka memang tidak punya pilihan. Zehra merangkul tangan Dewi yang menatapnya begitu sendu. "Sudah, Mommy jangan terlalu banyak berpikir tentangku. Aku ini masih muda, aku hanya cuma menjadi istri kedua sampai melahirkan anak Tuan Jovan. Setelah itu aku bisa bebas hidup dengan jalanku sendiri." "Zehra, hiks!" Dewi kembali memeluk putrinya dengan pilu. "Mommy hanya bisa berdoa, semoga Tuan Jovan m